BAB I
Menikmati Dan Kehilangan Hak Kewargaan
(Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 1
Menikmati hak-hak kewargaan tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan.Menikmati Dan Kehilangan Hak Kewargaan
(Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 1
Pasal 2
Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dia nggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada.
Pasal 3
Tiada suatu hukuman pun yang mengakibatkan kematian perdata, atau hilangnya segala hak-hak kewargaan.
BAB II
Akta-Akta Catatan Sipil
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)
BAGIAN 1
Daftar Catatan Sipil Pada Umumnya
Pasal 4
Tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 10 Ketentuan-ketentuan Umum Perundang-undangan di Indonesia, maka bagi golongan Eropa di seluruh Indonesia ada daftar kelahiran, daftar lapor kawin, daftar izin kawin, daftar perkawinan dan perceraian, dan daftar kematian.Akta-Akta Catatan Sipil
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)
BAGIAN 1
Daftar Catatan Sipil Pada Umumnya
Pasal 4
Pegawai yang ditugaskan menyelenggarakan daftar-daf tar tersebut, dinamakan Pegawai Catatan Sipil.
Pasal 5
Presiden, setelah mendengar Mahkamah Agung menentuk an dengan peraturan tersendiri, tempat dan cara menyelenggarakan daftar-daftar tersebut, demikian pula cara menyusun akta-akta dan syarat-syarat yang harus diperhatikan. Dalam peraturan itu harus dicantumkan juga hukuman-hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran oleh Pegawai Catatan Sipil, sejauh hal itu belum atau tidak akan diatur dengan ketentuan undang-undang hukum pidana.
BAGIAN 2
Nama, Perubahan Nama, dan Perubahan Nama Depan
Pasal 5a
Anak sah, dan juga anak tidak sah namun yang diakui oleh bapaknya, memakai nama keturunan bapaknya.Nama, Perubahan Nama, dan Perubahan Nama Depan
Pasal 5a
Pasal 5b
Anak-anak tidak sah yang tidak diakui oleh bapaknya, memakai nama keturunan ibunya.
Pasal 6
Tak seorang pun diperbolehkan mengganti nama keturunannya, atau menambahkan nama lain pada namanya tanpa izin Presiden. Barang siapa nama tidak dikenal keturunan atau nama depannya, diperbolehkan mengambil suatu nama keturu nan atau nama depan, asalkan dengan izin Presiden.
Pasal 7
Permohonan izin untuk itu tidak dapat dikabulkan sebelum habis jangka waktu empat bulan, terhitung mulai hari pemberitaan permohonan itu dalam Berita Negara.
Pasal 8
Selama jangka waktu tersebut dalam pasal yang lalu, pihak-pihak yang berkepentingan diperbolehkan mengemukakan kepada Presiden, dengan surat permohonan, dasar-dasar yang mereka anggap menjadi keberatan untuk menentang permohonan tersebut.
Pasal 9
Bila dalam hal yang dimaksud dalam alinea pertama Pasal 6 permohonan itu dikabulkan, maka surat penetapannya harus disampaikan kepada pegawai catatan sipil di tempat tinggal si pemohon, pegawai mana harus menuliskannya dalam buku daftar yang sedang berjalan, dan membuat catatan tentang hal itu pada margin akta kelahiran si pemohon.Surat penetapan yang diberikan berkenaan dengan dik abulkannya permohonan yang diajukan menurut alinea kedua Pasal 6, dibukukan dalam daftar kelahiran yang sedang berjalan di tempat tinggal yang bersangkutan dan dalam ha! termaksud Pasal 43 alinea pertama Reglemen tentang Catatan Sipil untuk Golongan Eropa, dicatat pula pada margin akta kelahiran.
Jika suatu permohonan tidak dikabulkan seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, maka Presiden dapat memberikan suatu nama keturunan atau nama depan kepada yang berkepentingan. Surat penetapan mi harus dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal yang lalu.
Pasal 10
Diperolehnya suatu nama sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam keempat pasal yang lalu, sekali-kali tidak boleh diajukan sebagal bukti adanya hubungan sanak saudara.
Pasal 11
Tiada seorang pun diperbolehkan mengubah nama depan atau menambahkan nama depan pada namanya, tanpa izin Pengadilan Negeri tempat tinggalnya atas permohonan untuk itu, setelah mendengar jawaban Kejaksaan.
Pasal 12
Bila Pengadilan Negeri mengizinkan penggantian atau penambahan nama depan, maka surat penetapannya harus disampaikan kepada Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal si pemohon, dan pegawai itu harus membukukannya dalam daftar yang sedang berjalan, dan mencatatnya pula pada margin akta kelahiran.
BAGIAN 3
Pembetulan Akta Catatan Sipil dan Penambahannya (Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 13
Bila daftar tidak pernah ada, atau telah hilang dipalsui, diubah, robek, dimusnahkan, digelapkan atau dirusak, bila ada akta yang tidak terdapat dalam daftar itu atau bila dalam akta yang dibukukan terdapat kesesatan, kekeliruan atau kesalahan lain maka hal-hal itu dapat menjadi dasar untuk mengadakan penambahan atau perbaikan dalam daftar itu.Pembetulan Akta Catatan Sipil dan Penambahannya (Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 13
Pasal 14
Permohonan untuk itu hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri, yang di daerah hukumnya daftar-daftar itu diselenggarakan atau seharusnya diselenggarakan dan untuk itu Pengadilan Negeri akan mengambil keputusan setelah mendengar kejaksaan dan pihak-pihak yang berkepentingan bila ada cukup alasan dan dengan tidak mengurangi kesempatan banding.
Pasal 15
Keputusan ini hanya berlaku antara pihak-pihak yang telah memohon atau yang pernah dipanggil.
Pasal 16
Semua keputusan tentang pembetulan atau penambahan pada akta, yang telah memperoleh kekuatan tetap, harus dibuktikan oleh Pegawai Catatan Sipil dalam daftar-daftar yang sedang berjalan segera setelah diterbitkan dan bila ada perbaikan hal itu harus diberitakan pada margin akta yang diperbaiki, sesuai dengan ketentuan-keten tuan Reglemen tentang Catatan Sipil.
BAB III
Tempat Tinggal Atau Domisili
(Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 17
Setiap orang dianggap bertempat tinggal di tempat yang dijadikan pusat kediamannya. Bila tidak ada tempat kediaman yang demikian, maka tempat kediaman yang sesungguhnya dianggap sebagai tempat tinggalnya.
Pasal 18
Perubahan tempat tinggal terjadi dengan pindah rumah secara nyata ke tempat lain disertai niat untuk menempatkan pusat kediamannya di sana.
Pasal 19
Niat itu dibuktikan dengan menyampaikan pernyataan kepada Kepala Pemerintahan, baik di tempat yang ditinggalkan, maupun di tempat tujuan pindah rumah kediaman. Bila tidak ada pernyataan, maka bukti tentang adanya niat itu harus disimpulkan dari keadaan-keadaannya.
Pasal 20
Mereka yang ditugaskan untuk menjalankan dinas umum, dianggap bertempat tinggal di tempat mereka melaksanakan dinas.
Pasal 21
Seorang perempuan yang telah kawin dan tidak pisah meja dan ranjang, tidak mempunyai tempat tinggal lain daripada tempat tinggal suaminya; anak-anak di bawah umur mengikuti tempat tinggal salah satu dan kedua orang tua mereka yang melakukan kekuasaan orang tua atas mereka, atau tempat tinggal wali mereka; orang-orang dewasa yang berada di bawah pengampuan mengikuti tempat tinggal pengampuan mereka.
Pasal 22
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal yang lalu, buruh mempunyai tempat tinggal di rumah majikan mereka bila mereka tinggal serumah dengannya.
Pasal 23
Yang dianggap sebagai rumah kematian seseorang yang meninggal dunia adalah rumah tempat tinggalnya yang terakhir.
Pasal 24
Dalam suatu akta dan terhadap suatu soal tertentu, kedua pihak atau salah satu pihak bebas untuk memilih tempat tinggal yang lain daripada tempat tinggal yang sebenarnya. Pemilihan itu dapat dilakukan secara mutlak, bahkan sampai meliputi pelaksanaan putusan Hakim, atau dapat dibatasi sedemikian rupa sebagaimana dikehendaki oleh kedua pihak atau salah satu pihak. Dalam hal ini surat-surat juru sita, gugatan-gugatan atau tuntutan-tuntutan yang tercantum atau termaksud dalam akta itu boleh dilak ukan di tempat tinggal yang dipilih dan di muka Hakim tempat tinggal itu.
Pasal 25
Bila hal sebaliknya tidak disepakati, masing-masing pihak boleh mengubah tempat tinggal yang dipilih untuk dirinya, asalkan tempat tinggal yang baru tidak lebih dan sepuluh pal jauhnya dari tempat tinggal yang lama dan perubahan itu diberita hukan kepada pihak yang lain / pihak lawan.
BAB IV
PERKAWINAN
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Ketentuan Umum
Pasal 26
Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
BAGIAN 1
Syarat-syarat dan Segala Sesuatu yang Harus dipenuhi untuk Dapat Melakukan Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing, Tetapi Berlaku bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 27
Pada
waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan
satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang
lelaki saja.
Pasal 28
Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dan calon suami dan calon istri.
Pasal 29
Laki-laki
yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang
belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan
mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, Presiden
dapat menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi.
Pasal 30
Perkawinan
dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah
dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang
sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan;
dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau
tidak sah.
Pasal 31
Juga dilarang perkawinan:- antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;
- antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.
Pasal 32
Seseorang
yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zina,
sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya itu.
Pasal 33
Antara
orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan
Pasal 199 nomor 3° atau 4°, tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya
dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak
pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar Catatan
Sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.
Pasal 34
Seorang
perempuan tidak diperbolehkan melakukan perkawinan baru, kecuali
setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan
yang terakhir.
Pasal 35
Untuk
melaksanakan perkawinan, anak sah di bawah umur memerlukan izin kedua
orang tuanya. Akan tetapi bila hanya salah seorang dan mereka memberi
izin dan yang lainnya telah dipecat dan kekuasaan orang tua atau
perwalian atas anak itu, maka Pengadilan Negeri di daerah tempat tinggal
anak itu, atas permohonannya, berwenang memberi izin melakukan
perkawinan itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang
izinnya menjadi syarat beserta keluarga sedarah atau keluarga-keluarga
semenda. Bila salah satu orang tua telah meninggal atau berada dalam
keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dan
orang tua yang lain.
Pasal 36
Selain
izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum
dewasa memerlukan juga izin dan wali mereka, bila yang melakukan
perwalian adalah orang lain daripada bapak atau ibu mereka; bila izin
itu diperbolehkan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dan
keluarga sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dan wali
pengawas.Bila wali atau wali pengawas atau bapak atau ibu yang telah dipecat dan kekuasaan orang tua atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lalu, asalkan orang tua yang tidak dipecat dan kekuasaan orang tua atau perwaliannya atas anaknya telah memberikan izin itu.
Pasal 37
Bila
bapak atau ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing harus digantikan
oleh orang tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan
yang sama.Bila orang lain daripada orang-orang yang disebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak di bawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si anak memerlukan lagi izin dari wali atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu. Alinea kedua Pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya.
Pasal 38
Bila
bapak dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka
semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, anak
sah yang masih di bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin
wali dan wali pengawasnya.Bila baik wali maupun wali pengawas, atau salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka Pengadilan Negeri di daerah tempat tinggal anak yang masih di bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali, wali pengawas dan keluarga sedarah atau keluarga semenda.
Pasal 39
Anak
luar kawin yang diakui sah, selama masih di bawah umur, tidak boleh
melakukan perkawinan tanpa izin bapak dan ibu yang mengakuinya, sejauh
kedua-duanya atau salah seorang masih hidup dan tidak berada dalam
keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka.Bila semasa hidup bapak atau ibu yang mengakuinya orang lain yang melakukan perwalian atas anak itu, maka harus pula diperoleh izin dari wali itu atau dan wali pengawas bila izin itu diperlukan untuk perkawinan dengan wali itu sendiri atau dengan salah seorang dan keluarga sedarah dalam garis lurus.
Bila terjadi perselisihan pendapat antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea pertama dan kedua, dan salah seorang atau lebih menolak memberi izin itu, maka Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang dibawah umur itu, atas permohonan si anak, berkuasa memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan. Bila baik bapak ataupun ibu yang mengakui anak di bawah umur itu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, diperlukan izin dari wali dan wali pengawas.
Bila kedua-duanya atau salah seorang menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan pendirian, maka berlaku Pasal 38 alinea kedua, kecuali apa yang ditentukan di situ mengenai keluarga sedarah atau keluarga semenda.
Pasal 40
Anak
tidak sah yang tidak diakui, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa
izin wali atau wali pengawas, selama ia masih di bawah umur. Bila
kedua-keduanya, atau salah seorang, menolak untuk memberikan izin atau
untuk menyatakan pendirian, Pengadilan Negeri di daerah hokum tempat
tinggal anak yang masih di bawah umur itu, atas permohonannya, berkuasa
memberikan izin untuk itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah
wali atau wali pengawas si anak.
Pasal 41
Penetapan-penetapan
Pengadilan Negeri dalam hal-hal yang termaksud dalam enam pasal yang
lalu, diberikan tanpa bentuk hukum acara. Penetapan-penetapan itu, baik
yang mengabulkan permohonan izin, maupun yang menolak, tidak dapat
dimohonkan banding.Mendengar mereka yang izinnya diperlukan seperti yang termaksud dalam enam pasal yang lalu. bila mereka bertempat tinggal di luar kabupaten tempat kedudukan pengadilan negeri itu, boleh dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal atau tempat kedudukan mereka, Pengadilan Negeri mi akan menyampaikan berita acaranya kepada Pengadilan Negeri yang disebut pertama. Pemanggilan mereka yang izinnya diperlukan. dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 333 tentang keluarga sedarah dan keluarga semenda. Mereka yang disebut pertama, ataupun mereka yang disebut terakhir, boleh mewakilkan diri dengan cara seperti yang tercantum dalam Pasal 334.
Pasal 42
Anak
sah yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh tahun, juga wajib
untuk memohon izin bapak dan ibunya untuk melakukan perkawinan. Bila ia
tidak memperoleh izin itu, Ia boleh memohon perantaraan Pengadilan
Negeri tempat tinggalnya dan dalam hal itu harus diindahkan
ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.
Pasal 43
Dalam
waktu tiga minggu, atau dalam jangka waktu yang lain jika dianggap
perlu oleh Pengadilan Negeri, terhitung dari hari pengajuan surat
permohonan itu, Pengadilan harus berusaha menghadapkan bapak dan ibu,
beserta anak itu, agar dalam suatu sidang tertutup kepada mereka diberi
penjelasan-penjelasan yang dianggap berguna oleh pengadilan demi
kepentingan masing-masing. Mengenai pertemuan pihak-pihak tersebut harus
dibuat berita acara tanpa mencantumkan alasan-alasan yang mereka
kemukakan.
Pasal 44
Bila
baik pihaknya maupun ibunya tidak hadir, perkawinan dapat dilangsungkan
dengan penunjukan akta yang memperlihatkan ketidakhadiran itu.
Pasal 45
Bila
anak itu tidak hadir, maka perkawinannya tidak dapat dilaksanakan,
kecuali sesudah permohonan diajukan sekali lagi untuk perantaraan
pengadilan.
Pasal 46
Bila,
sesudah anak itu dan kedua orang tuanya atau salah satu orang tua
hadir, kedua orang tua itu atau salah seorang tetap menolak, maka
perkawinan tidak boleh dilaksanakan bila belum lampau tiga bulan
terhitung dari hari pertemuan itu.
Pasal 47
Ketentuan-ketentuan dalam lima pasal terakhir ini juga berlaku untuk anak tak sah terhadap bapak dan ibu yang mengakuinya.
Pasal 48
Sekiranya
kedua orang tua atau salah satu tidak berada di Indonesia, Presiden
berkuasa memberi dispensasi dan kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam
Pasal 42 sampai dengan Pasal 47
Pasal 49
Dalam
pengertian ketidakmungkinan bagi para orang tua atau para kakek nenek
untuk memberi izin kepada anak di bawah umur untuk melakukan perkawinan,
dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 35,37 dan 39, sekali-kali tidak
termasuk ketidakhadiran terus-menerus atau sementara di Indonesia.
BAGIAN 2
Acara yang Harus Mendahului Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing. Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 50
Semua
orang yang hendak melangsungkan perkawinan, harus memberitahukan hal
itu kepada Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal salah satu pihak.
Pasal 51
Pemberitahuan
ini harus dilakukan, baik secara langsung, maupun dengan surat yang
dengan cukup jelas memperlihatkan niat kedua calon suami-istri, dan
tentang pemberitahuan itu harus dibuat sebuah akta oleh Pegawai Catatan
Sipil.
Pasal 52
Sebelum
pelaksanaan perkawinan itu, Pegawai Catatan Sipil harus mengumumkan hal
itu dan menempel surat pengumuman pada pintu utama gedung tempat
penyimpanan daftar-daftar Catatan Sipil itu. Surat itu harus tetap
tertempel selama sepuluh hari. Pengumuman itu tidak boleh dilangsungkan
pada hari Minggu yang disamakan dengan hari Minggu dalam hal ini ialah
hari Tahun Baru, hari Paskah kedua dan Pantekosta, hari Natal, hari
Kenaikan Isa Almasih, dan hari Mi'raj Nabi Muhammad s. a. w. Surat
pengumuman ini harus memuat :- nama, nama depan, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami istri, dan, bila mereka sebelumnya pernah kawin, nama suami atau istri mereka yang dulu.
- hari, tempat dan jam terjadinya pengumuman. Surat itu ditandatangani oleh Pegawai Catatan Sipil itu.
Pasal 53
Bila kedua
calon suami isteri tidak bertempat tinggal dalam wilayah Catatan Sipil
yang sama, maka pengumuman itu akan dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil
di tempat tinggal masing-masing pihak.
Pasal 54
Bila
calon suami isteri belum sampai enam bulan penuh bertempat tinggal
dalam daerah suatu Catatan Sipil, pengumumannya harus juga dilakukan
oleh Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal mereka yang terakhir. Bila
ada alasan-alasan yang penting dan kewajiban membuat pengumuman tersebut
di atas boleh diberikan dispensasi oleh Kepala Pemerintahan Daerah yang
di daerahnya telah dilakukan pemberitahuan kawin.
Pasal 55
Dihapus dengan S. 916 - 338 jo. 1917- 18.
Pasal 56
Dihapus dengan S. 916 - 338 jo. 1917- 18.
Pasal 57
Bila
perkawinan itu belum dilangsungkan dalam waktu satu tahun, terhitung
dari waktu pengumuman, perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan, kecuali
bila sebelumnya diadakan pengumuman lagi.
Pasal 58
Janji
kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka Hakim berlangsungnya
perkawinan, juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian
biaya, kerugian dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu, semua
persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal.Akan tetapi, jika pemberitahuan kawin ini telah diikuti oleh suatu pengumuman, maka ha! Itu dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh satu pihak atas barang-barangnya sebagai akibat dan penolakan pihak yang lain; dalam pada itu tak boleh diperhitungkan soal kehilangan keuntungan. Tuntutan ini lewat waktu dengan lampaunya waktu delapan belas bulan, terhitung dari pengumuman perkawinan itu.
BAGIAN 3
Pencegahan Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 59
Hak
untuk mencegah berlangsungnya perkawinan hanya ada pada orang-orang
dari dalam hal-hal yang disebut dalam pasal-pasal berikut.
Pasal 60
Barang
siapa masih terikat perkawinan dengan salah satu pihak, termasuk jüga
anak-anak yang lahir dari perkawinan ini, berhak mencegah perkawinan
baru yang dilaksanakan, tetapi hanya berdasarkan perkawinan yang masih
ada.
Pasal 61
Bapak dan ibu dapat mencegah perkawinan dalam hal-hal:- bila anak mereka yang masih di bawah umur, belum mendapat izin
- bila anak mereka, yang sudah dewasa tetapi belum genap tiga puluh. tahun, lalai meminta izin mereka, dan dalam hal permohonan izin itu ditolak, lalai untuk meminta perantaraan Pengadilan Negeri seperti yang diwajibkan menurut Pasal 42.
- bila salah satu pihak, yang karena cacat mental berada dalam pengampuan, atau dengan alasan yang sama telah dimohonkan pengampuan, tetapi atas permohonan itu belum diambil keputusan;
- bila salah satu pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk mengadakan perkawinan dengan ketentuan-ketentuan bagian pertama bab ini;
- bila pengumuman perkawinan yang menjadi syarat tidak diadakan;
- bila salah satu pihak, karena sifat pemboros ditaruh di bawah pengampuan, dan perkawinan yang hendak dilangsungkan tampaknya akan membawa ketidakbahagiaan bagi anak mereka.
Pasal 62
Dalam
hal kedua orang tua tidak ada, maka kakek nenek dan wali atau wali
pengawas, bila yang disebut terakhir ini harus mengganti si wali, berhak
untuk mencegah perkawinan dalam hal-hal seperti yang tercantum dalam
nomor 3, 4, 5 dan 6° pasal yang lalu.Kakek nenek dan wali atau wali pengawas, bila yang disebut terakhir ini menggantikan si wali, berhak untuk mencegah perkawinan dalam hal-hal yang tercantum pada nomor 1°, jika izin mereka menjadi syarat.
Pasal 63
Dalam
hal kakek nenek tidak ada, maka saudara laki-laki dan perempuan, paman
dan bibi, demikian pula wali dan wali pengawas, pengampu dan pengampu
pengawas, berhak mencegah perkawinan:- bila ketentuan-ketentuan Pasal 38 dan Pasal 40 mengenai memperoleh izin kawin tidak diindahkan;
- karena alasan-alasan seperti yang tercantum dalam nomor 3°,4°,5°, dan 6° Pasal 61.
Pasal 64
Suami yang
perkawinannya telah bubar karena perceraian, boleh mencegah perkawinan
bekas isterinya, bila dia hendak kawin lagi sebelum lampau tiga ratus
hari sejak pembubaran perkawinan yang dulu.
Pasal 65
Kejaksaan wajib mencegah perkawinan yang hendak dilangsungkan dalam hal-hal yang tercantum dalam Pasal 27 sampai dengan 34.
Pasal 66
Pencegahan
perkawinan ditangani oleh Pengadilan Negeri, yang di daerah hukumnya
terletak tempat kedudukan Pegawai Catatan Sipil yang harus melangsungkan
perkawinan itu.
Pasal 67
Dalam
akta pencegahan harus disebutkan segala alasan yang dijadikan dasar
pencegahan itu, dan tidak diperkenakan mengajukan alasan baru, sejauh
hal itu tidak timbul setelah pencegahan.
Pasal 68
Dihapus dengan S. 1937-595.
Pasal 69
Bila
pencegahan itu ditolak, para penentang boleh dikenakan kewajiban
mengganti biaya, kerugian dan bunga, kecuali jika penentang itu adalah
keluarga sedarah dalam garis ke atas dan garis ke bawah atau Kejaksaan.
Pasal 70
Bila
terjadi pencegahan perkawinan. Pegawai Catatan Sipil tidak
diperkenankan untuk melaksanakan perkawinan itu, kecuali setelah
kepadanya disampaikan suatu putusan pengadilan yang telah mendapat
kekuatan hukum tetapi atau suatu akta otentik dengan mana pencegahan itu
ditiadakan pelanggaran atas ketentuan ini kena ancaman hukuman
penggantian biaya, kerugian dan bunga.Bila perkawinan itu dilaksanakan sebelum pencegahan itu ditiadakan, maka perkara mengenai pencegahan itu boleh dilanjutkan, dan perkawinan boleh dinyatakan batal sekiranya gugatan penentang dikabulkan.
BAGIAN 4
Pelaksanaan Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa, Kecuali KUHP. 71-6°, 74, 75)
Pasal 71
Sebelum melangsungkan perkawinan, Pegawai Catatan Sipil harus meminta agar kepadanya diperlihatkan :- akta kelahiran masing-masing calon suami istri
- akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil dan didaftarkan dalam daftar izin kawin, atau akta otentik lain yang berisi izin bapak, ibu, kakek, nenek, wali atau wali pengawas, ataupun izin yang diperoleh dan Hakim, dalam hal-hal di mana izin itu diperlukan; Izin itu juga dapat diberikan pada akta perkawinan sendiri;
- dalam hal perkawinan kedua atau perkawinan berikutnya akta perkawinan suami istri yang dulu, atau akta perceraian, atau salinan surat izin dari Hakim yang diberikan dalam hal pihak lain dan suami atau istri tidak ada;
- akta yang menunjukkan adanya perantaraan Pengadilan Negeri;
- akta kematian dan mereka yang seharusnya memberikan izin kawin;
- bukti, bahwa pengumuman perkawinan itu telah berlangsung tanpa pencegahan di tempat yang disyaratkan menurut Pasal 52 dan berikutnya, ataupun bukti bahwa pencegahan yang dilakukan telah dihentikan;
- dispensasi yang telah diberikan;
- izin untuk para perwira dan tentara bawahan yang menjadi syarat untuk melakukan perkawinan.
Pasal 72
Jika di
antara calon suami istri yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahiran
seperti yang disyaratkan pada nomor 1° pasal yang lalu, maka hal ini
dapat diganti dengan akta tanda kenal lahir yang dikeluarkan oleh Kepala
Pemerintahan Daerah tempat lahir atau tempat tinggal calon suami atau
istri atas keterangan dua saksi laki-laki atau perempuan, keluarga atau
bukan keluarga. Keterangan ini harus menyebutkan tempat dan waktu
kelahirannya secermat mungkin, serta sebab-sebab yang menghalanginya
untuk menunjukkan akta kelahiran.Tidak adanya akta kelahiran dapat juga diganti dengan keterangan semacam itu di bawah sumpah yang diberikan oleh saksi-saksi yang harus hadir pada pelaksanaan perkawinan itu, ataupun dengan keterangan yang diberikan di bawah sumpah di hadapan pegawai Catatan Sipil oleh calon suami atau istri, dan sumpah itu berisi, bahwa dia tidak dapat memperoleh akta kelahiran atau akta tanda kenal lahir. Dalam akta perkawinannya, keterangan yang satu dan
yang lainnya harus dicantumkan.
Pasal 73
Bila
para pihak tidak dapat memperlihatkan akta kematian yang disebut dalam
Pasal 71 nomor 5°, maka kekurangan itu dapat diperbaiki dengan cara yang
sama seperti yang tercantum dalam pasal yang lalu.
Pasal 74
Bila
Pegawai Catatan Sipil menolak untuk melangsungkan perkawinan atas dasar
tidak lengkapnya surat-surat dan keterangan-keterangan yang diharuskan
oleh pasal-pasal yang lalu, maka pihak-pihak yang berkepentingan berhak
mengajukan surat permohonan kepada Pengadilan Negeri; setelah mendengar
Kejaksaan,bila ada alasan untuk itu,dan mendengar Pegawai Catatan
Sipil,Pengadilan negeri itu secara singkat dan tanpa kemungkinan untuk
banding,akan mengambil keputusan tentang lengkap atau tidak lengkapnya
surat-surat.
Pasal 75
Perkawinan
tidak boleh dilangsungkan, sebelum hari kesepuluh setelah hari
pengumuman, dimana hari itu sendiri tidak termasuk. Jika ada alasan
penting Kepala Pemerintahan Daerah, yang di daerahnya telah dilakukan
pemberitahuan kawin, berkuasa memberikan dispensasi dan pengumuman dan
waktu tunggu yang diharuskan. Jika dispensasi telah diberikan, berita
tentang hal itu harus ditempel secepat-cepatnya pada pintu utama gedung
yang dimaksud pada alinea pertama Pasal 52. Dalam berita tempel itu
harus disebutkan kapan perkawinan itu akan atau dilaksanakan.
Pasal 76
Perkawinan
harus dilaksanakan di muka umum, dalam gedung tempat membuat akta
Catatan Sipil, di hadapan Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah
satu pihak dan dihadapan dua orang saksi, baik keluarga maupun bukan
keluarga, yang telah mencapai umur dua puluh satu tahun dan berdiam di
Indonesia.
Pasal 77
Bila
salah satu pihak karena halangan yang terbukti cukup sah, tidak dapat
pergi ke gedung tersebut, perkawinan boleh dilangsungkan dalam sebuah
rumah khusus di daerah Pegawai Catatan Sipil yang bersangkutan. Jika
terjadi hal yang demikian, maka dalam akta perkawinan harus dicantumkan
sebab-sebab terjadinya. Penilaian tentang sah tidaknya halangan tersebut
dalam pasal ini, diserahkan kepada Pegawai Catatan Sipil itu.
Pasal 78
Kedua calon suami istri harus datang secara pribadi menghadap Pegawai Catatan Sipil itu.
Pasal 79
Jika
ada alasan-alasan penting. Presiden berkuasa untuk mengizinkan
pihak-pihak yang bersangkutan melangsungkan perkawinan mereka dengan
menggunakan seorang wakil yang khusus diberi kuasa penuh dengan akta
otentik. Bila pemberi kuasa itu, sebelum perkawinan dilaksanakan, telah
kawin dengan orang lain secara sah, maka perkawinan yang telah
berlangsung dengan wakil khusus dianggap tidak pern ah terjadi.
Pasal 80
Kedua
calon suami istri, di hadapan Pegawai Catatan Sipil dan dengan
kehadiran para saksi, harus menerangkan bahwa yang satu menerima yang
lain sebagai suami atau istrinya, dan bahwa dengan ketulusan hati mereka
akan memenuhi kewajiban mereka, yang oleh undang-undang ditugaskan
kepada mereka sebagai suami istri.
Pasal 81
Tidak
ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak
membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa perkawinan dihadapan
Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung.
Pasal 82
Jika
terjadi pelanggaran oleh Pegawai Catatan Sipil atas ketentuan-ketentuan
dalam bab ini, maka selama hal itu tidak diatur dalam aturan
undang-undang hukum pidana, para Pegawai itu boleh dihukum oleh
Pengadilan Negeri dengan denda uang yang tidak melebihi seratus rupiah,
tanpa mengurangi hak pihak-pihak yang berkepentingan untuk menuntut
ganti rugi, bila ada alasan untuk itu.
BAGIAN 5
Perkawinan-perkawinan yang Dilaksanakan di Luar Negeri
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing BukanTionghoa, tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 83
Perkawinan
yang dilangsungkan di luar negeri, baik antara sesama warga negara
Indonesia, maupun antara warga negara Indonesia dengan warga negara
lain, adalah sah apabila perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang
biasa di negara tempat berlangsungnya perkawinan itu, dan suami istri
yang warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut
dalam bagian 1 Bab ini.
Pasal 84
Dalam
waktu satu tahun setelah kembalinya suami istri ke wilayah Indonesia,
akta tentang perkawinan mereka di luar negeri harus didaftarkan dalam
daftar umum perkawinan di tempat tinggal mereka.
BAGIAN 6
Batalnya Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Golongan Tionghoa, tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 85
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh Hakim.
Pasal 86
Batalnya
suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan Pasal 27, dapat
dituntut oleh orang yang karena perkawinan sebelumnya terikat dengan
salah seorang dan suami istri itu, oleh suami istri itu sendiri, oleh
keluarga sedarah dalam garis ke atas, oleh siapa pun yang mempunyai
kepentingan dengan batalnya perkawinan itu, dan, oleh Kejaksaan. Bila
batalnya perkawinan yang terdahulu dipertanyakan, maka terlebih dahulu
harus diputuskan ada tidaknya perkawinan terdahulu itu.
Pasal 87
Keabsahan
suatu perkawinan yang berlangsung tanpa persetujuan bekas kedua suami
istri atau salah seorang dari mereka, hanya dapat dibantah oleh suami
istri itu, atau oleh salah seorang dari mereka yang memberikan
persetujuan secara tidak bebas.Bila telah terjadi kekhilafan tentang diri orang yang dikawini, keabsahan perkawinan itu hanya dapat dibantah oleh suami atau istri yang telah khilaf itu. Dalam hal-hal tersebut dalam pasal ini, tuntutan akan pembatalan suatu perkawinan tidak boleh diterima, bila telah terjadi tinggal serumah terus-menerus selama tiga bulan sejak si suami atau istri mendapat kebebasan, atau sejak mengetahui kebebasannya.
Pasal 88
Bila
perkawinan dilakukan oleh orang yang karena cacat mental ditaruh di
bawah pengampuan, keabsahan perkawinan itu hanya boleh dibantah oleh
bapaknya, ibunya dan keluarga sedarah dalam garis ke atas, saudara
laki-laki dan perempuan, paman dan bibinya, demikian pula oleh
pengampuannya, dan akhirnya oleh Kejaksaan.Setelah pengampuan itu dicabut, pembatalan perkawinan hanya boleh dituntut oleh suami atau istri yang telah ditaruh di bawah pengampuan itu, tetapi tuntutan ini pun tidak dapat diterima bila kedua suami istri telah tinggal bersama selama enam bulan, terhitung dari pencabutan pengampuan itu.
Pasal 89
Bila
perkawinan dilakukan oleh orang yang belum mencapai umur yang
disyaratkan dalam Pasal 29, maka pembatalan perkawinan itu boleh
dituntut, baik oleh orang yang belum cukup umur itu, maupun oleh
Kejaksaan. Namun keabsahan perkawinan itu tidak dapat dibantah:- bila pada hari tuntutan akan pembatalan itu diajukan, salah seorang atau kedua suami istri telah mencapai umur yang disyaratkan;
- bila istri, kendati belum mencapai umur yang disyaratkan. telah hamil sebelum tuntutan diajukan.
Pasal 90
Semua
perkawinan yang dilakukan dengan melanggar ketentuan-ketentuan dalam
pasal-pasal 30, 31, 32 dan 33, boleh dimintakan pembatalan, baik oleh
suami istri itu sendiri, maupun oleh orang tua mereka atau keluarga
sedarah mereka dalam garis ke atas, atau oleh siapa pun yang mempunyai
kepentingan dengan pembatalan itu, ataupun oleh Kejaksaan.
Pasal 91
Bila
suatu perkawinan dilaksanakan tanpa izin bapak, ibu, kakek, nenek, wali
atau wali pengawas, maka dalam hal izin harus diperoleh ataupun wali
harus didengar menurut pasal-pasal 36, 37, 38, 39 dan 40, pembatalan
perkawinan hanya boleh dituntut oleh orang yang harus diperoleh izinnya
atau harus didengar menurut undang-undang.Para keluarga sedarah yang izinnya disyaratkan tidak lagi boleh menuntut pembatalan perkawinan, bila secara diam-diam, atau perkawinan itu telah berlangsung enam bulan tanpa bantahan apa pun dan mereka terhitung sejak saat mereka mengetahui perkawinan itu.
Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pengetahuan tentang berlangsungnya perkawinan itu tidak boleh dianggap ada, selama suami istri itu tetap Ialai untuk mendaftarkan akta pelaksanaan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 84.
Pasal 92
Perkawinan
yang dilangsungkan tidak dihadapan Pegawai Catatan Sipil yang berwenang
dan tanpa kehadiran sejumlah saksi yang disyaratkan, dapat dimintakan
pembatalannya oleh suami istri itu, oleh bapak, ibu, dan keluarga
sedarah lainnya dalam garis ke atas, dan juga oleh wali, wali pengawas,
dan oleh siapa pun yang berkepentingan dalam hal itu, dan akhirnya oleh
Kejaksaan.Jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 76, sejauh mengenai keadaan saksi-saksi, maka perkawinan itu tidak mutlak harus batal; Hakimlah yang akan mengambil keputusan menurut keadaan.
Bila tampak jelas adanya hubungan selaku suami istri, dan dapat pula diperlihatkan akta perkawinan yang dibuat di hadapan Pegawai Catatan Sipil, maka suami istri itu tidak dapat diterima untuk minta pembatalan perkawinan mereka menurut pasal ini.
Pasal 93
Dalam
segala hal di mana sesuai dengan pasal-pasal 85, 90 dan 92 suatu
tuntutan hokum pernyataan batal dapat dimulai oleh orang yang mempunyai
kepentingan dalam ha! itu, yang demikian tidak dapat dilakukan oleh
kerabat sedarah dalam garis ke samping oleh anak dari perkawinan lain,
atau oleh orang-orang luar, selama suami istri itu kedua-duanya masih
hidup, dan tuntutan boleh diajukan hanya bila mereka dalam hal itu telah
memperoleh atau akan segera memperoleh kepentingan.
Pasal 94
Setelah perkawinan dibubarkan, Kejaksaan tidak boleh menuntut pembatalannya.
Pasal 95
Suatu
perkawinan, walaupun telah dinyatakan batal, mempunyai segala akibat
perdatanya, baik terhadap suami isteri, maupun terhadap anak-anak
mereka, bila perkawinan itu dilangsungkan dengan itikad baik oleh kedua
suami isteri itu.
Pasal 96
Bila
itikad baik hanya ada pada salah seorang dan suami isteri, maka
perkawinan itu hanya mempunyai akibat-akibat perdata yang menguntungkan
pihak yang beritikad baik itu dan bagi anak-anak yang lahir dan
perkawinan itu. Suami atau isteri yang beritikad buruk boleh dijatuhi
hukuman mengganti biaya, kerugian dan bunga terhadap pihak yang lain.
Pasal 97
Dalam
ha! tersebut dalam dua pasal yang lalu, perkawinan itu berhenti
mempunyai akibat-akibat perdata, terhitung sejak hari perkawinan itu
dinyatakan batal.
Pasal 98
Batalnya suatu perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga, bila dia telah berbuat dengan itikad baik dengan suami istri itu.
Pasal 99
Tiada
suatu perkawinan pun yang harus batal bila terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan pasal-pasal 34,42,46,52, dan 75, atau, kecuali apa
yang diatur dalam Pasal 77, bila perkawinan itu dilangsungkan tidak di
muka umum dalam gedung tempat akta-akta Catatan Sipil dibuat. Dalam
hal-hal itu berlakulah ketentuan Pasal 82 bagi Pegawai-pegawai Catatan
Sipil.
Pasal 99a
Pembatalan
suatu perkawinan oleh Pengadilan atas tuntutan Kejaksaan di Pengadilan
tersebut harus didaftar dalam daftar perkawinan yang sedang berjalan
oleh Pegawai Catatan Sipil tempat perkawinan itu dilangsungkan, dengan
cara yang sesuai dengan alinea pertama Pasal 64 Reglemen tentang Catatan
Sipil untuk golongan Eropa atau alinea pertama Pasal 72 Reglemen yang
sama untuk golongan Tionghoa. Tentang pendaftaran itu harus dibuat
catatan pada margin akta perkawinan.Bila perkawinan itu berlangsung di luar Indonesia, maka pendaftarannya dilakukan di Jakarta.
BAGIAN 7
Bukti Adanya Suatu Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 100
Adanya
suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada
dengan akta pelaksanaan perkawinan itu yang didaftarkan dalam
daftar-daftar Catatan Sipil, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam
pasal-pasal berikut.
Pasal 101
Bila
ternyata bahwa daftar-daftar itu tidak pernah ada, atau telah hilang,
atau akta perkawinan itu tidak terdapat di dalamnya, maka penilaian
tentang cukup tidaknya bukti-bukti tentang adanya perkawinan diserahkan
kepada Hakim, asalkan kelihatan jelas adanya hubungan selaku suami
isteri.
Pasal 102
Keabsahan
seorang anak yang tidak dapat memperlihatkan akta perkawinan orang
tuanya yang sudah meninggal, tidak dapat dibantah, bila dia telah
memperlihatkan kedudukannya sebagai anak sesuai dengan akta
kelahirannya, dan orang tuanya telah hidup secara jelas sebagai
suami-isteri.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 103
Suami isteri wajib setia satu sama lain, saling menolong dan saling membantu.
Pasal 104
Suami isteri, dengan hanya melakukan perkawinan, telah saling mengikatkan diri untuk memelihara dan mendidik anak mereka.
Pasal 105
Setiap
suami adalah menjadi kepala persatuan perkawinan. Sebagai kepala, ia
wajib memberibantuan kepada isterinya atau tampil untuknya di muka
Hakim, dengan mengingat pengecualian-pengecualian yang diatur di bawah
ini.Dia harus mengurus harta kekayaan pribadi si isteri, kecuali bila disyaratkan yang sebaliknya. Dia harus mengurus harta kekayaan itu sebagai seorang kepala keluarga yang baik, dan karenanya bertanggung jawab atas segala kelalaian dalam pengurusan itu. Dia tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebankan harta kekayaan tak bergerak isterinya tanpa persetujuan si isteri.
Pasal 106
Setiap
isteri harus patuh kepada suaminya. Dia wajib tinggal serumah dengan
suaminya dan mengikutinya, di mana pun dianggapnya perlu untuk bertempat
tinggal.
Pasal 107
Setiap
suami wajib menerima isterinya di rumah yang ditempatinya. Dia wajib
melindungi isterinya, dan memberinya apa saja yang perlu, sesuai dengan
kedudukan dan kemampuannya.
Pasal 108
Seorang
isteri, sekalipun ia kawin di luar harta bersama, atau dengan harta
benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan,
menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan
beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis.Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada isterinya untuk membuat akta atau perjanjian tertentu, si isteri tidaklah berwenang untuk menerima pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari suami.
Pasal 109
Mengenai
perbuatan atau perjanjian, yang dibuat oleh seorang isteri karena apa
saja yang menyangkut perbelanjaan rumah tangga biasa dan sehari-hari,
juga mengenai perjanjian perburuhan yang diadakan olehnya sebagai
majikan untuk keperluan rumah tangga, undang-undang menganggap bahwa ia
telah mendapat persetujuan dan suaminya.
Pasal 110
Isteri
tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya, meskipun
dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta terpisah, atau
meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas.
Pasal 111
Bantuan suami tidak diperlukan:- bila si isteri dituntut dalam perkara pidana;
- dalam perkara perceraian, pisah meja dan ranjang, atau pemisahan harta.
Pasal 112
Bila
suami menolak memberi kuasa kepada isterinya untuk membuat akta, atau
menolak tampil di Pengadilan, maka si isteri boleh memohon kepada
Pengadilan Negeri di tempat tinggi mereka bersama supaya dikuasakan
untuk itu.
Pasal 113
Seorang
isteri yang atas usaha sendiri melakukan suatu pekerjaan dengan izin
suaminya, secara tegas atau secara diam-diam, boleh mengadakan
perjanjian apa pun yang berkenaan dengan usaha itu tanpa bantuan
suaminya. Bila ia kawin dengan suaminya dengan penggabungan harta, maka
si suami juga terikat pada perjanjian itu. Bila si suami menarik kembali
izinnya, dia wajib mengumumkan penarikan kembali itu.
Pasal 114
Bila
si suami, karena sedang tidak ada atau karena alasan-alasan lain,
terhalang untuk membantu isterinya atau memberinya kuasa, atau bila ia
mempunyai kepentingan yang berlawanan, maka Pengadilan Negeri di tempat
tinggal suami isteri itu boleh memberikan wewenang kepada si isteri
untuk tampil di muka Pengadilan, mengadakan perjanjian, melakukan
pengurusan, dan membuat akta-akta lain.
Pasal 115
Pemberian
kuasa umum, pun jika dicantumkan pada perjanjian perkawinan, berlaku
tidak lebih daripada yang berkenaan dengan pengurusan harta kekayaan si
isteri itu sendiri.
Pasal 116
Batalnya
suatu perbuatan berdasarkan tidak adanya kuasa, hanya dapat dituntut
oleh si isteri, suaminya atau oleh para ahli waris mereka.
Pasal 117
Bila
seorang isteri, setelah pembubaran perkawinan melaksanakan perjanjian
atau akta, seluruhnya atau sebagian, yang telah dia adakan tanpa kuasa
yang disyaratkan, maka dia tidak berwenang untuk meminta pembatalan
perjanjian atau akta itu.
Pasal 118
Isteri dapat membuat wasiat tanpa izin suami.
BAB VI
HARTA BERSAMA MENURUT UNDANG-UNDANG DAN PENGURUSANNYA
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
BAGIAN 1
Harta Bersama Menurut Undang-Undang
Pasal 119
Sejak
saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta
bersama menyeluruh antarà suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak
diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta
bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau
diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri.
Pasal 120
Berkenaan
dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang
bergerak dan barang-barang tak bergerak suami isteri itu, baik yang
sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh
secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan
atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas.
Pasal 121
Berkenaan
dengan beban-beban, maka harta bersama itu meliputi semua utang yang
dibuat oleh masing-masing suami isteri, baik sebelum perkawinan maupun
setelah perkawinan maupun selama perkawinan.
Pasal 122
Semua
penghasilan dan pendapatan, begitu pula semua keuntungan-keuntungan dan
kerugian-kerugian yang diperoleh selama perkawinan, juga menjadi
keuntungan dan kerugian harta bersama itu.
Pasal 123
Semua utang kematian, yang terjadi setelah seorang meninggal dunia, hanya menjadi beban para ahli waris dan yang meninggal itu.
BAGIAN 2
Pengurusan Harta Bersama
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 124
Hanya
suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu. Dia boleh menjualnya,
memindahtangankannya dan membebaninya tanpa bantuan isterinya, kecuali
dalam hal yang diatur dalam Pasal 140.Dia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang-barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah yang tertentu dan barang-barang bergerak, bila bukan kepada anak-anak yang lahir dan perkawinan mereka, untuk memberi suatu kedudukan. Bahkan dia tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai sesuatu barang yang khusus, bila dia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang itu.
Pasal 125
Bila
si suami tidak ada, atau berada dalam keadaan tidak mungkin untuk
menyatakan kehendaknya, sedangkan hal ini dibutuhkan segera, maka si
isteri boleh mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dan harta
bersama itu, setelah dikuasakan untuk itu oleh Pengadilan Negeri.
BAGIAN 3
Pembubaran Gabungan Harta Bersama dan Hak untuk Melepaskan Diri Padanya
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 126
Harta bersama bubar demi hukum:- karena kematian;
- karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada;
- karena perceraian;
- karena pisah meja dan ranjang;
- karena pemisahan harta.
Pasal 127
Setelah
salah seorang dan suami isteri meninggal, maka bila ada meninggalkan
anak yang masih di bawah umur, pihak yang hidup terlama wajib untuk
mengadakan pendaftaran harta benda yang merupakan harta bersama dalam
waktu empat bulan. Pendaftaran harta bersama itu boleh dilakukan di
bawah tangan, tetapi harus dihadiri oleh wali pengawas. Bila pendaftaran
harta bersama itu tidak diadakan, gabungan harta bersama berlangsung
terus untuk keuntungan si anak yang masih di bawah umur dan sekali-kali
tidak boleh merugikannya.
Pasal 128
Setelah
bubarnya harta bersama,. kekayaan bersama mereka dibagi dua antara
suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa
mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu.Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab XVII Buku Kedua, mengenai pemisahan harta peninggalan, berlaku terhadap pembagian harta bersama menurut undang-undang.
Pasal 129
Pakaian,
perhiasan dan perkakas untuk mata pencaharian salah seorang dari suami
isteri itu, beserta buku-buku dan koleksi benda-benda kesenian dan
keilmuan, dan akhirnya surat-surat atau tanda kenang-kenangan yang
bersangkutan dengan asal usul keturunan salah seorang dari suami isteri
itu, boleh dituntut oleh pihak asal benda itu, dengan membayar harga
yang ditaksir secara musyawarah atau oleh ahli-ahli.
Pasal 130
Setelah
pembubaran harta bersama, suami boleh ditagih atas utang dan harta
bersama seluruhnya, tanpa mengurangi haknya untuk minta penggantian
setengah dan utang itu kepada isterinya atau kepada para ahli waris si
isteri.
Pasal 131
Suami
atau isteri, setelah pemisahan dan pembagian seluruh harta bersama,
tidak boleh dituntut oleh para kreditur untuk membayar utang-utang yang
dibuat oleh pihak lain dari suami atau isteri itu sebelum perkawinan,
dan utang-utang itu tetap menjadi tanggungan suami atau isteri yang
telah membuatnya atau para alih warisnya; hal ini tidak mengurangi hak
pihak yang satu untuk minta ganti rugi kepada pihak yang lain atau ahli
warisnya.
Pasal 132
Isteri
berhak melepaskan haknya atas harta bersama; segala perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan ini batal; sekali melepaskan haknya, dia
tidak boleh menuntut kembali apapun dari harta bersama, kecuali kain
seprai dan pakaian pribadinya. Dengan pelepasan ini dia dibebaskan dan
kewajiban untuk ikut membayar utang-utang harta bersama. Tanpa
mengurangi hak para kreditur atas harta bersama, si isteri tetap wajib
untuk melunasi utang-utang yang dari pihaknya telah jatuh ke dalam harta
bersama; hal ini tidak mengurangi haknya untuk minta penggantian
seluruhnya kepada suaminya atau ahli warisnya.
Pasal 133
Isteri
yang hendak menggunakan hak tersebut dalam pasal yang lalu, wajib untuk
menyampaikan akta pelepasan, dalam waktu satu bulan setelah pembubaran
harta bersama itu, kepada panitera Pengadilan Negeri di tempat tinggal
bersama yang terakhir, dengan ancaman akan kehilangan hak itu (bila
lalai). Bila gabungan itu bubar akibat kematian suaminya, maka tenggang
waktu satu bulan berlaku sejak si isteri mengetahui kematian itu.
Pasal 134
Bila
dalam jangka waktu tersebut di atas isteri meninggal dunia, sebelum
menyampaikan akta pelepasan. para ahli warisnya berhak melepaskan hak
mereka atas harta bersama itu dalam waktu satu bulan setelah kematian
itu, atau setelah mereka mengetahui kematian itu, dan dengan cara
seperti yang diuraikan dalam pasal tera khir. Hak isteri untuk menuntut
kembali kain seprai dan pakaiannya dan harta bersama itu, tidak dapat
diperjuangkan oleh para ahli warisnya.
Pasal 135
Bila
para ahli waris tidak sepakat dalam tindakan, sehingga sebagian
menerima dan yang lain melepaskan diri dari harta bersama itu, maka yang
menerima itu, tidak dapat memperoleh lebih dari bagian warisan yang
menjadi haknya atas barang-barang yang sedianya menjadi bagian isteri
itu seandainya terjadi pemisahan harta. Sisa nya dibiarkan tetap pada si
suami, atau para ahli warisnya, yang sebaliknya berkewajiban terhadap
ahli waris yang melakukan pelepasan, untuk memenuhi apa saja yang
sedianya akan dituntut oleh si isteri dalam hal pelepasan, tetapi hanya
sebesar bagian warisan yang menjadi hak ahli waris yang melakukan
pelepasan.
Pasal 136
Isteri
yang telah menarik pada dirinya tidak berhak melepaskan diri dari harta
bersama itu. Tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan semata-mata
atau penyelamatan, tidak membawa akibat seperti itu.
Pasal 137
Isteri
yang telah menghilangkan atau menggelapkan barang-barang dan harta
bersama, tetap berada dalam penggabungan meskipun telah melepaskan
dirinya; hal yang sama berlaku bagi para ahli warisnya.
Pasal 138
Dalam
hal gabungan harta bersama berakhir karena kematian si isteri para ahli
warisnya dapat melepaskan diri dari harta bersama itu, dalam waktu dan
dengan cara seperti yang diatur mengenai si isteri sendiri.
BAB VII
PERJANJIAN KAWIN
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
BAGIAN 1
Perjanjian Kawin pada Umumnya
Pasal 139
Para
calon suami isteri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dan
peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak
bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum
dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.
Pasal 140
Perjanjian
itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si
suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai bapak, tidak pula
hak-hak yang oleh undang-undang diberikan kepada yang masih hidup paling
lama.Demikian pula perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami isteri; namun hal mi tidak mengurangi wewenang isteri untuk mensyaratkañ bagi dirinya pengurusan harta ke kayaan pribadi, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak di samping penikmatan penghasilannya pribadi secara bebas.
Mereka juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada golongan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama isteri, atau yang selama perkawinan dan pihak isteri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si isteri.
Pasal 141
Para
calon suami isteri, dengan mengadakan perjanjian perkawinan, tidak
boleh melepaskan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada mereka
atas warisan keturunan mereka, pun tidak boleh mengatur warisan itu.
Pasal 142
Mereka
tidak boleh membuat perjanjian, bahwa yang satu mempunyai kewajiban
lebih besar dalam utang-utang daripada bagiannya dalam
keuntungan-keuntungan harta bersama.
Pasal 143
Mereka
tidak boleh membuat perjanjian dengan kata-kata sepintas lalu, bahwa
ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang, kitab
undang-undang luar negeri, atau oleh beberapa adat kebiasaan,
undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan daerah, yang pernah
berlaku di Indonesia.
Pasal 144
Tidak
adanya gabungan harta bersama tidak berarti tidak adanya keuntungan dan
kerugian bersama, kecuali jika hal ini ditiadakan secara tegas.
Penggabungan keuntungan dan kerugian diatur dalam Bagian 2 bab ini.
Pasal 145
Juga
dalam hal tidak digunakannya atau dibatasinya gabungan harta bersama,
boleh ditetapkan dalam jumlah yang harus disumbangkan oleh si isteri
setiap tahun dan hartanya untuk biaya rumah tangga dan pendidikan
anak-anak.
Pasal 146
Bila tidak ada perjanjian mengenai hal itu, hasil-hasil dan pendapatan dan harta isteri masuk penguasaan suami.
Pasal 147
Perjanjian
kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung,
dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu
akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh
ditentukan saat lain untuk itu.
Pasal 148
Perubahan-perubahan
dalam hal itu, yang sedianya boleh diadakan sebelum perkawinan
dilangsungkan, tidak dapat diadakan selain dengan akta, dalam bentuk
yang sama seperi akta perjanjian yang dulu dibuat. Lagi pula tiada
perubahan yang berlaku jika diadakan tanpa kehadiran dan izin
orang-orang yang telah menghadiri dan menyetujui perjanjian kawin itu.
Pasal 149
Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan cara apa pun.
Pasal 150
Jika
tidak ada gabungan harta bersama, maka masuknya barang-barang bergerak,
terkecuali surat-surat pendaftaran pinjaman-pinjaman negara dan
efek-efek dan surat-surat piutang atas nama, tidak dapat dibuktikan
dengan cara lain daripada dengan cara mencantumkannya dalam perjanjian
kawin, atau dengan pertelaan yang ditandatangani oleh notaris dan
pihak-pihak yang bersangkutan, dan dilekatkan pada surat asli perjanjian
kawin, yang di dalamnya hal itu harus tercantum.
Pasal 151
Anak
di bawah umur yang memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan,
juga cakap untuk memberi persetujuan atas segala perjanjian yang boleh
ada dalam perjanjian kawin, asalkan dalam pembuatan perjanjian itu, anak
yang masih di bawah umur itu dibantu oleh orang yang persetujuannya
untuk melakukan perkawinan itu diperlukan.Bila perkawinan itu harus berlangsung dengan izin tersebut dalam Pasal 38 dan Pasal 41, maka rencana perjanjian kawin itu harus dilampirkan pada permohonan izin itu, agar tentang hal itu dapat sekalian diambil ketetapan.
Pasal 152
Ketentuan
yang tercantum dalam perjanjian kawin, yang menyimpang dan harta
bersama menurut undang-undang, seluruhnya atau sebagian, tidak akan
berlaku bagi pihak ketiga sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan
itu dalam daftar umum, yang harus diselenggarakan di kepaniteraan pada
Pengadilan Negeri, yang di daerah hukumnya perkawinan itu dilangsungkan.
atau kepaniteraan dimana akta perkawinan itu didaftarkan, jika
perkawinan berlangsung di luar negeri.
Pasal 153
Segala
ketentuan mengenai gabungan harta bersama selalu berlaku selama tidak
ada penyimpangan daripadanya, baik yang dibuat secara tertulis, maupun
secara tersirat, dalam perjanjian kawin. Bagaimanapun sifat dan cara
gabungan harta bersama diperjanjikan, isteri atau para ahli warisnya
berhak untuk melepaskan diri daripadanya, dengan cara dan dalam hal-hal
seperti yang diatur dalam bab yang lalu.
Pasal 154
Perjanjian kawin, demikian pula hibah-hibah yang berkenaan dengan perkawinan, tidak berlaku bila tidak diikuti oleh perkawinan.
BAGIAN 2
Gabungan Keuntungan dan Kerugian dan Gabungan Hasil dari Pendapatan
(Tidak Berlaku Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 155
Bila
para calon suami isteri hanya memperjanjikan, bahwa harus ada gabungan
keuntungan dan kerugian, maka persyaratan mi menutup jalan untuk
mengadakan gabungan harta bersama secara menyeluruh menurut
undang-undang dan segala keuntungan yang diperoleh suami isteri selama
perkawinan harus dibagi antara mereka, sedangkan segala kerugian harus
dipikul bersama, bila gabungan harta bersama bubar.
Pasal 156
Masing-masing
dan suami isteri mendapat separuh keuntungan dan memikul separuh
kerugian, bila mengenai hal itu dalam perjanjian kawin tidak ada
ketentuan-ketentuan lain.
Pasal 157
Yang
dianggap sebagai keuntungan pada harta bersama suami isteri ialah
bertambahnya harta kekayaan mereka, berdua, yang selama perkawinan
timbul dan hasil harta kekayaan mereka dan pendapatan masing-masing, dan
usaha dan kerajinan masing-masing dan penabungan pendapatan yang tidak
dihabiskan, yang dianggap sebagai kerugian ialah berkurangnya harta
benda itu akibat pengeluaran yang lebih tinggi dan pendapatan.
Pasal 158
Apa
saja yang diperoleh seorang suami atau isteri selama perkawinan dan
warisan, wasiat atau hibah, entah berasal dan keluarga entah dan orang
lain, tidak termasuk keuntungan, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal
167.
Pasal 159
Barang-barang
tetap dan efek-efek yang dibeli selama perkawinan, atas nama siapa pun
juga dianggap sebagai keuntungan, kecuali bila terbukti sebaliknya.
Pasal 160
Naik atau turunnya harga barang salah seorang dan suami isteri itu, tidak dihitung sebagai keuntungan atau kerugian bersama.
Pasal 161
Perbaikan
barang-barang tetap, yang terjadi karena pertumbuhan tanah, perdamparan
lumpur, penanganan oleh tukang kayu atau karena hal-hal lain, tidak
dianggap sebagai keuntungan bersama, melainkan hanya menguntungkan
pemilik barang-barang itu.
Pasal 162
Kerusakan
atau pengurangan karena kebakaran, kebanjiran, hanyut atau lain
sebagainya, tidak termasuk kerugian bersama, tetapi menjadi beban
sipemilik barang yang rusak atau berkurang itu.
Pasal 163
Semua
utang kedua suami isteri itu bersama-sama, yang dibuat selama
perkawinan, harus dihitung sebagai kerugian bersama. Apa yang dirampas
akibat kejahatan salah seorang dan suami isteri itu, tidak termasuk
kerugian bersama itu.
Pasal 164
Perjanjian,
bahwa antara suami isteri hanya akan ada gabungan penghasilan dan
pendapatan saja, mengandung arti secara diam-diam bahwa tiada gabungan
harta bersama secara menyeluruh menurut undang-undang dan tiada pula
gabungan keuntungan dan kerugian.
Pasal 165
Barang-barang
bergerak kepunyaan masing-masing suami isteri sewaktu melakukan
perkawinan, harus dinyatakan dengan tegas dalam akta perjanjian kawin
sendiri, atau dalam surat pertelaan yang ditandatangani oleh Notaris dan
para pihak yang berjanji, dan dilekatkan pada akta asli perjanjian
kawin, yang di dalamnya harus tercantum hal itu, baik jika gabungan
keuntungan dan kerugian saja yang dipersyaratkan, maupun jika
dipersyaratkan gabungan penghasilan dan pendapatan seperti yang
diuraikan dalam Pasal 155 dan Pasal 164; tanpa bukti ini barang-barang
bergerak itu dianggap sebagai keuntungan.
Pasal 166
Adanya
barang-barang bergerak yang diperoleh masing-masing pihak dan suami
isteri dengan pewarisan, hibah wasiat atau hibah biasa selama perkawinan
harus diperlihatkan dengan surat pertelaan.Bila tidak ada surat pertelaan barang-barang bergerak yang diperoleh si suami selama perkawinan atau bila tidak ada surat yang memperlihatkan apa saja barang-barang itu dan berapa harga masing-masing, istri itu atau para ahli warisnya berwenang untuk membuktikan adanya dan harga barang-barang itu dengan saksi-saksi, dan jika perlu, dengan menunjukkan bahwa umum mengetahuinya.
Pasal 167
Yang
termasuk penghasilan dan pendapatan ialah segala hibah wasiat atau
hibah penerimaan uang tahunan, bulanan, mingguan dan sebagainya seperti
juga cagak hidup, dan dengan demikian tercakup kedua jenis golongan yang
dibicarakan dalam bagian ini.
BAGIAN 3
Hibah-Hibah Antara Kedua Calon Suami Isteri
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 168
Dalam
mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri, secara timbal
balik atau secara sepihak, boleh memberikan hibah yang menurut
pertimbangan mereka pantas diberikan, tanpa mengurangi pemotongan hibah
itu sejauh penghibahan itu kiranya akan merugikan mereka yang berhak
atas suatu bagian menurut undang-undang.
Pasal 169
Hibah-hibah
itu dapat berkenaan dengan barang-barang yang telah ada seperti yang
dirinci dalam akta hibahnya, dapat pula dengan seluruh atau sebagian
harta warisan si penghibah.
Pasal 170
Pemberian hibah-hibah demikian itu berlaku biar pun disambut tanpa pernyataan setuju secara tegas oleh pihak yang diberi hibah.
Pasal 171
Hibah-hibah itu dapat diberikan dengan persyaratan-persyaratan, yang pelaksanaannya tergantung pada kehendak si penghibah.
Pasal 172
Hibah
yang terdiri dan barang-barang yang telah ada dan tertentu tidak dapat
ditarik kembali, kecuali jika tidak dipenuhi persyaratan-persyaratan
Hibah itu.
Pasal 173
Hibah
yang mencakup seluruh atau sebagian warisan si penghibah tidak dapat
ditarik kembali, dengan pengertian, bahwa dia tidak lagi menguasai
barang-barang yang termasuk dalam hibah itu, kecuali uang dalam
jumlah-jumlah kecil untuk upah, atau untuk soal-soal lain menurut
pertimbangan hakim. Bila syarat-syarat tidak dipenuhi, hibah-hibah itu
dapat ditarik kembali.
Pasal 174
Hibah
yang terdiri dari barang-barang yang telah ada dan terinci secara
tertentu, dan diberikan antara suami isteri dalam perjanjian kawin, tak
dapat dianggap diberikan dengan syarat, bahwa penerimaan hibah harus
hidup lebih lama daripada pemberinya, kecuali bila syarat yang dibuat
secara tegas dalam perjanjian.
Pasal 175
Tiada
hibah seluruh atau sebagian dan warisan si penghibah, yang diberikan
dalam perjanjian kawin, baik yang diberikan oleh yang seorang dan suami
isteri kepada yang lain, maupun yang diberikan secara timbal balik, akan
beralih kepada anak-anak yang lahir dan perkawinan mereka, bila yang
diberi hibah meninggal sebelum si penghibah.
BAGIAN 4
Hibah-Hibah yang Diberikan Kepada Kedua Calon Suami Isteri atau Kepada Anak-anak dan Perkawinan Mereka
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 176
Baik
dalam penjanjian kawin, maupun dengan akta Notaris tersendiri, yang
dibuat sebelum pelaksanaan perkawinan, pihak ketiga boleh memberikan
hibah, yang menurut pendapat mereka pantas diberikan kepada kedua calon
suami isteri atau kepada salah seorang dan mereka, dengan tidak
mengurangi kemungkinan untuk mengurangi hibah itu bila dengan hibah itu
orang yang mempunyai hak atas suatu bagian menurut undang-undang
dirugikan.
Pasal 177
Bila
hibah-hibah itu diberikan dalam perjanjian kawin, maka untuk berlakunya
secara sah tidak perlu ada persetujuan tegas dan yang diberi hibah;
sebaliknya bila hibah itu diberikan dengan akta tersendiri, maka hal itu
tidak mempunyai akiba t kecuali setelah ada persetujuan tegas untuk
menerima.
Pasal 178
Suatu
hibah yang terdiri dan seluruh atau sebagian warisan si penghibah,
meskipun diberikan hanya untuk kedua suami isteri atau untuk salah
seorang dan mereka, selalu dianggap diberikan untuk anak-anak dan
keturunan mereka, bila si penghibah hidup lebih lama daripada yang
diberi hibah, dan bila dalam akta tidak ditentukan lain. Hibah seperti
itu hapus, bila sipenghibah hidup lebih lama daripada anak-anak dan
keturunan mereka selanjutnya yang diberihibah.
Pasal 179
Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 169, 171, 172, dan 173, berlaku juga pada hibah-hibah yang dibicarakan dalam bagian ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar