Tampilkan postingan dengan label hukum tata negara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum tata negara. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Juni 2013

Sejarah Peradilan Tata Usaha Negara


A. Sejarah Pembentukan  Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia
Peradilam Tata Usaha Negara sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya UU No. 5 Tahum 1986 pada tanggal 29 Desember 1986. Kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986.
Sejarah pemikiran dan ide atau gagasan sampai terwujudnya lembaga peradilan tata usaha negara dan usaha merintis ke arah pembentukannya, sudah lama dilakukan. Pernah disusun rancangan undang-undang tentang peradilan tata usaha negara yang dirumuskan dan dimatangkan oleh lembaga pembinaan Hukum Nasional/LPHN (sekarang Badan Pembinaan Hukum Nasional/BHPN) pada tanggal 10 januari1966, dan dipublikasikan dalam penerbitan 1 LPHN 1967. Tetapi Rancangan Undang-Undang tersebut belum sempat dimajukan oleh pemerintah kepada DPR GR, oleh DPR pernah diusahakan sebagai unsul insiatif oleh DPR GR tahun 1967. Tetapi Rancangan tersebut gagal atau tidak dapat menyelesaikan.`
Keinginan untuk segera membentuk Peradilan Tata Usaha Negra ini dipertegas lagi dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Soeharto, dihadapan sidang pleno DPR pada tanggal 16 Agustus 1978 yang isisnya tentang mekanisme untuk meratakan keadilan yaitu:
1) Penyelesaian perkara seadil-adilnya dan secepat-cepatnya
2) Bantuan hukum untuk mereka yang kurang mampu
3) Segera akan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara
Awal tahun 1979 berkumpul sebanyak 37 orang praktisi hukum pilihan dari kawasan Indonesia di Sala dalam forum laoka karya mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan titik berat pembahasan pada: Hubungan Mahkamah Agung dengan badan-badan pengadilan tata usaha negara. Loka karya diadakan dalam rangka menyambut seruan presiden  dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1987 di DPR dan Repelita III tantang pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Namun Rancangan Undang-undang tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dibahas pansus DPR RI tidaklah berhasil diselesaikan dalam masa persidangan DPR terakhir periode 1977-1982 dan pengajuan atau pengerjaan Rancangan Undang-undang tersebut selanjutnya olegh DPR hasil pemilu tahun 1982, merupakan wewenang sepenuhnya, derngan atau tanpa memperhatikan hasil DPR periode masa kerja sebelumnya.
Adanya keterlambatan dan kegagalan beberapa kali untuk mengadakan suatu peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, menurut Dr. Sunaryati Hartono, SH, bersumber pada pendapat dan kekhawatiran kalau-kalau (seperti halnya dengan perekembangan di Peranci, Belanda dan negara lain yang memiliki suatu Peradilan Tata Usaha Negara) Pengadilan semacam itu:
a) Akan merupakan manifestasi dari falsafah individualisme sehingga bertentangan dengan Pancasila.
b) Akan merupakan pengawasan yang terlalu ketat terhadap lembaga-lembaga pemerintah sehingga akan sangat menghambat jalannya pemeintah yang efektf dan efisien.
c) Akan menyulitkan pelaksanaan politik pemerintah, khususnya dalam hal pengambilan keputusan.
Akhirnya, pada bulan April, 1986 Pemerintah sekali lagi menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah disempurnakan kepada DPR periode masa bakti 1982-1987, dan pada tanggal 20 Desember 1986 DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang.
Sejak mulai efektif dioperasikan peraturan pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di jakarta, medan, dan ujung pandang, serta lima pengadilan Tatat Usaha Negara (PTUN) di jakarta, medan, palemanbang, surabaya, dan ujung pandang. Kemudian berkembang`dengan telah didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh ibu kota provinsi sebagai pengadilan tingkat pertama

B. Peradilan Tata Usaha Negara Di Negara-negara Lain
1. Belanda
Disamping ada pengadilan sipil biasa, terdapat juga berbagai pengadilan administrasi yang menangani jenis-jenis kasus administrasi tertentu. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Mr. P.A. De Hoog (seoramg pengacara yang mengkhususkan diri dalam penanganan kasus-kasus tanah dan administrasi di Negara Belanda), dapatlah diperinci adanya kurang lebih 3 (tujuh) Lembaga/pengadilan yang semuanya menyelesaikan/memutus kasus-kasus administrasi masing-masing:
  • Ambtenarengerecht (1929). Menyelesaikan kasus-kasus perselisihan kepegawaian.
  • Raad van Beroep (1955), menyelesaikan kasus-kasus yang berhubungan dengan sengketa ”employment, ilness dan sebagainya”.
  • Inspecture der Directe Belastingen, menyelesaikan kasus-kasus perpajakan
2. Inggris
Peradilan administrasi di Inggris dinamakan ”Administrative Tribunals” dan sama halnya di Negara Belanda. Hukum hukum meteril dan hukum acaranya tersebar juga di berbagai macam ketentuan, jadi tidak berpusat.
Di dalam hukum materil sekaligus dijelaskan juga jenis pengadilan administratif mana yang akan mengadili apabila terjadi sengketa/penyimpangan terhadap hukum meteri tersebut.Cuma bedanya ilah di inggris disamping berlaku hukum tertulis, juga dikembangkan hukum tak tertulis.
3. Perancis
Pengadilan Administrasi (la Justice Administrative) diselenggarkan oleh:
1) Les tribunaux administratifs (pengadilan administratif yang berjumlah 30 buah)
2) Ie Conseil D’Etat (Dewan Negara)
3) Et d’autersjurisdictions administratives qui/sont spesialisees dans des domsinesparticuliers (pengadilan administrasi lainnya yang mengkhususkan diri dalam bidang-bidang tertentu) masing-masing:
Pengadilan keuangan/perpajakan
Pengadilan yang mengurusi perkara pensiunan, tunjangan hari tua
Komisis ganti rugi para repatriate
Dinas/pelayanan hukum bagi ganti rugi akibat perang
Badan-badan nasional (dalam lingkungan dokter, arsitek)
Pada dasarnya sama Perancis, Inggris dan Belanda dalam sistem peradilan administrasi, tetapi Perancis agak berbeda ialah Counsil d’Etat yang berfungsi juga melayani kasus-kasus administrasibaik pada tingkat pertama untuk kasus-kasus tertentu misalnya usaha pembatalan peraturan/keputusan yang dikeluarkan pemerintah.

================
Syahran Basah, Laporan Penelitian Peradilan Administrasi Negara, Fakultas Hukum UNPAD, Simposium PTUN BPHN, Bina Cipta, Jakarta 1977
M. Hadin Muhjad, SH, Beberapa Masalah Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Akademika Presindo CV, Jakarta, 1985
Benjamin Mangkoedilaga, SH, Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983
Dr. Sunaryati Hartono SH Berbagai Fikiran Mengaenai Suatu Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Simposium PTUM BHPN, Binacipta, Jakarta 1977
Prof. Dr. B. Lopa, SH, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1993
Drs. Sudarsono, Pengadilan Negeri, Penagdilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata Usaha Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1994
Prof. Dr. B. Lopa, SH, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1993
Dr. Titik Triwulan Tutik, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Minggu, 30 Desember 2012

Kewarganegaraan

A. Konsep Kewarganegaraan
Pengertian Kewarganegaraan menurut UU Nomor 12 Tahun 2006
Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.
Menurut Soepomo, penduduk ialah orang yang dengan sah bertempat tinggal tetap dalam suatu Negara. Sah artinya tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan mengenai masuk dan mengadakan tempat tinggal tetap dalam suatu Negara yang mengadakan tempat tinggal tetap dalam Negara yang bersangkutan.
Rakyat atau penduduk yang mendiami suatu Negara ditinjau dari segi hukum, terdiri dari:
1. Warga Negara (staatsburgers), yaitu setiap orang yang memiliki ikatan hukum dengan pemerintah tersebut.
2. Orang asing, yaitu warga Negara asing yang bertempat tinggal pada Negara tersebut atas semua orang-orang yang bukan warga Negara.
Warga Negara dapat dibedakan antara lain:
a. Warga Negara asli (pribumi), yaitu penduduk asli Negara tersebut. Misalnya, suku jawa, suku Madura, suku dayak dan sebagaianya, merupakan warga Negara asli Indonesia.
b. Warga Negara keturunan asing (vreemdeling), yaitu warga Negara asing yang telah menjadi WNI. Misanya, WNI keturunan Tionghoa, Timur Tengah, India dan sebagainya.
Hal yang perlu diingat: “warga Negara sutu Negara tidak selalu menjadi penduduk Negara itu”. Misalnya, warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri. Penduduk suatu Negara tidak selalu merupakanwarga Negara dimana ia tinggal. Misalnya, orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Orang asing
Dalam hal orang asing, hukum Internasional ikut campur tangan artinya orang asing asing di dalam suatu Negara itu dilindungi sekedarnya oleh hukum internasional. Tentang perlindungan demikian ada 2 macam:
1) Secara positif, artinya Negara tempat di mana orang asing itu berada harus memberikan kepadanya beberapa hak-hak tertentu. Jadi suatu hak minimum itu harus dijamin.
2) Secara negatif, artinya suatu Negara itu tidak dapat mewajibkan sesuatu kepada orang yang berada di negaranya itu. jadi orang asing itu di suatu Negara tidak dapat dibebani kewajiban tertentu, misalnya kewajiban militer dan sebagainya.
Tetapi pada asasnya orang asing itu diperlukan sama dengan warga Negara, sedang isinya juga ada perbedaannya.
Isi kedudukan sebagai warga Negara:
1. Hanya warga Negara mempunyai hak-hak politik, misalnya hak memilih atau dipilih
2. Hanya warga Negara mempunyai hak angkat menjadi jabatan Negara.

B. Sistem Kewarganegaraan
Ada dua criteria umum yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menjadi warga Negara suatu Negara, yaitu kriterium yang didasarkan atas kelahiran dan naturalisasi.
1. Sistem kewarganegaraan berdasarkan kelahiran
Kriterium kelahiran dibagi dalam ius sanguinis (asas keibubapakan) dan kriterium ius soli (tempat kelahiran)
a. Ius sanguinis
Asas ius sanguinis (law of the blood) atau asas genealogis (keturunan) atau asas keibubapakan, adalah asa yang menetapkan seseorang yang mempunyai kewarganegaraan menurut kewarganegaraan orang tuanya, tanpa mengindah dimana ia dilahirkan. Asas ini dianut oleh Negara yang tidak dibatasi oleh lautan seperti Eropa Kontinental dan Cina.
Keuntungan dari asa ius sanguinis antara lain:
a) Akan memperkecil jumlah orang keturunan asing sebagai warga Negara.
b) Tidak akan memutuskan hubungan antara Negara dengan warga Negara yang lahir.
c) Semakin menumbuhkan semangat nasionalisme
d) Bagi Negara daratan seperti cina dan lain-lain, yang tidak menetap pada suatu Negara tertentu, tetapi keturunan tetap sebagai warga negaranya meskipun lahir ditempat lain (Negara tetangga).
b. Ius soli
Pada awalnya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran hanya satu, yaitu ius soli. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang lahir disuatu wilayah Negara, maka otomatis dan logis ia menjadi warga Negara tersebut. Asas ini dianut oleh Negara-negara imigrasi seperti USA, Australia dan Kanada.
Untuk sementara waktu asas ius soli menguntukan, yaitu dengan lahirnya anak-anak dari para imigran di Negara tersebut maka putuslah hubungan dengan Negara asal. Akan tetapi dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan pada tempat lahirnya saja.
Dalam perjalanan banyak Negara yang meninggalkan asas ius soli, seperti Belanda, Belgia dan lain-lain. Selain kedua asas tersebut ada beberapa yang menggabungkan keduanya Inggris dan Indonesia.
2. Sistem kewarganegaraan berdasarkan perkawinan
Selain sistem kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat ditetntukan berdasarkan Sistem perkawinan. Sistem perkawianan dibagi menjadi dua asa yaitu, asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
a) Asas kesatuan hukum
Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga. Menurut asas kesatuan hukum, maka sang istri mengikuti status baik pada waktu perkawianan dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan. Negara-negara yang masih mengikuti asas ini antara lain: Belanda, Peracis, Yunani, Italia, Libanon, dan lain-lainnya.
b) Asas persamaan derajat
Menurut asa persamarataan, bahwa perkawinan sama sekali tidak memengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka masing-masing (istri atau suami) bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan atau suami dan istri tetap berkewarganegaraan asal sekalipun sudah menjadi suami istri. Negara-negara yang mempergunakan asas ini antara lain: Australia, Kanada, Denmark, Inggris, Jerman, Israil, Swedia, Birma, dan lainnya.
Menurut UU kewarganegaraan mengatur tentang kewarganegaraan yang berhubungan dengan perkawinan campuran. Sesuai dengan pasal 19 menyatakan, bahwa seorang perempuan yang kawin dengan seorang WNI, memperoleh kewarganegaraan RI, kecuali dalam jangka waktu satu tahunmenyatakan keterangan menolaknya. Sedangkan pasal 26 ayat (1) dan (3), menentukan bahwa prempuan warga Negara Indonesia yang kawion dengan laki-laki warga Negara asing hingga kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut, kecuali ia mengajukan permohonan untuk menjadi WNI. Dari rumusan teresebut membuktikan bahwa Indonesia pada dasarnya menganut asas persamarataan.
3. Sistem kewarganegaraan berdasarkan Naturalisasi
Naturalisasi adalah suatu cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan sesuatu Negara. Dalam praktik, naturalisasi dapat terjadi karena dua hal: pertama, karena yang bersangkutan mengajukan permohonan. Kedua, karena diberikan karena alasan kepentingan Negara atau yang bersangkutan telah berjasa kepada Negara teresbut.
1) Naturalisasi biasa
Naturalisasi biasa yaitu suatu naturalisasi yang dilakukan oleh orang asing melalui permohona  dan prosedur yang telah ditentukan. Cara dan syarat permohonan dijelaskan dalam UU No.12  Tahun 2006 pasal (9) dan (10).
2) Naturalisasi Istimewa
Naturalisasi Istimewa yaitu pewarganegaraan yang diberikan dalam pemerintah (presiden) dengan persetujuan DPR dengan alasan kepentingan Negara atau yang bersangkutan telah berjasa terhadap Negara.
Salam ketentuan kewarganegaraan seseorang berdasarkan naturalisasi, dipergunakan 2 stelsel, yaitu:
- Stelsel aktif yakni untuk menjadi warga Negara suatu Negara seseorang harus melakukan tindakan-tindakan hukum secara aktif.
- Stelsel pasif yakni seseorang dengan sendirinya dianggap sebagai warga Negara tanpa melakukan suatu tindakan hukum.
Seseorang memiliki 2 hak dalam menentukan status kewarganegaraannya, yaitu:
(1) Hak opsi, yakni hak untuk memiliki suatu kewarganegaraan.
(2) Hak repudasi, yakni hak untuk menolak suatu kewarganegaraan bagi yang melakukan stelsel pasif.

C. Masalah kewarganegaraan
Status kewarganegaraan secara yuridis diatur oleh peraturan perundang-undangan nasional. Tetapi dengan tidak adanya uniformeteit dalam menentukan persyaratan untuk diakui sebagai warga Negara dari berbagai, akibat dari perbedaan dasar yang dipakai dalam kewarganegaraan, maka timbul bermacam permasalahan kewarganegaraan.
a) Dwi kewarganegaraan (Bipateride)
Bipatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut ius  sanguinis lahir di Negara lain yang menganut asa ius soli, maka kedua Negara tersebut menganggap bahwa anak trsebut warga negaranya.
Untuk mencegah bipatrid, maka UU No. 62 tahun 1958 pasal 7 menyatakan bahwa, seorang perempuan asing yang kawin dengan laki-laki WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan melakukan pernyataan, dengan syarat bahwa dia harus meninggalkan kewarganegaraan asalnya.
b) Tanpa kewarganegaraan (Apatride)
Apatride terjadi apabila seseorang anak yang Negara orang tuanya menganut asas ius soli lahir di Negara yang menganut asas ius sangiunis. Untuk mencegah apatride: UU No. 62 tahun 1958.
Sementara bagi orang Cina sebalum lahirnya UU No. 62 Tahun 1958, untuk menentukan kewarganegaraan diadakan perjanjian antara Indonesia-Cina, yang dikenal dengan perjanjian Soenario-Chow pada tanggal 22 April 1955 yang diundangkan dengan UU No. 2 tahun 1958, berisi bahwa, semua orang Cina yang berdomisili di Indonesia harus mengadakan pilihan kewarganegaraan dengan tegas dan secara tertulis.
D.  Masalah Orang Asing
Globalisasi telah melahirkan hubungan antara Negara semakin kompleks, sehingga dengan mudah bangsa lain (orang asing) keluar masuk wilayah NKRI. Terhadap keberdaan orang asing tersebut perlu diawasi, bukan saja berhubung dengan kemungkinan adanya ilegalisasi terjadi juga berkaitan dengan tindakan-tindakan agar tidak mengganggu ketentraman, kesesuaian atau kesejahteraan umum.
Sesuai dengan pasal 1 dan pasal 2 UU No. 1 Tahun 1961 tentang pengawasan orang asing, mengatakan bahwa tugas pengawasan terhadap orang asing yang berada di Indonesia adalah dilakukan oleh menteri kehakiman. Selanjutnya menteri kehakiman membentuk badan pengawas yang akan menyelenggarakan pengawasan.
Tindakan yang dapat diambil oleh badan pengawas terhadap orang asing tersebut adalah:
1. Mengharuskan orang asing yang bersangkutan berdiam pada suatu tempat tertentu di Indonesia (internering)
2. Melarang orang asing yang bersangkutan berada di beberapa tempat tertentu di Indonesia darimana dia harus pergi
3. Mengeluarkan orang asing yang bersangkutan dari Indonesia walaupun dia penduduk Negara (externing)
Masalah lain dalam hubungan orang asing, adalah tentang perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara dua orang berbeda kewarganegaraan. Indonesia sudah sejak lama memiliki peraturan yang mengatur kedudukan wanita dalam perkawinan campuran, yakni regeling op de gemengde huwelijiken (Stb. No. 158 Tahun 1989). Pasal 1 gemengde huwelijiken memberi  tekanan pada verschillend rech onderwopen, yaitu yang takluk hukum yang berlainan.
Dengan perbedaan hukum tersebut menyebabkan beberapa macam perkawinan campuran yaitu, perkawinan campuran antar golongan (intergentie), perkawinan campuran antar tempat (interlocal), perkawinan campuran antar agama (interreligius). Dari ketiga jenis perkawinan tersebut yang paling menimbulkan persoalan serius adalah perkawinan campuran antar agama.
i. Perkawinan campuran antar golongan (Intergentiel)
Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan.
ii. Perkawinan campuran antar tempat (Interlocal)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang minang kawin dengan orang jawa.
iii. Perkawinan campuran antar agama (interreligius)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlaina. Misalnya orang Islam dengan orang kristiani. Pasal 10  regeling op de gemengde huwelijiken mengatur tentang perkawinan campuran di luar negeri (buiten Indonesia), di antaranya mengatur perkawinan campuran antar bangsa/antar Negara, antara lain yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Selanjutnya pasal 2 menyebutkan dengan tegas mengenai status seseorang perempuan dalam perkawinan campuran yaitu seorang perempuan yang melangsungkan perkawinan, mengikuti status sang suami.
---------------------------------
Busra Abu Bakar. Abu Daud Busra, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia
Hadisoeprapto Hartono, 1999, Pengantar  Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: liberty
C.S. T. Kansil, 1990, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: balai pustaka
Samidjo, 1986. Ilmu Negara, Jakarta: Armico, Cet III
Tutik, TT. 2008, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandeman UUD 1945, Jakarta: Cerdas Pustaka

Sabtu, 25 Desember 2010

Hak Asasi Manusia Menurut UUD 1945


A. Hak-hak Asasi dalam Pembukaan UUD 1945
Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 hak untuk menentukan nasip sendiri 1 “bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskann karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Pengakuan bahwa kemerdekaan adalah “hak segala bangsa” adalah pengakuan HAM kolektif dari satu bangsa untuk hidup bebas dari segala penindasan oleh bangsa lain. Pegakuan ini menegaskan kedudukan yang sejajar semua bangsa di dunia karena penjajahan pada dasarnya adalah bertentangan dengan “peri kemanusiaan dan peri keadilan”.2
Alinea kedua pembukaan menyebut Indonesia sebagai negara yang “adil” dan “makmur”. Kekuasaan hendaklah dijalankan dengan adil, artinya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Prinsip negara hukum mengakui adanya asas legalitas, yaitu tindakan aparatur negara haruslah didasarkan pada hukum dan bukan didasarkan pada kekuasaan.
Alinea ketiga menyebutkan hasrat bangsa Indonesia untuk “berkehidupan kebangsaan yang bebas”, yang menekankan HAM kolektif yang dimiliki sebuah bangsa.
Alinea keempat pembuakaan menegaskan tujuan pembentukan pemerintahan negara Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”, dan ini memuat pula intisari doktrin HAM.3 Pada alinea ini merupakan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan pendidikan.4
B. Hak-hak Asasi dalam Batang Tubuh UUD 1945
Batang tubuh UUD 1945 yang terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan juga memuat rumusan-rumusan yang cukup luas mengenai materi HAM, baik secara ekspisit maupun implisit.5
HAM dalam batang tubuh UUD 1945 dicantumkan dalam pasal-pasal berikut:
- Hak akan warga negara, pasal 26 UUD 1945 “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang sebagai warga negara (ayat 1), dan syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang” (ayat 2).6
- Pasal 27 tentang persamaa dalam hukum dan penghidupan yang layak bagi kemnusiaan.7 Pasal 27 ayat (1) telah menetapkan bahwa segala warga negara bersamaa kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (2) telah menetapkan pula bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
- Pasal 28 UUD 1945 menyatakan dengan tegas tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya dijamin oleh Pemerintah dan Peamerintah akan mengundangkan Undang-undang yang akan mengaturnya.
- Pasal 29 UUD 1945 dalam ayat (2) dengan tegas menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- Pasal 30 UUD 1945 dalam pasal ini dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara, yang syarat-syaratnya diatur dengan Undang-undang.
- Pasal 31 UUD 1945 menegaskan tentang hak-hak asasi di bidang pendidikan, bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, yang untuk itu maka Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajara nasional yang diatur dengan Undang-undang.
Sejalan dengan pendidikan pasal 32 menyatakan bahwa pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia, jadi dalam arti ini setiap unsur-unsur kebudayaan, macam-macam kebudayaan yang ada yang telah dimiliki penduduk mempunyai hak untuk dilindungi dan dikembangkan.
- Tentang Hak Ekonomi di atur dalam pasal 33 UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hayat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, Bumi dan air dan kekayaan alam dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- Pasal 34 UUD 1945 tentang kesejahteraan sosial, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.8
C. Hak-hak Asasi dalam Penjelasan UUD 1945
Ham dalam penjelasan meliputi:
- Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan, yang termuat dalam penjelasan pasal 24 dan 25 UUD 1945 “ kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubungan dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”.
- Hak mempertahankan tradisi budaya, yang termuat dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 “kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah diseluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta memperingati derajat kemanusiaan bangsa indonesia.”
- Hak mempertahanka bahasa daerah, yang termuat dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945, “di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyat dengan baik-baik bahasa-bahasa itu akan dihormati da dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupaka sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.”9
-----------------------------
1. Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta; Kencana, 2007), hal. 96
2. Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, (Jakarta; Gema Insani Press, 1996), hal. 96
3. Ibid, hal.97
4. Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta; UI press, 1995), hal. 88
5. R. G. Karta Sapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, (Jakarta; PT. Rineka Cipta, 1993), 262
6. Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hal. 96
7. Moh. Kusnardi & Hermaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta; CV Sinar Bakti, 1988), hal.324
8. R. G. Karta Sapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, hal.262-263
9. Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hal. 97-98