Minggu, 30 Desember 2012

Kewarganegaraan

A. Konsep Kewarganegaraan
Pengertian Kewarganegaraan menurut UU Nomor 12 Tahun 2006
Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.
Menurut Soepomo, penduduk ialah orang yang dengan sah bertempat tinggal tetap dalam suatu Negara. Sah artinya tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan mengenai masuk dan mengadakan tempat tinggal tetap dalam suatu Negara yang mengadakan tempat tinggal tetap dalam Negara yang bersangkutan.
Rakyat atau penduduk yang mendiami suatu Negara ditinjau dari segi hukum, terdiri dari:
1. Warga Negara (staatsburgers), yaitu setiap orang yang memiliki ikatan hukum dengan pemerintah tersebut.
2. Orang asing, yaitu warga Negara asing yang bertempat tinggal pada Negara tersebut atas semua orang-orang yang bukan warga Negara.
Warga Negara dapat dibedakan antara lain:
a. Warga Negara asli (pribumi), yaitu penduduk asli Negara tersebut. Misalnya, suku jawa, suku Madura, suku dayak dan sebagaianya, merupakan warga Negara asli Indonesia.
b. Warga Negara keturunan asing (vreemdeling), yaitu warga Negara asing yang telah menjadi WNI. Misanya, WNI keturunan Tionghoa, Timur Tengah, India dan sebagainya.
Hal yang perlu diingat: “warga Negara sutu Negara tidak selalu menjadi penduduk Negara itu”. Misalnya, warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri. Penduduk suatu Negara tidak selalu merupakanwarga Negara dimana ia tinggal. Misalnya, orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Orang asing
Dalam hal orang asing, hukum Internasional ikut campur tangan artinya orang asing asing di dalam suatu Negara itu dilindungi sekedarnya oleh hukum internasional. Tentang perlindungan demikian ada 2 macam:
1) Secara positif, artinya Negara tempat di mana orang asing itu berada harus memberikan kepadanya beberapa hak-hak tertentu. Jadi suatu hak minimum itu harus dijamin.
2) Secara negatif, artinya suatu Negara itu tidak dapat mewajibkan sesuatu kepada orang yang berada di negaranya itu. jadi orang asing itu di suatu Negara tidak dapat dibebani kewajiban tertentu, misalnya kewajiban militer dan sebagainya.
Tetapi pada asasnya orang asing itu diperlukan sama dengan warga Negara, sedang isinya juga ada perbedaannya.
Isi kedudukan sebagai warga Negara:
1. Hanya warga Negara mempunyai hak-hak politik, misalnya hak memilih atau dipilih
2. Hanya warga Negara mempunyai hak angkat menjadi jabatan Negara.

B. Sistem Kewarganegaraan
Ada dua criteria umum yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menjadi warga Negara suatu Negara, yaitu kriterium yang didasarkan atas kelahiran dan naturalisasi.
1. Sistem kewarganegaraan berdasarkan kelahiran
Kriterium kelahiran dibagi dalam ius sanguinis (asas keibubapakan) dan kriterium ius soli (tempat kelahiran)
a. Ius sanguinis
Asas ius sanguinis (law of the blood) atau asas genealogis (keturunan) atau asas keibubapakan, adalah asa yang menetapkan seseorang yang mempunyai kewarganegaraan menurut kewarganegaraan orang tuanya, tanpa mengindah dimana ia dilahirkan. Asas ini dianut oleh Negara yang tidak dibatasi oleh lautan seperti Eropa Kontinental dan Cina.
Keuntungan dari asa ius sanguinis antara lain:
a) Akan memperkecil jumlah orang keturunan asing sebagai warga Negara.
b) Tidak akan memutuskan hubungan antara Negara dengan warga Negara yang lahir.
c) Semakin menumbuhkan semangat nasionalisme
d) Bagi Negara daratan seperti cina dan lain-lain, yang tidak menetap pada suatu Negara tertentu, tetapi keturunan tetap sebagai warga negaranya meskipun lahir ditempat lain (Negara tetangga).
b. Ius soli
Pada awalnya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran hanya satu, yaitu ius soli. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang lahir disuatu wilayah Negara, maka otomatis dan logis ia menjadi warga Negara tersebut. Asas ini dianut oleh Negara-negara imigrasi seperti USA, Australia dan Kanada.
Untuk sementara waktu asas ius soli menguntukan, yaitu dengan lahirnya anak-anak dari para imigran di Negara tersebut maka putuslah hubungan dengan Negara asal. Akan tetapi dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan pada tempat lahirnya saja.
Dalam perjalanan banyak Negara yang meninggalkan asas ius soli, seperti Belanda, Belgia dan lain-lain. Selain kedua asas tersebut ada beberapa yang menggabungkan keduanya Inggris dan Indonesia.
2. Sistem kewarganegaraan berdasarkan perkawinan
Selain sistem kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat ditetntukan berdasarkan Sistem perkawinan. Sistem perkawianan dibagi menjadi dua asa yaitu, asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
a) Asas kesatuan hukum
Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga. Menurut asas kesatuan hukum, maka sang istri mengikuti status baik pada waktu perkawianan dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan. Negara-negara yang masih mengikuti asas ini antara lain: Belanda, Peracis, Yunani, Italia, Libanon, dan lain-lainnya.
b) Asas persamaan derajat
Menurut asa persamarataan, bahwa perkawinan sama sekali tidak memengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka masing-masing (istri atau suami) bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan atau suami dan istri tetap berkewarganegaraan asal sekalipun sudah menjadi suami istri. Negara-negara yang mempergunakan asas ini antara lain: Australia, Kanada, Denmark, Inggris, Jerman, Israil, Swedia, Birma, dan lainnya.
Menurut UU kewarganegaraan mengatur tentang kewarganegaraan yang berhubungan dengan perkawinan campuran. Sesuai dengan pasal 19 menyatakan, bahwa seorang perempuan yang kawin dengan seorang WNI, memperoleh kewarganegaraan RI, kecuali dalam jangka waktu satu tahunmenyatakan keterangan menolaknya. Sedangkan pasal 26 ayat (1) dan (3), menentukan bahwa prempuan warga Negara Indonesia yang kawion dengan laki-laki warga Negara asing hingga kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut, kecuali ia mengajukan permohonan untuk menjadi WNI. Dari rumusan teresebut membuktikan bahwa Indonesia pada dasarnya menganut asas persamarataan.
3. Sistem kewarganegaraan berdasarkan Naturalisasi
Naturalisasi adalah suatu cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan sesuatu Negara. Dalam praktik, naturalisasi dapat terjadi karena dua hal: pertama, karena yang bersangkutan mengajukan permohonan. Kedua, karena diberikan karena alasan kepentingan Negara atau yang bersangkutan telah berjasa kepada Negara teresbut.
1) Naturalisasi biasa
Naturalisasi biasa yaitu suatu naturalisasi yang dilakukan oleh orang asing melalui permohona  dan prosedur yang telah ditentukan. Cara dan syarat permohonan dijelaskan dalam UU No.12  Tahun 2006 pasal (9) dan (10).
2) Naturalisasi Istimewa
Naturalisasi Istimewa yaitu pewarganegaraan yang diberikan dalam pemerintah (presiden) dengan persetujuan DPR dengan alasan kepentingan Negara atau yang bersangkutan telah berjasa terhadap Negara.
Salam ketentuan kewarganegaraan seseorang berdasarkan naturalisasi, dipergunakan 2 stelsel, yaitu:
- Stelsel aktif yakni untuk menjadi warga Negara suatu Negara seseorang harus melakukan tindakan-tindakan hukum secara aktif.
- Stelsel pasif yakni seseorang dengan sendirinya dianggap sebagai warga Negara tanpa melakukan suatu tindakan hukum.
Seseorang memiliki 2 hak dalam menentukan status kewarganegaraannya, yaitu:
(1) Hak opsi, yakni hak untuk memiliki suatu kewarganegaraan.
(2) Hak repudasi, yakni hak untuk menolak suatu kewarganegaraan bagi yang melakukan stelsel pasif.

C. Masalah kewarganegaraan
Status kewarganegaraan secara yuridis diatur oleh peraturan perundang-undangan nasional. Tetapi dengan tidak adanya uniformeteit dalam menentukan persyaratan untuk diakui sebagai warga Negara dari berbagai, akibat dari perbedaan dasar yang dipakai dalam kewarganegaraan, maka timbul bermacam permasalahan kewarganegaraan.
a) Dwi kewarganegaraan (Bipateride)
Bipatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut ius  sanguinis lahir di Negara lain yang menganut asa ius soli, maka kedua Negara tersebut menganggap bahwa anak trsebut warga negaranya.
Untuk mencegah bipatrid, maka UU No. 62 tahun 1958 pasal 7 menyatakan bahwa, seorang perempuan asing yang kawin dengan laki-laki WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan melakukan pernyataan, dengan syarat bahwa dia harus meninggalkan kewarganegaraan asalnya.
b) Tanpa kewarganegaraan (Apatride)
Apatride terjadi apabila seseorang anak yang Negara orang tuanya menganut asas ius soli lahir di Negara yang menganut asas ius sangiunis. Untuk mencegah apatride: UU No. 62 tahun 1958.
Sementara bagi orang Cina sebalum lahirnya UU No. 62 Tahun 1958, untuk menentukan kewarganegaraan diadakan perjanjian antara Indonesia-Cina, yang dikenal dengan perjanjian Soenario-Chow pada tanggal 22 April 1955 yang diundangkan dengan UU No. 2 tahun 1958, berisi bahwa, semua orang Cina yang berdomisili di Indonesia harus mengadakan pilihan kewarganegaraan dengan tegas dan secara tertulis.
D.  Masalah Orang Asing
Globalisasi telah melahirkan hubungan antara Negara semakin kompleks, sehingga dengan mudah bangsa lain (orang asing) keluar masuk wilayah NKRI. Terhadap keberdaan orang asing tersebut perlu diawasi, bukan saja berhubung dengan kemungkinan adanya ilegalisasi terjadi juga berkaitan dengan tindakan-tindakan agar tidak mengganggu ketentraman, kesesuaian atau kesejahteraan umum.
Sesuai dengan pasal 1 dan pasal 2 UU No. 1 Tahun 1961 tentang pengawasan orang asing, mengatakan bahwa tugas pengawasan terhadap orang asing yang berada di Indonesia adalah dilakukan oleh menteri kehakiman. Selanjutnya menteri kehakiman membentuk badan pengawas yang akan menyelenggarakan pengawasan.
Tindakan yang dapat diambil oleh badan pengawas terhadap orang asing tersebut adalah:
1. Mengharuskan orang asing yang bersangkutan berdiam pada suatu tempat tertentu di Indonesia (internering)
2. Melarang orang asing yang bersangkutan berada di beberapa tempat tertentu di Indonesia darimana dia harus pergi
3. Mengeluarkan orang asing yang bersangkutan dari Indonesia walaupun dia penduduk Negara (externing)
Masalah lain dalam hubungan orang asing, adalah tentang perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara dua orang berbeda kewarganegaraan. Indonesia sudah sejak lama memiliki peraturan yang mengatur kedudukan wanita dalam perkawinan campuran, yakni regeling op de gemengde huwelijiken (Stb. No. 158 Tahun 1989). Pasal 1 gemengde huwelijiken memberi  tekanan pada verschillend rech onderwopen, yaitu yang takluk hukum yang berlainan.
Dengan perbedaan hukum tersebut menyebabkan beberapa macam perkawinan campuran yaitu, perkawinan campuran antar golongan (intergentie), perkawinan campuran antar tempat (interlocal), perkawinan campuran antar agama (interreligius). Dari ketiga jenis perkawinan tersebut yang paling menimbulkan persoalan serius adalah perkawinan campuran antar agama.
i. Perkawinan campuran antar golongan (Intergentiel)
Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan.
ii. Perkawinan campuran antar tempat (Interlocal)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang minang kawin dengan orang jawa.
iii. Perkawinan campuran antar agama (interreligius)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlaina. Misalnya orang Islam dengan orang kristiani. Pasal 10  regeling op de gemengde huwelijiken mengatur tentang perkawinan campuran di luar negeri (buiten Indonesia), di antaranya mengatur perkawinan campuran antar bangsa/antar Negara, antara lain yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Selanjutnya pasal 2 menyebutkan dengan tegas mengenai status seseorang perempuan dalam perkawinan campuran yaitu seorang perempuan yang melangsungkan perkawinan, mengikuti status sang suami.
---------------------------------
Busra Abu Bakar. Abu Daud Busra, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia
Hadisoeprapto Hartono, 1999, Pengantar  Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: liberty
C.S. T. Kansil, 1990, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: balai pustaka
Samidjo, 1986. Ilmu Negara, Jakarta: Armico, Cet III
Tutik, TT. 2008, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandeman UUD 1945, Jakarta: Cerdas Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar