Selasa, 06 November 2012

Dana Non Halal


1.Pengertian Dana non Halal

Dana non halal adalah sumber dana kebajikan yang berasal dari transaksi bank syariah dengan pihak lain yang tidak menggunakan skema syariah. Untuk keperluan lalu lintas keuangan, bank syariah dalam hal tertentu harus memiliki rekening di bank konvensional, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Adanya bunga bank dari bank mitra merupakan suatu yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini bunga yang diterima tersebut tidak boleh menambah pendapatan bank syariah, tetapi dimasukkan sebagai  dana kebajikan. Sesuai dengan PSAK 101, dana kebajikan dapat digunakan untuk : dana kebajikan produktif, sumbangan, dan penggunaan lainnya untuk kepentingan umum.
Dana non halal berarti dana yang berasal dari sesuatu yang tidak halal yakni dana yang berasal dari sesuatu yang jelas haram hukumnya, baik itu haram karena dzatnya (haram li-zatihi) dan haram bukan karena dzatnya (haram li-gayrihi), sebagaimana dalam hadits:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِىُّ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنِ الشَّعْبِىِّ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ « إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ ». (صحيح مسلم ، باب اخد الحلال وترك الشبهات) 
Diriwayatkan dari Muhammad bin Abdullah bin Numair al-Hamdani dari Ayahku dari Zakaria dan Sya’yi dari Nu’man bin Basyir berkata sara mendengar Rasulullah SAW bersabda dengan membisikkan kepada telingan Nu’man “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram jelas, dan diantara keduaya ada perkara-perkara syubhat, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa yang menjaga diri dari perkara syubhat tersebut, maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya, dan barangsiapa yang jatuh dalam perkara syubhat, maka dia jatuh pada hal yang haram. Seperti seorang pengembala yang mengembala di sekitar daerah larangan, lambat laun akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah setiap raja memiliki memiliki daerah larangan, sedangkan daerah larangan allah adalah apa-apa yang diharamkanNYA. Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging, apabila dia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila dia buruk, maka buruklah seluruh jasad. Ketahuilah dia adalah hati”.
2.Sumber Dana non Halal
Sumber dana kebajikan atau biasa disebut dengan dana qard merupakan sumber dana yang berasal dari internal dan eksternal bank. Sumber dana internal yang meliputi, infak dan sadaqah, dan hibah,  sedangkan sumber dana eksternal meliputi denda, dana non halal misalnya bunga bank dan lain sebagainya.
Infak dan sadaqah merupakan semua jenis infak dan sadaqah baik yang diperuntukkannya ditentukan secara khusus oleh pemberi infak dan sadaqah maupun yang tidak.
Sadaqah hukumnya diperbolehkan selama benda yang disadaqahkan itu adalah milik sendiri dan benda itu dari segi zatnya suci dan diperbolehkan dengan cara yang benar, meskipun jumlahnya sedikit. Maka jika barang itu statusnya milik bersama atau orang lain, maka tidak sah benda itu untuk dis}adaqahkan karena barang yang disadaqahkan harus didasari oleh keikhlasan dan kerelaan dari pemiliknya.
Sadaqah hendaknya disalurkan tepat sasaran artinya orang yang menerima adalah yang benar-benar berhak dan sangat membutuhkan seperti fakir miskin. Maka orang kaya tidak boleh menerima sadaqah dengan cara memperlihatkan dirinya sebagai orang fakir.
Pada dasarnya s}adaqah dapat diberikan kapan saja dan di mana saja tanpa terkait oleh waktu dan tempat. Namun, ada waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan yaitu lebih dianjurkan pada bulan Ramadan. Sadaqah sangat dianjurkan ketika sedang menghadapi perkara penting, sakit atau berpergian, berada di kota Makkah dan Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama seperti sepuluh hari di bulan Zulhijjah dan hari raya.
Sadaqah dapat diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang yang lebih utama yaitu keluarga yang paling memusuhi, keluarga yang jauh hendaklah didahulukan dari tetangga yang bukan keluarga. Karena selain sadaqah, pemberian itu akan mempererat hubungan silaturrahmi.
Selain itu dalam menggunakan cara juga harus memilih cara yang lebih baik dalam bersadaqah yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi, hal itu lebih utama dari pada terang-terangan.
Hibah merupakan pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan untuk mendekatkan diri kepada Allah di mana orang yang diberi bebas menggunakan harta tersebut. Artinya, harta menjadi hak milik orang yang diberi. Jika orang yang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak sebagai hak milik maka itu disebut pinjaman. Jika pemberian itu disertai dengan imbalan maka yang seperti itu disebut jual beli.
Adapun dasar hukum hibah, para ulama sepakat menghukumi sunnah, hal ini didasari oleh nash al-Qur’an dan hadits Nabi.
QS. al-Baqarah ayat 177:
... وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ ... (البقرة : 177)
“Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan memerdekan hamba sahaya.”
Tentang hukum menghibahkan semua harta yang dimiliki terdapat perbedaan. Menurut jumhur ulama, seseorang boleh menghibahkan semua harta yang dimilikinya. Adapun menurut Muhammad Ibnu al-Hasan dan sebagian pengikut mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun dalam kebaikan karena mereka menganggap yang berbuat seperti itu orang yang dungu yang wajib dibatasi tindakannya.
Ta’zir (hukuman yang tidak ada aturannya dalam syara’) adalah hukuman bersifat mendidik seperti memenjara, dan memukul yang tidak sampai melukai. Tidak boleh melakukan ta’zir dengan mencukur jenggot ataupun memungut uang (denda).
Peserta muktamar menganjurkan kaum muslimin yang harus melaksanakan ta’zir dengan memungut uang, agar mengikuti Imam Malik (yang memperbolehkannya), Sebagai dasarnya adalah pengrusakan kholifah Umar terhadap rumah Sa’ad, ketika ia lari bersembunyi dari pengawasannya dan juga pembakaran olehnya tehadap rumah-rumah penjual minuman keras, adapun memungut denda uang, tidak satupun dari ulama pengikut Syafi’i yang memperbolehkannyakarena memungut denda uang tersebut sama termasuk dengan mengambil harta milik orang lain secara batil.
Dalam literatur lain, disebutkan pendapat yang rajih tentang denda adalah keharamannya. Alasan pertama, meskipun orang yang terlambat membayar hutang harus dihukum, tapi belum pernah ada dalam sejarah islam seorang Qadhi (hakim) yang menjatuhkan hukuman denda, sehingga tambahan apapun dari nominal hutang, maka itu termasuk dari riba yang diharamkan. Alasan kedua, denda karena terlambat membayar hutang mirip dengan riba, maka denda ini dihukumi sama dengan riba sehingga haram diambil. Sesuai dengan kaidah fiqh “ma qaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu” (apa saja yang mendekati atau mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu tersebut). Sehingga denda karena terlambat membayar hutang atau angsuran utang hukumnya haram karena termasuk riba. Jika denda dihukumi sama dengan riba maka denda merupakan salah satu dana non halal yang juga mengandung unsur riba sebagaimana bunga.
Sistem bunga dalam bank mengharuskan mereka yang mendepositokan uang untuk jangka waktu tertentu, mendapat pengembalian uang titipan itu dari bank ditambah dengan bunga yang jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan uang. Sebaliknya, kepada mereka yang meminjam uang dari bank untuk jangka waktu tertentu oleh bank diharuskan untuk mengembalikan uang yang dipinjam. Selain ia juga harus memberikan uang tambahan yang jumlahnya telah disepakati pada waktu pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut dengan  bunga.
Banyak pendapat dan tanggapan di kalangan para ulama dan ahli fiqih baik klasik maupun kontemporer tentang tentang bunga bank dan riba. Diantara tanggapan tersebut adalah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama.
Pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Syekh Mahmud Syaltut adalah “pinjaman berbunga dibolehkan bila sangat dibutuhkan”. Fatwa ini muncul tatkala beliau ditanya tentang kredit yang berbunga dan kredit suatu negara dari negara lain atau perorangan.
Juga ditanya tentang saham dan surat-surat berharga. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah bahwa:
Ketika Al-Qur’an mengharamkan orang-orang mukmin melakukan transaksi dengan riba, yang pengertiannya telah dibatasi oleh kebiasaan masa turunnya Al-Qur’an, yaitu seseorang berhutang kepada orang lain, kemudian setelah jatuh tempo, debitur mengatakan kepada krediturnya: berikanlah perpanjangan waktu kreditmu kepadaku, maka aku tambahi bunganya, lalu kedua orang itu melakukannya. Inilah yang dinamakan riba berganda-ganda. Kemudian Allah melarang hal semacam ini didalam Islam. Dan biasanya terjadinya riba semacam ini antara si fakir dengan si kaya yang memanfaatkan kesempitan orang dengan tidak memperdulikan sendi-sendi kasih sayang yang menjadi dasar pembangunan masyarakat dalam Islam.
Riba semacam ini oleh rasa kemanusiaan yang luhur tentu tidak dapat dibenarkan. Saya berkeyakinan bahwa debitur yang berada dalam keadaan darurat dan membutuhkan, maka ia terlepas dari dosa dari transaksi semacam ini, karena dia melakukannya secara terpaksa atau dianggap terpaksa orang yang dalam keadaan butuh memperoleh pinjaman dengan bunga diperbolehkan bagi pribadi-pribadi yang mengalami darurat.
Pendapat atau fatwa Syekh Rasyid Ridla, bahwa beliau membenarkan kaum muslimin mengambil hasil bunga dari penduduk negeri kafir. Lebih lanjut beliau berkata: menurut ketentuan asal syariat harta penduduk negeri kafir Harbi boleh diambil oleh pihak yang menguasainya dan mengalahkannya. Riba mengandung kedhaliman, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 279. Sedangkan mendhalimi orang kafir Harbi tidak haram, karena sebagai tindak balasan terhadap kedhalimannya. Sebab kedhaliman si kafir Harbi membahayakan si muslim. Fatwa lain yang dilontarkan oleh Rasyid Ridla adalah berkenaan dengan pinjaman uang untuk investasi, sehubungan dengan itu setelah mengadakan analisis terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang riba menyimpulkan bahwa:
Tidak termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu (presentasi) baginya dari hasil usaha tersebut. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa sebab, kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha, kecuali melalui penganiayaan dan ketamakan.
Mustafa Ahmad az-Zarqa, seorang guru besar hukum islam di Universitas Amman, Yordania, mengemukakan pendapat yang sama dengan Abdullah Hamid Hakim, yaitu termsuk riba fadl yang dibolehkan karena darurat dan bersifat sementara. Artinya umat Islam harus berupaya untuk mencari jalan keluar dari sistem bank konvensional tersebut, dengan mendirikan bank Islam, sehingga keraguan atau sikap tidak setuju dengan bank konvensional dapat dihilangkan.
Abu Zahra, Abu A’la al-Maududi, M. Abdullahal-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq dan fuad Muhammad Fachruddin, mengatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah yang mutlak keharamannya. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhubungan dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat dalam keharaman bunga bank. Beliau mengharamkan bunga bank secara mutlak.
A. Hasan (Persis) berpendapat bahwa bunga bank seperti yang berlaku di Indonesia bukan termasuk riba yang diharamkan kerena tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud dalam ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (آل عمران : 130)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.(QS. Ali Imran: 130).
Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di Sidoarjo tahun 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya termasuk perkara subhat (belum jelas keharamannya). Karena yang diharamkan, menurut Muhammadiyah riba yang mengarah kepada pemerasan sejalan dengan firman Allah:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (البقرة : 279)
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.(QS. Al-Baqarah: 279).
Muhammadiyah masih ragu apakah ada unsur pemerasan dalam operasional bank. Oleh karena itu, Muhammadiyah menganggapnya syubhat. Tetapi Muhammadiyah membolehkan jika dalam keadaan terpaksa.
Sedangkan sidang Tanwir Muhammadiyah di Pekalongan tahun 1972 mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat mewujudkan keputusan Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 tentang konsepsi perekonomian khususnya lembaga keuangan yang sesuai dengan syariah Islam. Mendesak majelis Tarjih PP Muhammadiyah agar dapat mengajukan konsepsi tersebut pada muktamar Muhammadiyah yang akan datang.
Sedangkan pada muktamar Majelis Tarjih Garut tahun 1976, telah ditetapkan  berbagai keputusan penting menyangkut masalah uang, hak milik, kewajiban pemilik uang dalam Islam mengenai koperasi simpan pinjam juga telah dibahas dalam sidang Tarjih tahun 1989 di malang. Dalam sidang tersebut diputuskan bahwa bunga bunga dalam koperasi simpan pinjam hukumnya mubah, karena bunganya ditetapkan bersama dan dibagi bersama.
Pendapat Nahdlatul Ulama (NU) mengenai bunga dapat dilihat dari keputusan Lajnah Bahsul Masail , yaitu terdapat tiga pendapat:
a.Haram, sebab termasuk utang yang dipungut bunga
b.Halal, sebab tidak ada syarat dalam waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c.Syubhat, sebab para ahli hukum berselisih pendapat mengenai bunga.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat, namun Lajnah mengambil jalan berhati-hati dengan menetapkan bahwa bunga hukumnya haram.
Adapun dalam sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1970 di Karachi, Pakistan, telah menyepakati dua hal penting tentang bunga. Dua hal ini yang melatarbelakangi berdirinya Bank pembangunan Islam, keputusan tersebut adalah:
a.Praktik bank dengan sistem bunga tidak sesuai dengansyariah Islam.
b.Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasionalnya sesuai dengan syariah Islam.
Keputusan Mufti Negara Mesir secara konsisten telah memutuskan bahwa bunga bank hukumnya haram, karena sama dengan riba.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat diklasifikasikan pendapatnya tentang halal-haramnya atau boleh tidaknya riba atau bunga bank, sebagai berikut:
a.Dalam keadaan-keadaan darurat bunga halal hukumnya. Hanya bunga yang berlipat ganda yangsaja yang dilarang, adapun suku bunga yang wajar dan tidak mendhalimi diperkenankan.
b.Lembaga keuangan bank, demikian juga Lembaga Keuangan Bukan Bank sebagai lembaga hukum tidak termasuk dalam teritorial hukum taklif.
c.Hanya kredit yang bersifat konsumtif saja yang pengambilan bunganya dilarang, adapun yang produktif dibolehkan.
d.Bunga diberikan  sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pengelolaan dana tersebut.
e.Uang dapat dianggap sebagai komoditi sebagaimana barang-barang lainnya sehingga dapat disewakan atau diambil upah atas penggunaanya.
f.Bunga diberikan untuk mengimbangi laju inflasi yang mengakibatkan menyusutnya nilai uang atau daya beli uang.
g.Jumlah uang pada masa kini mempunyai nilai yang lebih tinggi dari jumlah yang sama pada suatu masa nanti, oleh karena itu bunga diberikan  untuk mengimbangi penurunan nilai atau daya beli uang.
h.Bunga diberikan sebagai imbalan atas pengorbanan tidak/berpantang menggunakan pendapatan yang diperoleh.

3.Pandangan Islam terhadap Dana non Halal
a.Menurut Yusuf Qardawi
Masalah haram tetap dinilai haram betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama hal itu tidak dibenarkan oleh Islam, selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk mencapai tujuan yang terpuji. Islam menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun harus suci juga. Syari’at Islam tidak membenarkan prinsip apa yang disebut al-Ghayah tubirrul wasilah (tujuan menghalalkan segala cara) atau suatu prinsip yang mengatakan al-wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri minal bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik, boleh dilakukan dengan bergelimang dalam kebatilan). Bahkan yang ada adalah sebalikya, yaitu setiap tujuan baik harus dicapai dengan cara yang baik pula.
Oleh karena itu siapa yang mengumpulkan dana dengan jalan riba, maksiat, permainan haram, judi dan sebagainya yang dapat dikategorikan haram untuk mendirikan masjid atau untuk terlaksananya rencana-rencana yang baik lainnya, maka tujuan baiknya tidak akan menjadi syafaat baginya sehingga dengan demikian dosa haramnya itu harus dihapus. Haram dalam syariat Islam tidak dapat dipengaruhi oleh tujuan dan niat.
Demikian seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disabdakan:
وَحَدَّثَنِى أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ حَدَّثَنِى عَدِىُّ بْنُ ثَابِتٍ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِين. 
Diriwayatkan dari Abu Kuraib Muhammad bin Ala>’i dari Abu Usamah dari Fud}ail bin Marzuq dari Adi bin Sabit dari Abi Hazim dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, Ia tidak mau menerima kecuali yang baik pula. Allah pun memerintahkan kepada orang mukmin sepertihalnya perintah kepada para Rasul”.
Kemudian Rasulullah membacakan ayat:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (المؤمنون :51)
“Hai para rasul makanlah dari yang baik-baik (halal) dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa saja yang kamu perbuat”. (al-Mu’minun : 51).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ... (البقرة : 172)
“Hai orang-orang yang beriman makanlah dari barang-barang baik yang telah Kami berikan kepadamu ....”.(al-Baqarah : 172).
Dan sabdanya pula:
مَنْ جَمَعَ مَالاً مِنْ حَرَامٍ ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَكَانَ اِصْرُهُ عَلَيْهِ (ابن خزيمة وابي حبان والحاكم)
“Siapa mengumpulkan uang dari jalan yang haram kemudian dia sedekahkan harta itu, sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosanya akan menimpa dia”. (Riwayat Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim).
Dan sabdanya pula:
لا يَكْسِبُ عَبْدٌ مَالا حَرَامًا فَيَتَصَدَّقُ مِنْهُ فَيُقْبَلُ مِنْهُ ، وَلا يُنْفِقُ مِنْهُ فَيُبَارَكُ لَهُ فِيهِ ، وَلا يَتْرُكُهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ إِلا كَانَ زَادَهُ إِلَى النَّارِ ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لا يَمْحُو السَّيِّئَ بِالسَّيِّئِ ، وَلَكِنْ يَمْحُو السَّيِّئَ بِالْحَسَنِ ، إِنَّ الْخَبِيثَ لا يَمْحُو الْخَبِيثَ " (أحمد وغيره)
“Tidak seorangpun yang bekerja untuk medapatkan kekayaan dengan jalan haram kemudian ia sedekahkan, sedekahnya itu akan diterima dan kalau ia infakkan tidak juga memperoleh berkah dan tidak pula ia tinggalkan dibelakang punggungnya (sesudah ia meninggal), melainkan kekayaan itu sebagai perbekalan keneraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapuskan kejahatan dengan kejahatan, tetapi kejahatan dapat dihapus dengan kebaikan. Kejelekan tidaklah dapat menghapuskan kejelekan”.(Riwayat Ahmad dan lain-lain).
b.Menurut Syafi’i Antonio
Sifat qard} tidak memberi keuntungan finansial. Karena itu, pendanaan qard dapat diambil dari:
1)Qard yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Talangan dana dapat diambilkan dari modal bank.
2)Qard yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan sosial, dapat bersumber dari dana zakat, infak dan sadaqah. Disamping sumber dana umat, para praktisi perbankan syariah, demikian juga ulama, melihat adanya sumber dana lain yang dapat dialokasikan untuk qard, yaitu pendapatan-pendapatan yang diragukan, seperti jasa nostro di bank koresponden yang konvensional, bunga atas jaminan L/C di bank asing, dan sebagainya. Salah satu pertimbangan pemanfaatan dana-dana ini ialah kaidah akhaffu d}ararain (mengambil mudarat yang lebih kecil).
c.Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan, syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah. Ibnu Qayyim juga mengatakan kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Jadi mereka membolehkan denda asalkan bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.
Daftar Pustaka
Rizal Yaya, Dkk, 2009, Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktek Kontemporer, Jakarta: Salemba Empat
Abul Husain Muslim al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburiy, tt, Shohih Muslim Juz 5, Beirut: Dar al-Jil
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, 2010, Fiqih Muamalah, Jakarta: Prenada Media Group
Denda karena terlambat membayar hutang menurut islam,dalam http://aryuuki.blogspot.com/2011/01/denda-karena-terlambat-membayar-hutang.html diakses 13 Juli 2012
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, 2010, Fiqih Muamalah, Jakarta: Prenada Media Group
Muhammad, 2002, Manajemen Bank Syariah, Yokyakarta: UPP AMP YKPN
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, 2010, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Prenada Media Group
Muhammad Ridwan, 2004, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Yogyakarta: UII Press
Muhammad Yusuf Qardhawi, 2007, Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu
Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S., Denda dalam Kacamata Syariah, dalam http://ekonomisyariat.com/cakrawala-ekonomi/denda-dalam-kacamata-syariah.html diakses 13 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar