Minggu, 27 Januari 2013

Wilayah Hisbah


A. Pengertian Dan Dalil Wilayah Hisbah
1. Pengertian Wilayah Hisbah
Wilayah hisbah terdiri dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, yang secara harfiah diartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan. Upaya pendefinisian wilayah hisbah telah banyak dilakukan seperti yang dikutip oleh al-Farakhi, yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan itu di tinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu dikerjakan. Definisi berbeda dikemukakan Ibnu Taimiyah bahwa yang dimaksud dengan wilayah hisbah adalah muhtasib yang kewenangannya adalah menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, yang tidak termasuk wilayah qadha dan wilayah lainnya.
Penetapan syariat Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan.1 Dalam penerapannya (syariat Islam/hukum) memerlukan lembaga untuk penegakannya. Karena tanpa lembaga (al-qadha) tersebut, hukum-hukum itu tidak dapat diterapkan.Dalam sistem pemerintah Islam, kewenangan peradilan (al-qadha) terbagi ke dalam tiga wilayah, yaitu wilayah mazhalim, wilayah qadha, dan wilayah hisbah. Kewenangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat.2 Upaya ini digolongkan pada usaha untuk memberikan penekanan terhadap ketentuan-ketentuan hukum agar dapat terealisir dalam masyarakat secara maksimal. Di samping itu, wilayah hisbah dapat memberikan tindakan secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Artinya, terlihat betapa urgen keberadaban wilayah hisbah dalam membina masyarakat untuk menaati aturan-aturan syarat’.
2. Dalil Dan Hukum Hisbah
Terdapat banyak dalil syarak sama ada daripada Al-Quran, al-Sunnah, Ijma’, Qias dan sebagainya yang menerangkan berkaitan konsep hisbah. Antara dalil yang masyhur ialah seperti berikut:
Firman Allah S.W.T dalam Surah Al-Imran ayat 104 yang bermaksud ”Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak Yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam), dan menyuruh berbuat Segala perkara Yang baik, serta melarang daripada Segala Yang salah (buruk dan keji). dan mereka Yang bersifat demikian ialah orang-orang Yang berjaya”
Terdapat banyak lagi dalil lain yang terdapat daripada Al-Quran, Hadith dan juga Ijma’ yang menyokong pensyariatan hisbah. Kesemua dalil tersebut secara jelas menunjukkan hisbah merupakan satu kewajipan yang perlu dilaksanakan oleh umat Islam. Persoalannya kini adakah kewajipan melaksanakan hisbah itu merupakan satu suruhan wajib aini (fardhu ain) atau sekadar wajib kifaie (fardhu kifayah)? Jika diperhatikan berdasarkan penafsiran ayat al-Quran di dalam Surah Al-Imran ayat 104 secara jelas bahawa seruan kepada kebaikan, menyuruh melakukan ma’ruf dan mencegah mungkar ini hanya melibatkan sebahagian umat Islam sahaja. Dengan itu, ia merupakan wajib kifaie di mana apabila dilakukan oleh seseorang atau sebahagian sahaja daripada anggota masyarakat maka gugurlah kewajipan dan dosa anggota masyarakat tersebut.
Walaubagaimanapun, hukum asal wajib kifaie ini boleh bertukar kepada wajib aini berdasarkan keadaan berikut: apabila kemungkaran hanya diketahui oleh orang tertentu maka dia ketika itu wajib melakukan hisbah. Ini karena wajib kifaie tidak akan tertegak kecuali melaluinya.
Jelaslah di sini bahawa walaupun hukum asal hisbah itu adalah wajib kifaie namun ianya adalah bersifat fleksibel dan boleh berubah kepada hukum lain. Kita perlu sentiasa bijak dalam menilai setiap hukum itu supaya sentiasa fleksibel dan sesuai dengan keadaan, kemampuan pelaku hisbah dan bentuk kesalahan yang dilakukan.
B. Sejarah Wilayah Hisbah
Masa Nabi Muhammad SAW Satu hal yang dilakukan oleh Nabi SAW di Madinah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan mengeluarkan shahifah yang dikenal dengan shahifah al-rasul yang berisi tentang :
  1. Pernyataan persatuan antara Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang berhubungan dan berjuang bersama mereka;
  2. Orang-orang yang berlaku zalim atau mengadakan permusuhan di antara orang mukmin, harus sama-sama diatasi walaupun keluarga sendiri;
  3. Orang Yahudi saling membantu dengan orang mukmin dalam menghadapi musuh, dan bebas menjalankan agamanya masing-masing;
  4. Orang-orang yang bertetangga seperti satu jiwa dan tidak boleh untuk saling berbuat dosa;
  5. Orang-orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku zalim dan dosa.
Rasul sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi musuh (orang-orang Quraisy). Kondisi peradilan pada masa ini sudah terlihat dengan adanya sahabat yang diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi qadhi, seperti Muadz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn al-Khaththab di Madinah. Namun demikian, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada shahabat (qadhi), Akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali kepada Nabi SAW. Wilayah Hisbah pada masa ini sebagai suatu lembaga belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktik-praktik yang mengarah pada kewenangan hisbah masih dilakukan sendiri oleh Nabi SAW,  seperti ketika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual makanan, kemudian Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi SAW kemudian bersabda: “Bahwa Barang siapa yang menipu umatnya maka bukan termasuk umatnya”.
C. Wewenang Wilayah Hisbah
Imam Mawardi dalam al-ahkam al-sulthaniyyah mengatakan; Wilayah Hisbah mempunyai tugas melaksanakan Amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. kewenangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat.  Wilayah Hisbah mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ adalah tugas muhtasib (petugas Wilayah Hisbah) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di dalam masyarakat. Ia memasuki hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasim Akanan halal, juga aspek sosial-budaya,seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi, Minuman keras, praktik a-susila dan lain-lain.
Wilayah Hisbah memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah amar ma’ruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. Wilayah Hisbah adalah lembaga yang setiap hari berkampanye menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, dari pada hanya sekedar berada di kantor.
Namun demikian Wilayah Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang Wilayah Hisbah, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul madzalim.

DAFTAR PUSTAKA
http://slamdunk31.wordpress.com/2010/11/02/23/
http://ribatrafie.blogspot.com/2009/05/wilayah-hisbah_27.html
Abdullah, Syamsuddin. 1997. Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Ma’tuq, Rasyad Abbas. 1982. Nizham al-Hisbah fi al-Iraq. Jeddah: Dar al-Bilad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar