A. Perwakafan Menurut Hukum Islam
Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah dalam agama Islam. Selain sebagai sarana ibadah sebagai bentuk hubungan manusia kepada Allah, wakaf juga merupakan bentuk hubungan dengan manusia. Oleh sebab itu kedudukan wakaf sangat penting dalam menjaga hubungan kepada Allah dan juga manusia.
1. Pengertian Wakaf
Secara bahasa, kata wakaf berasal dari bahasa arab وقف – يقف – وقفا yang artinya “berhenti” atau “diam di tempat”. Sedangkan dalam kitab Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu disebutkan bahwa kataالوقف والتّحبيس والتّسبيل bermakna 1 (satu) yakni menahan sesuatu dari membelanjakan.
Para ahli Fiqh berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga merekapun berbeda pendapat dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Adapun pandangan para ulama tentang wakaf adalah sebagai berikut; Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si waqif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definsi tersebut maka pemilikan harta wakaf tidak bisa lepas dari si waqif, bahkan ia dibenarkan untuk menariknya kembali dan ia boleh menjualnya.
Sedangkan menurut ulama’ Malikiyah, wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhaq, dengan penyerahan berjangka waktu sesuai dengan kehendak si waqif.
Menurut Syafi’iyyah, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuh barangnya, dan barang tersebut lepas dari penguasaan si waqif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan agama.
Dan menurut Hana>bilah, wakaf adalah menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhya harta dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selain itu ada yang menyebutkan bahwa wakaf hampir sama dengan shadaqah, karena dalam arti luas shadaqah memiliki makna sesuatu pemberian yang dikeluarkan dari harta milik seseorang kepada orang lain, yang membedakan dengan wakaf hanya dari sisi manfaatnya. Jika shadaqah berupa segala pemberian tanpa ada sifat-sifat khusus yang mendasarinya, berbeda dengan wakaf, di mana harta yang diwakafkan harus memiliki sifat tahan lama. Sedangkan pengertian wakaf menurut Sayyid Sabiq bahwa wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaat di jalan Allah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah suatu bentuk ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Sedangkan dalam pelaksanaan wakaf dilaksanakan dengan cara menahan asal benda wakaf yang bersifat tahan lama, untuk kemudian diambil manfaatnya dan untuk digunakan agar mendapat ridla Allah Swt.
Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah dalam agama Islam. Selain sebagai sarana ibadah sebagai bentuk hubungan manusia kepada Allah, wakaf juga merupakan bentuk hubungan dengan manusia. Oleh sebab itu kedudukan wakaf sangat penting dalam menjaga hubungan kepada Allah dan juga manusia.
1. Pengertian Wakaf
Secara bahasa, kata wakaf berasal dari bahasa arab وقف – يقف – وقفا yang artinya “berhenti” atau “diam di tempat”. Sedangkan dalam kitab Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu disebutkan bahwa kataالوقف والتّحبيس والتّسبيل bermakna 1 (satu) yakni menahan sesuatu dari membelanjakan.
Para ahli Fiqh berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga merekapun berbeda pendapat dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Adapun pandangan para ulama tentang wakaf adalah sebagai berikut; Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si waqif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definsi tersebut maka pemilikan harta wakaf tidak bisa lepas dari si waqif, bahkan ia dibenarkan untuk menariknya kembali dan ia boleh menjualnya.
Sedangkan menurut ulama’ Malikiyah, wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhaq, dengan penyerahan berjangka waktu sesuai dengan kehendak si waqif.
Menurut Syafi’iyyah, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuh barangnya, dan barang tersebut lepas dari penguasaan si waqif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan agama.
Dan menurut Hana>bilah, wakaf adalah menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhya harta dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selain itu ada yang menyebutkan bahwa wakaf hampir sama dengan shadaqah, karena dalam arti luas shadaqah memiliki makna sesuatu pemberian yang dikeluarkan dari harta milik seseorang kepada orang lain, yang membedakan dengan wakaf hanya dari sisi manfaatnya. Jika shadaqah berupa segala pemberian tanpa ada sifat-sifat khusus yang mendasarinya, berbeda dengan wakaf, di mana harta yang diwakafkan harus memiliki sifat tahan lama. Sedangkan pengertian wakaf menurut Sayyid Sabiq bahwa wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaat di jalan Allah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah suatu bentuk ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Sedangkan dalam pelaksanaan wakaf dilaksanakan dengan cara menahan asal benda wakaf yang bersifat tahan lama, untuk kemudian diambil manfaatnya dan untuk digunakan agar mendapat ridla Allah Swt.
2. Dasar Hukum Wakaf
Dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah tidak disebutkan secara eksplisit tentang perintah wakaf. Namun para ulama’ sepakat bahwa wakaf merupakan salah satu dari ibadah dalam Islam. Adapun dasar hukum yang digunakan oleh para ulama’ dalam merumuskan hukum wakaf adalah sebagai berikut:
a. Q.S Al-Baqarah 261-262
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٢٦١)الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٦٢)
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (261) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (262) (Q.S Al-Baqarah 261-262).
b. Q.S Al-Baqarah 267
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ(٢٦٢)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. Al-Baqarah: 267)
c. Q.S Ali-Imran 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ(٩٢)
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebijakan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Q.S. Ali-Imran: 92).
Ayat di atas menunjukkan bahwa untuk sampai kepada kebajikan yang sempurna adalah dengan cara menafkahkan sebagian harta yang dicintai. Menafkahkan atau mewakafkan harta yang dimiliki maksudnya bukan keseluruhannya melainkan sebagian saja dan dinafkahkan dari harta yang dicintai, bukan dari harta yang tidak dicintai. Jika kemudian ayat ini dikorelasikan dengan Surrah Al-Baqarah ayat 267 yang menjelaskan agar jangan memilih yang jelek untuk diwakafkan. Dengan mewakafkan harta yang dicintai terlihat keseriusan seorang waqif.
Adapun hadis Rasulullah yang menjadi dasar hukum wakaf adalah sebagai berikut:
a.H.R. Muslim
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ - يَعْنِى ابْنَ سَعِيدٍ - وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ - هُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ - عَنِ الْعَلاَءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم)
Artinya: Diceritakan oleh Yahya Ibnu Ayyub dan Qutaibah (yaitu Ibnu Said dan Ibnu Hajar, mereka berkata diceritakan Ismail bin Ja’far dari Ala’ dari bapaknya dari Abi> Hurairah: Sesungguhnya Rosulullah SAW bersabda (Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara; shodaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. (H.R. Muslim).
b. H.R. Muslim
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، أَخْبَرَنَا سُلَيْمُ بْنُ أَخْضَرَ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ للَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُبْتَاعُ وَلَا يُورَثُ وَلَا يُوهَبُ قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ (رواه مسلم)
Artinya: Diriwayatkan dari Yahya ibn Yahya al-Tamimiy, mengabarkan kepada kami Sulaim ibn Akhd}ar, dari ibn ‘Aun dari Nafi’,dari Ibnu Umar, bahwa Umar Ibn Al-Khaththab mempunyai sebidang tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi untuk meminta nasihat tentang harta itu seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendapat sebidang tanah seperti itu. Rosulullah berkata, “Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu dan bersedekahlah hasilnya. Berkta Ibnu Umar, “maka Umar mewakafkan tanah itu dengan arti bahwa tanah itu tidak boleh dijual lagi, dihibahkan dan diwariskan. Umar menyedahkahkan hasil warta itu untuk orang fakir, kerabat, budak, untuk jalan Allah, orang telantar, dan tamu. Tidaklah berdosa orang yang mengurusinya (nazir) memakan sebagian harta secara wajar atau memberi makan asal tidak bermaksud mencar kekayaan (H.R Muslim)
3. Syarat dan Rukun Wakaf
Di antara syarat dan rukun wakaf antara lain sebagai berikut:
1) Orang yang berwakaf (waqif)
Waqif adalah orang yang mewakafkan hartanya. Orang yang mewakafkan disyaratkan cakap dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak bisa meliputi 4 (empat) kriteria, yaitu:
a. Merdeka, wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak memiliki hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya.
b. Berakal sehat atau sempurna, wakaf yang dilakukan oleh orang yang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak mumayyiz dan tidak cakap dalam melakukan tindakan lainnya. Begitu pula wakaf orang idiot, berubah akal karena faktor usia.
c. Dewasa (baligh), wakaf yang dilakukan anak yang belum dewasa atau baligh hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d. Tidak sedang berada dalam pengampuan, baik karena bolos maupun lalai. Karena orang yang dibawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’). Maka wakaf yang dilakukan tidak sah.
2) Adanya Mauquf (benda yang diwakafkan)
Pengertian Mauquf adalah benda yang diwakafkan. Dan benda tersebut dipandang sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Harta tersebut mempunyai nilai guna dan manfaat.
Tidak sah mewakafkan benda yang tidak berharga menurut syara’, yakni benda yang tidak berharga menurut syar’i, yakni benda yang tidak boleh diambil manfaatanya, seperti benda-benda yang memabukkan dan benda-benda haram lainnya.
b. Harta itu berupa benda bergerak ataupun tidak bergerak.
Menurut Syafi’iyah: “Barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya baik berupa barang tidak bergerak, barang bergerak, maupun barang kongsi.
c. Harta itu diketahui kadar dan batasnya
Tidak sah hukumnya mewakafkan benda yang tidak diketahui jumlahnya atau nisbatnya terhadap benda lain, misalnya mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku, atau salah satu dari rumahnya dan sebagainya. Sebab wakaf menuntut adanya manfaat yang dapat diambil oleh nazir dari benda yang diwakafkan. Jika bendanya majhul maka manfaat yang akan diambil nadzir majhul.
d. Harta itu milik waqif
Hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dan mengikat bagi waqif ketika diwakafkan. Benda yang diwakafkan telah menjadi milik tetap si waqif ketika terjadinya akad wakaf, sebab wakaf menyebabkan gugurnya hak pemilikan dengan cara tabarru’. Untuk itu tidak sah mewakafkan sesuatu yang bukan miliknya.
3) Syarat Mawquf ‘alaih
Mawquf ‘alaih yaitu orang atau badan hukum atau tempat ibadah yang menerima dan mengelola harta menda wakaf. Adapun syarat-syarat Mawquf ‘alaih ialah:
a. Harus dinyatakan secara jelas kepada siapa wakaf ditujukan ketika ikrar. Apabila wakaf itu wakaf ahli, maka harus disebutkan nama atau sifat Mawquf ‘alaih secara jelas.
b. Tujuan wakaf tersebut untuk harus untuk beribdah kepada Allah SWT dan mengharapkan balasan dari-Nya.
4) Syarat Shighat Ikrar Wakaf
Shighat akad ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Namun Shighat wakaf cukup dengan ijab saja dari waqif tanpa memerluka qabul dari Mawquf ‘alaih.
Adapun makna Shighat atau ikrar wakaf adalah pernyataan yang merupakan penyerahan barang-barang wakaf kepada nazir untuk dikelola sebagaimana yang diharapkan oleh si waqif.
Dasar atau dalil diperlukannya shighat dalam wakaf ialah karena wakaf adalah melepaskan hak milik, benda dan manfaat ataupun manfaat saja kepada orang/pihak lain. Maksud dan tujuan melepaskan hak milik adalah urusan hati, sedangkan tidak ada seorangpun yang mengetahui maksud hati seseorang. Oleh karenanya dengan pernyataanlah bisa diketahui maksud dan tujuan seseorang yang sesungguhnya.
Secara umum syarat sahnya Shighat adalah:
1) Harus munjazah (terjadi seketika), hal ini menunjukkan terlaksananya wakaf seketika setelah Shighat ijab diucapkan atau ditulis.
2) Tidak diikuti syarat batil (palsu), maksudnya ialah syarat yang merusak dasar wakaf atau meniadakan hukumnya, yakni keabadian
3) Tidak mengandung pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang sudah dilakukan.
Wakaf yang yang Shighat-nya dinyatakan oleh waqif dengan lisan, tulisan ataupun isyarat tetap dianggap terjadi meskipun tidak terdapat ungkapan qabul dari Mauquf ‘alaih. Waqif hanya boleh melakukan Shighat ijab dengan isyarat apabila memang tidak mampu melakukan dengan lisan dan tulisan.
4. Macam-macam wakaf
Bila ditinjau dari kepada siapa wakaf itu ditujukan serta dari sisi pemanfaatan dan penggunaannya, maka wakaf dalam hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni wakaf ahli dan wakaf khairi.
1) Wakaf ahli (Dhurri)
Wakaf ahli atau Dhurri dan bisa juga disebut sebagai wakaf keluarga, yaitu wakaf yang menjadi pemilik penerimanya, maksudnya, orang-orang yang berhak mengelola dan menikmati hasilnya. Termasuk dalam kategori ini adalah wakaf untuk anak keturunan, wakaf kepada para ulama’ dan fakir miskin, wakaf barang tidak bergerak untuk keperluan masjid, kuburan, madrasah, dan lain sebagainya.
Apabila ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Dalam satu segi wakaf ahli ini baik sekali, karena si waqif akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibdah wakafnya, juga kebaikan dari silaturrahimnya.
Akan tetapi pada sisi lain wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah, seperti bagaimana kalau anak cucu yang ditunjuk sebagai nazir sudah tidak ada lagi, siapa yang akan mengambil manfaat benda atau harta wakaf itu? Atau sebaliknya, bagaimana jika anak cucu si waqif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara meratakan pembagian hasil harta wakaf.
2) Wakaf Khairi
Wakaf khairi yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama atau kemasyarakatan (kebijakan umum). Seperti wakaf untuk masjid, mushallah, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan lain sebagainya.
Wakaf khairi ini lebih banyak manfaatnya dari pada wakaf ahli, karena tidak terbatas pada satu kelompok tertentu saja, tetapi manfaatnya untuk umum, dan inilah yang paling sesuai dengan tujuan perwakafan. Dalam wakaf khairi, si waqif dapat juga mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan. Seperti wakaf masjid maka si waqif boleh saja disana. Atau mewakafkan sumur, maka siwaqif boleh mengambil air dari sumur tersebut, seperti yang pernah dilakukan Utsman bin Affan.
Dengan kata lain bahwa wakaf khairi adalah wakaf yang dikehendaki oleh pewakafnya untuk dimanfaatkan secara umum. Yakni semua orang, tidak hanya sekelompok orang atau lapisan masyarakat tertentu saja.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang begitu besar antara wakaf ahli dengan wakaf khairi. Karena keduanya sama-sama bertujuan untuk melaksanaan perintah Allah guna membelanjakan harta di jalan-Nya. Perbedaannya hanya terletak pada pemanfaatan benda wakaf tersebut. Wakaf ahli pemanfaatannya hanya terbatas pada keluarga wakif. Sedangkan wakaf khairi dari awal memang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat.
B. Wakaf Menurut Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Dinegara kita Indonesia, proses pelaksanaan wakaf juga diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan PP Nomor 42 Tahun 2006. Hal ini bertujuan agar proses pelaksanaan wakaf dapat berjalan dengan maksimal dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehingga perwakafan yang ada dapat terhindar dari adanya gugatan ataupun sengketa.
1. Pengertian Wakaf
Pengertian wakaf menurut KHI dan Undang-Undang wakaf hampir sama yaitu perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran islam atau syari’at. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah sebagaimana tecantum dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi;
Wakaf merupakan perbuatan hukum wa>qif unutk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
2. Dasar Hukum Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
a. Undang-Undang RI No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang dibentuk berdasarkan ketetapan MPR No IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004 yang menetapkan arah kebijakan pembangunan hukum yang antara lain melakukan penataan sistem hukum nasional yang menyeluruh dengan mengakui dan menghargai hukum agama dan hukum adat.
b. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pasal 14 (1) huruf b, pasal 5 dan pasal 49.
c. Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
Selain itu yang dijadikan dasar hukum wakaf oleh Pemerintah Indonesia ialah Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 yang mengatur tentang tata cara perwakafan tanah milik, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berisi perintah kepada Menteri Agama RI dalam rangka penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyinggung sedikit tentang wakaf (pasal 15 (3): dalam hal kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf, kata “wakaf” dapat ditambahkan setelah kata “yayasan”), SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah, di mana Bank dapat bertindak sebagai lembaga Baitul Mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan/pinjaman kebajikan, dan SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Pengkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
3. Rukun dan Syarat Wakaf
Dalam pelaksanaan wakaf yang diatur dalam Undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang wakaf harus memenuhi unsur-unsur yang termuat dalam Pasal 6 yang teridiri dari a) Wakif; b) Nazhir; c) Harta benda wakaf; d) Ikrar Wakaf; e) Peruntukan harta benda wakaf; dan f) Jangka waktu wakaf. Adapun penjelasan dari unsus-unsur tersebut adalah sebagai berikut;
a. Wakif;
Dalam Undang-Undang wakaf Pasal 1 (satu) ayat 2 (dua) tertulis bahwa yang dimaksud dengan wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Kemudian dilanjutkan dalam Pasal 7 (tujuh) bahwa wakif tersebut terdiri dari 3 (tiga) unsur yang meliputi: 1) wakif perseorangan, 2) Organisasi, 3) Badan Hukum.
Sedangkan penjelasan tentang wakif berturut-turut dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang berbunyi;
(1) Wakif perseorangan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan :
a. Dewasa;
b. Berakal sehat;
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. Pemilik sah harta benda wakaf
(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukuk untuk mewakafkan harta benda milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
b. Nazhir;
Pengertian nadzir dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (4) yang menjelaskan bahwa nazhir ialah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan yang dimaksud dengan nazhir yang sesuai dengan Undang-undang wakaf Pasal 9 meliputi: a) nadzir perseorangan, b) organisasi atau c) badan hokum.
c. Harta Benda Wakaf;
Dalam UU No 41 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut sayriah yang diwakafkan oleh Wakif. Dilanjutkan dalam Pasal 15 bahwa “Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah”.
Harta benda wakaf yang dimaksud dalam Pasal 16 (1 dan 3) terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, seperti: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku.
d. Ikrar Wakaf;
Pembacaan ikrar wakaf diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-undang wakaf yang berbunyi; (1) Ikrar wakaf dilakukan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, (2) Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
Adapun maksuda dari PPAIW sesuai dengan Pasal 1 adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh menteri untuk membuat akta ikrar wakaf. Sedangkan untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW, hal ini diatur dalam Pasal 19.
e. Peruntukan harta benda wakaf;
Dalam upaya pemanfaatan harta wakaf dengan maksimal maka diatur dalam Pasal 22 tentang peruntukkan harta wakaf. Adapun bunyi Pasal 22 tersebut adalah;
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
1) sarana dan kegiatan ibadah
2) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
3) bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea siswa
4) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan/atau
5) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan (pasal 22).
f. Jangka Waktu Wakaf.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 (pasal 18) sebagai penjelasan atas UU No 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa harta benda wakaf yang berup a tanah hanya dapat diwakafkan untuk jangka waktu selama-lamanya (tanpa batas) kecuali wakaf yang berupa hak atas tanah seperti hak milik atas tanah, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai di atas tanah milik Negara, hak milik atas satuan rumah susun, hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan.
4.Pengelolaan Wakaf Ahli dan Khairi
Dalam Undang-Undang No 41 tahun 2004 tentang wakaf tidak terdapat terdapat Pasal yang menjelaskan tentang pembagian wakaf, seperti halnya wakaf Ahli maupun wakaf Khairi. Akan tetapi pembagian tersebut dapat dilihat dalam Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi; (1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf.
Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 30 ayat (1) disebutkan bahwa; (1) Pernyataan kehendak Wakif dituangkan dalam AIW sesuai dengan jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf dihadiri oleh Nazhir, Mauquf Alaih, dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Kemudian diperinci dalam ayat (4) yang berbunyi Pernyataan kehendak Wakif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dalam bentuk wakaf khairi atau wakaf ahli. Dilanjutkan dalam ayat (5) bahwa Wakaf ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (4)) diperuntukkan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan Wakif. Jadi, dari sinilah wakif dapat menentukan apakah harta benda wakaf tersebut diperuntukkan bagi keluarga atau masyarakat umum.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengaturan mengenai wakaf berlaku untuk wakaf khairi maupun wakaf ahli. Peruntukan wakaf untuk Mauquf ‘Alaih tidak dimaksudkan untuk pemanfaatan pribadi, melainkan untuk kesejahteraan umum. Sehingga keterangan dalam Akta Ikrar Wakaf dapat dijadikan acuan oleh berbagai pihak dalam pelaksanaan wakaf.
Daftar Pustaka
Luwis Ma’luf, 2002, al-Munjid, Beirut:Masyriq
A. Faishal Haq, 1993, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Cet I, Pasuruan: Garoeda Buana Indah
Asy Syarbini Muhammad Al-Khatib, 1958, Mughni Muhtaj, Juz II, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi
Musthafa Kamal dkk, 2002, Fiqh Islam, Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz III, Beirut: Dar al- Fikr, jilid III, t.t.
Departemen Agama RI, 2010, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro
Muslim bin Hujjaj al-Qusyairy, 1954, Shahih Muslim, Juz III, Beirut: Dar Ihyai al-Turas al-Arabiy
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007, Fiqh Wakaf, Jakarta; Departemen Agama
Abdul Manan, 2006, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Hendi Suhendi, 2005, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Muhammad Jawad Mughniyyah, 2010, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Penerbit Lentera
,2012, Undang-Undang Pegelolaan Zakat dan Wakaf, Bandung: Fokus Media
Direktorat Pemberdayaaan Wakaf Direktorat Jenderal Bibingan Masyarakat Islam Departemen Agama, Proses Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang WakafProyek Peningkaan Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Fiqh Wakaf
Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Timur, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar