A. Sejarah Fiqh Dauly
1. Pada Masa Sebelum Islam
Keinginan untuk hidup berdampingan secara damai di antara berbagai bangsa di dunuia ini telah ada sebelum ajaran islam datang. Keinginan ini terwujudkan dalam berbagai perjanjian antar negara serta adat kebiasaan. Keduanya menjadi dua sumber terpenting dalam hubungan damai antara negara di masa tersebut. Sebagai contoh seperti berikut ini.
Perjanjian antara Ramses III (Firaun raja Mesir) dengan Kheta (raja Asia kecil) pada abad ke-3 sebelum Masehi. Isi perjanjian tersebut mengenai penghentian peperangan dan perjanjian ekstradisi bagi rakyat yang lari dari negara asalnya.
Pada zaman yunani kuno, hubungan antara negara kota yang satu dengan negara kota yang di Yunani terikat oleh perasaan satu warga, satu bahasa, dan satu agama. Adapun hubungan antara negara kota Yunani dengan negara kota di luar kawasan Yunani didasarkan pada prinsip “Bangsa Yunani harus menguasai bangsa-bangsa lain di luar kawasan yunani, karena bangsa yunani merupakan bangsa yang unggul”.
Pada zaman Romawi, hubungan baik antar negara kota didasarkan pada hukum ketetanggaan dan penghormatan kepada setiap negara lain. Negara Romawi sebagai pemegang kekuasaan dalam memutuskan setiap persengketaan yang timbul. Dalam bidang hukum muncul apa yang disebut ius civile sebagai hukum yang harus berlaku bagi orang Romawi, dan ius gentium sebagai hukum antar bangsa.
2. Pada Masa Islam
Ali Ali mansur berpendapat bahwasannya diantara berbagai peradapan yang ada di dunia ini dapat dipastikan bahwa peradaban yang terdahulu akan memberikan pengaruh kepada peradaban yang datang kemudian. Dengan demikian maka kebudayaan islam memberikan pengaruh kepada kebudayaan barat yang akan datang. Apabila terdapat aturan-aturan hukum internasional sekarang sama dengan kaidah-kaidah yang diatur dalm ajaran islam baik daam keadaan damai maupun perang.
Islam pada waktu perang memperkenalkan prilaku-prilaku dan keperwiraan muslim di dalam perang, baik terhadap musuh, terhadap tawanan perang dan prinsip-prinsip serta tata cara dan etika perang dalam islam. Sinkatnya akhlak yang diajarkan islam seperti pemurah, kejujuran, menepati janji, kasih sayang terhadap anak-anak, orang tua dan wanita, toleransi berani memperjuangkan kebenaran, tidak hanya dilaksanakan pada masa damai, tetapi juga pada masa perang.
Tampaknya hubungan-hubungan internasional di era globalisasi akan semakin intensif baik hubungan antar negara maupun hubungan antar warga negara, guna tercapainya kehidupan yang damai, aman, tertib dan adil di antara sesama bangsa di muka bumi.
1. Pada Masa Sebelum Islam
Keinginan untuk hidup berdampingan secara damai di antara berbagai bangsa di dunuia ini telah ada sebelum ajaran islam datang. Keinginan ini terwujudkan dalam berbagai perjanjian antar negara serta adat kebiasaan. Keduanya menjadi dua sumber terpenting dalam hubungan damai antara negara di masa tersebut. Sebagai contoh seperti berikut ini.
Perjanjian antara Ramses III (Firaun raja Mesir) dengan Kheta (raja Asia kecil) pada abad ke-3 sebelum Masehi. Isi perjanjian tersebut mengenai penghentian peperangan dan perjanjian ekstradisi bagi rakyat yang lari dari negara asalnya.
Pada zaman yunani kuno, hubungan antara negara kota yang satu dengan negara kota yang di Yunani terikat oleh perasaan satu warga, satu bahasa, dan satu agama. Adapun hubungan antara negara kota Yunani dengan negara kota di luar kawasan Yunani didasarkan pada prinsip “Bangsa Yunani harus menguasai bangsa-bangsa lain di luar kawasan yunani, karena bangsa yunani merupakan bangsa yang unggul”.
Pada zaman Romawi, hubungan baik antar negara kota didasarkan pada hukum ketetanggaan dan penghormatan kepada setiap negara lain. Negara Romawi sebagai pemegang kekuasaan dalam memutuskan setiap persengketaan yang timbul. Dalam bidang hukum muncul apa yang disebut ius civile sebagai hukum yang harus berlaku bagi orang Romawi, dan ius gentium sebagai hukum antar bangsa.
2. Pada Masa Islam
Ali Ali mansur berpendapat bahwasannya diantara berbagai peradapan yang ada di dunia ini dapat dipastikan bahwa peradaban yang terdahulu akan memberikan pengaruh kepada peradaban yang datang kemudian. Dengan demikian maka kebudayaan islam memberikan pengaruh kepada kebudayaan barat yang akan datang. Apabila terdapat aturan-aturan hukum internasional sekarang sama dengan kaidah-kaidah yang diatur dalm ajaran islam baik daam keadaan damai maupun perang.
Islam pada waktu perang memperkenalkan prilaku-prilaku dan keperwiraan muslim di dalam perang, baik terhadap musuh, terhadap tawanan perang dan prinsip-prinsip serta tata cara dan etika perang dalam islam. Sinkatnya akhlak yang diajarkan islam seperti pemurah, kejujuran, menepati janji, kasih sayang terhadap anak-anak, orang tua dan wanita, toleransi berani memperjuangkan kebenaran, tidak hanya dilaksanakan pada masa damai, tetapi juga pada masa perang.
Tampaknya hubungan-hubungan internasional di era globalisasi akan semakin intensif baik hubungan antar negara maupun hubungan antar warga negara, guna tercapainya kehidupan yang damai, aman, tertib dan adil di antara sesama bangsa di muka bumi.
B. Pengertian Fiqh Dauly
Dauly bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan serta wewenang. Sedangkan fiqh Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional.
Fiqh dauly ialah yang mengatur antar Negara yang satu dengan Negara yang lain dan lembaga antar Negara tersebut (Politik hubungan internasional).
Bidang Fiqh Dauliyah / Kharijiyah yaitu yang berhubungan dengan pengaturan pergaulan antara negara-negara islam dan dengan negara-negara bukan islam, tata cara pengaturan pergaulan warga negara muslim dengan warga negara non-muslim yang ada di negara Islam, hukum dan peraturan yang membatasi hubungan negara Islam dengan negara-negara lain dalam situasi damai dan perang.
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Fiqh Dauliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta kedaulatan negara. Hal ini sangat penting kedaulatan negara untuk pengakuan dari negara lain.
Hubungan internasional dalam islam didasarkan pada sumber-sumber normatif tertulis dan sumber-sumber praktis yang pernah diterapkan umat islam dalam sejarah. Sumber normatif tertulis berasal dari Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. dari kedua sumber ini kemudian ulama menuangkannya ke dalam kajian fiqh al-siyar wa al-jihad (hukum internasional tentang damai dan perang). Istilah “siyar” untuk kajian hubungan internasional dalam Islam ini.
Pada masa kini, ketika masing-masing umat saling membutuhkan kepada yang lain, dan sebagai mahluk sosial pasti membutuhkan dari pihak lain, maka inilah faktor yang mendorong terbentuknya hubungan antar negara dengan menetapkan peraturan hak-hak dan kewajiban setiap negara dalam situasi perang atau damai. Hubungan internasional ini dipelajari karena adanya fakta bahwa seluruh penduduk dunia terbagi ke dalam wilayah komunitas politik yang terpisah, atau negara-negara merdeka, yang sangat mempengaruhi cara hidup manusia. Secara bersama-sama negara-negara tersebut membentuk sistem internasional yang akhirnya menjadi sistem global.
C. Ruang Lingkup Fiqh Dauly
Ruang lingkup bahasan Fiqh Dauliyah yaitu, persoalan internasional, territorial, pembagian dunia menurut Fiqh islam, masalah penyerahan penjahat, masalah pengusiran dan pengasingan, perwakilan asing, tamu-tamu negara, orang-orang dzimi, masalah perbedaan agama, hubungan muslim dengan non-muslim dalam akad timbal bali, dalam pidana hudud, dan qishash.
Maksud kedaulatan teritorial adalah kedaulatan yang dimiliki suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi ekslusif di wilayahnya. Karena pelaksaaan kedaulatan ini di dasrkan pada wilayah, karena itu wilayah mungkin adalah konsep fundamental hubungan internasional. Hakim Huber menyatakan bahwa kaitannya dengan wilayah, kedaulatan mempunyai dua ciri yang sangat penting yang dimiliki sebuah negara. Ciri yang pertama yaitu kedaulatan merupakan suatu prasyarat hukum utuk adanya suatu negara. Ciri kedua kedaulatan menunjukkan negara tersebut merdeka yang sekaligus juga fungsi dari suatu negara.
Fuqaha membagi dunia kedalam dar al-Islam: dar al- ahdi dan dar al-harbi. Maka dar al-islam bisa terjadi banyak negara. Sejarah pernah membuktikan adanya tiga pusat kekuasaan Islam pada saat yang bersamaan yaitu Daulah Abbasiyah di Bagdad, Daulah Fatimiyah di Mesir dan Daulah Ummayah di Andalusia. Demikian juga di Dar al- ahdi dan Dar al-harbi. Pada saat perang salib, banyak negara-negara di luar darul Islam bersekutu untuk menyerang Islam.
Kata ahl al-zimmi atau ahl al-zimmah merupakan bentuk tarkip idhafi (kata majemuk) yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata “ahl”, secara bahasa, berarti keluarga atau sahabat. Sedangkan kata “zimmi atau zimmah” bararti janji, jaminan dan keamanan. Seorang yang mempunyai janji disebut rajulun zimmiyyun . Zimmah dalam arti janji dapat dilihat pada surat al-Taubah berikut:
“Mereka tidak memelihara (hubungan) Kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas”. Hubungan antara negara Islam dengan non islam yaitu dakwa, agama Islam memerintahkan untuk berdakwah kepada orang-orang non Islam agar mereka memeluk agama Islam. Dakwa ada dua, dakwah lisan (dengan lisan) dan dakwa bi al hal. Barang siapa yang sudah diberi bekal dakwah melalui lisan dan agama Islam telah sampai kepada mereka sesuai dengan cara yang benar sehingga kebenaran itu nampak jelas bagi mereka, sementara mereka tidak menerima dakwah, maka kaum muslim wajib mengeajak (berdakwah) kepada mereka dengan pedang atau memerangi mereka sampai mereka menyerah masuk agama Islam atau mereka membayar upeti dengan patuh dan mereka dalam keadaan tunduk.
Abdul Qadir al-Awdah mendefinisikan qishash sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap si pelaku tindak pidana dengan sesuatu yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya. Hudud adalah Perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash, dengan batas-batas ketentuan yang tidak boleh dilanggar (hak Allah) dan tidak tidak bisa dihapuskan oleh perorangan. Seperti mengenai hukuman rajam bagi pezina, hukuman ini baru manakala telah dilakukan penyelidikan yang seksama. Hukuman tersebut tidak dapat dilaksanakan sebelum ada pengakuan empat orang saksi atau pengakuan dari diri yang berbuat itu sendiri.
Qishash, baik untuk pembunuhan sengaja maupun untuk penganiayaan sengaja di dalam dijelaskan seperti dalam surat al-Baqarah ayat 178 adalah sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.”
D. Prinsip Dasar Hubungan Internasioal
1. Kesatuan umat manusia
Meskipun manusia berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatua manusia karena sama-sama mahluk Allah, sama bertempat tinggal di muka bumi, sama-sama mengharapkan kehidupan yang bahagia, dan damai dan sama-sama dari Adam. Dengan demikian maka perbedaan-perbedaan di antara manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihan masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing. Al-Qur’an banyak mengisyaratkan kesatuan manusia ini, antara lain:
“Manusia itu adalah umat yang satu”
2. Al-‘Adalah (keadialan)
Hidup berdampingan dengan damai baru terlaksana apabila didasarkan pada keadilan baik di antara manusia maupun di antara berbagai negara, bahkan perangpun terjadi karena salah satu pihak merasa diperlakuan tidak adil. Oleh karena itu, ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Ayat Al-Qur’an tentang adil antara lain:
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
3. Al- Musawah (persamaan)
Manusia memiliki hak-hak kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak mempersamakan manusia di hadapan hukum kerjasama internasional sulit dilaksanakan apabila tidak di dalam kesederajatan antar negara dan antar bangsa. Demikian pula setiap manusia adalah subjek hukum, penanggung hak dan kewajiban yag sama. Hak hidup dan hak memiliki dan kehormatan kemanusiaan harus sama-sama dihormati dan dilindungi, satu-satunya ukuran kelebihan manusia terhadap manusia lainnya adalah ketaqwaannya. Seperti ayat Al- Qur’an berikut:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”
4. Karomah Insaniyah (Kehormatan manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka tidak boleh merendahkan mausia lainnya dan suatu kaum tidak boleh menghina kaum lainnya. Kehormatan kemanuasiaaan ini berkembang menjadi kehormatan terhadap suatu kaum dan komonitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara. Kerjasama internasional tidak mungkin dikembangkan tanpa landasan saling menghormati. Kehormatan kemanusiaan inilah pada gilirannya menumbuhkan menumbuhkan harga diri yang wajar baik pada individu maupun pada komonitas muslim dan non muslim tanpa harus jatuh kepada kesombongan individual atau nasionalisme yang ekstrim. Di antara ayat Al- Qur’an megenai hal tersebut yaitu:
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (manusia)”
5. Tasamuh (Toleransi)
Sifat pemaaf merupakan sesuatu yang sangat terpuji dan sebaliknya sifat dendam merupakan suatu sifat yang tercela, pemaaf yang baik adalah pemaaf disertai dengan harga diri yang wajar dan bukan pemaaf dalam arti menyerah atau merendahkan diri terhadap kejahatan-kejahatan.
6. Kerjasama Kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerjasama di sini adalah kerjasama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan, kerjasama ini diperlukan karena ada saling ketergantungan baik antara individu maupun antara negara di dunia ini. Kerjasama ini dilaksanakan agar saling menguntungkan dalam suasana baik dan untuk kepentingan bersama, bukan kerjasama untuk saling bermusuhan dan berbuat kejahatan.
7. Kebebasan, Kemerdekaan / al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta mengendalikan di bawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian kebebasa bukanlah kebebasab mutlak, akan tetapi kebebasan yag bertanggung jawab terhadap Allah, terhadap keselamatan dan kemaslahatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan bisa dirinci seperti:
a. Kebebasan berfikir
b. Kebebasan beragama
c. Kebebasa menyatakan pendapat
d. Kebebasan menuntut ilmu
e. Kebebasan memiliki harta baik benda
8. Perilaku Moral yang Baik (al- Akhalak al- Kariamah)
Perilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia, selain itu prinsip ini diterapkan terhadap seluruh mahluk Allah di muka bumi, termasuk flora dan fauna, alam nabati dan alam hewani.
E. Hubungan Internasional di Waktu Damai
1. Damai adalah asas hubungan internasional
Menurut Al- Ustadz Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahawa para ulama terbagi dua kelompok mengenai asal hubungan internasional yaitu, menurut kelompok yang pertama mengacu pada ayat berukut:
“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu...” Selain itu, Nabi bersabda: “Saya di perintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan sahadat, melaksanakan shalat, dan mengeluarkan zakat.” (HR. Bukhari Muslim)
Menurut kelompok yang pertama ini hukum asal hubungan internasioanl adalah perang (al-ashlu fi al-‘alaqah al-harb).
Kelompok yang kedua berpendapat sebaliknya: hukum asal dari hubungan internasional adalah damai (al-ashlu fi al-‘alaqah al-silm), alasannya adalah perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kedhaliman, menghilangkan fitnah, dalam rangka mempertahankan diri, selain itu agama mempunyai konsep perdamaian dan keamanan. Hal ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an diantaranya yaitu:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikianlah Balasan bagi orang-orang kafir.” Konsekuensi dari asas bahwa hubungan internasional dalam islam adalah perdamaian saling membantu dalam kebaikan, maka:
a) Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
b) Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
c) Segera menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung kepada damai.
d) Memperlakukan tawanan perang dengan cara manusiawi.
2. Kewajiban suatu negara terhadap negara lain
Kewajiban terpenting adalah menghormati hak-hak negara yang lain dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuatnya.
Tentang kewajiban menghormati hak-hak negara yang bertetangga dengan negara islam dalam era globalisasi sekarang ini semua negara yang ada di dunia ini adalah bertetangga maka tidak ada salahnya kewajiban menghormati tetangga ditrerapkan kepada kewajiban menghormati negara lain.
3. Perjanjian-perjanjian internasional
Di kalanga fuqaha ada kecenderugan mengistilahkan perjanjian-perjanjian siyasah atau politik internasional dengan al-ahdu sedangkan perjanjian internasional di dalam budaya, ekonomi dan sosial dan sebaginya di istilahkan dengan al-intifak (kesepakatan).
Suatu perjanjian sah dan mengikat apabila memenuhi tiga syarat yaitu:
a) Yang melakukan perjanjian memiliki kewenangan
b) Kerelaan
c) Isi perjanjian dan objeknya tidak dilarang oleh Syariah Islamiyah.
F. Hubungan Internasional di Waktu Perang
1. Sebab-sebab terjadinya perang
Pada umumnya manusia tidak menyenangi peperangan. Akan tetapi apabila degan alasan yang benar dan adil, seperti mempertahankan diri, maka siap mempertahankan negeri sendiri adalah lebih baik dari pada jatuh kepada penjajahan asing. Inilah rupanya yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an:
“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
2. Aturan perang dalam siyasah dauliyah
a. Pengumuman perang
Tidak diperkenankan memasuki peperangan kecuali setelah pengumuman atau pernyataan perang di dalam waktu yang memungkinkan sampainya berita itu kepada musah.
Apabila perang tidak bisa dielakkan lagi, diberikan tiga pilihan:
- Masuk islam supaya mereka benar-benar sepenuh hati bersama kaum muslimin.
- Mengadakan perjanjian supayamerasa tentram dan dapat mengamankan dakwah.
- Berperang pernyataan perang untuk memilih merupakan pengumuman, agar tidak ada serangan tiba-tiba sebelum dimulai.
b. Etika dan aturan perang dalam siyasah dauliyah
Sepuluh perilaku mulia yang dipegang oleh islam di dalam peperangan, antara lain:
- Dilarang membunuh anak-anak
- Dirang membunuh wanita-wanita yang tidak ikut perperang juga dilarang memperkosa
- Dilarang membunuh orang yang sudah tua apabila tidak ikut berperang
- Tidak memotong dan merusak pohon-pohon, sawah dan ladang
- Tidak merusak binatang ternak
- Tidak menghancurkan gereja, biara dan rumah-rumah adat
- Dilarang mencincang-cincang mayat musuh, bahkan bingkai binatangpun tidak boleh di cincang
- Dilarang membunuh pendeta dan para pekerja yang tidak ikut berperang
- Bersikap sabar, berani, dan ikhlas dalam melakukan peperangan, membersihkan niat dari mencari keuntungan duniawi
- Tidak melampaui batas.
3. Persiapan dan organisasi ketentaraan
Meskipun dalam perang itu bersifat defensif, hal ini tidaklah berarti tidak ada persiapan diri dalam menghadapi musuh, agar apabila terjadi serangan dalam serangan kilat, kaum muslimin telah siap menghadapinya, dan apabila musuh tahu bahwa kaum muslimin selalu siap mempertahankan bangsa dan negaranya maka mereka akan berfikir beberapa kali untuk melakukan serangan, hal ini yang diingatkan oleh Al-Qur’an:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” Persiapan tersebut selain berupa perlengkapan perang, tetapi juga dan terutama persiapan sumber daya menusia yang profesional, tangguh dan terampil. Dalam hal ini banyak hadits tentang peran-peran untuk memelihara fisik dan mental yang kuat, seperti mengajarkan memanah, berenang, menunggang kuda, dan berolah raga pada umumnya, serta menanamkan makna dan ruh perjuangan kepada kaum muslimin untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat yang tujuan akhirnya untuk mencapai keridhaan Allah.
4. Tawanan perang
Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tawanan perang yaitu:
“Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir”. Adapun yang dimaksud tawanan perang seperti ayat di atas adalah orang-orang tertawan oleh negara yang berperang. Sebagai penerapan prinsip-prinsip, seperti yang dilakukan oleh musuh terhadap tawanan perang yang beragama Islam, yang oleh mereka dijadikan budak.
ANALISIS
Fiqh Dauliyah atau Siyasah Dauliyah adalah sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional yang meliputi hal-hal seperti masalah territorial, pembagian dunia menurut Fiqh islam, masalah penyerahan penjahat, masalah pengusiran dan pengasingan, perwakilan asing, tamu-tamu negara, orang-orang dzimi, masalah perbedaan agama, hubungan muslim dengan non-muslim dalam akad timbal bali, dalam pidana hudud, dan qishash. Sedangkan hubungan internasional secara umum yaitu yang mengatur tentang persoalan-persoalan luar negeri dan isu-isu global di antara negara-negara dalam sistem internasional, termasuk peran negara-negara, organisasi-organisasi antar pemerintah, organisasi-organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, dan perusahaan-perusahaan multinasional. Hubungan international bisa berupa politik, ekonomi, sejarah, hukum, filsafat, geografi, sosiologi, antropologi, psikologi, budaya, dll.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan hubungan internasional dalam islam yaitu mengacu pada sumber-sumber normatif tertulis dan sumber-sumber praktis yang pernah diterapkan umat islam dalam sejarah. Sumber normatif tertulis berasal dari Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Sedangkan hubungan internasional secara umum mengacu pada sistem internasional.
Mengenai hukum asal hubungan internasional dalam islam para ulama berdeda pendapat, kelompok pendapat yang pertama yaitu hukum asal hubungan internasioanal adalah perang (al-ashlu fi al-‘alaqah al-harb). Sedangkan kelompok yang kedua berpendapat sebaliknya yaitu hukum asal dalam hubungan internasional adalah damai (al-ashlu fi al-‘alaqah al-silm) alasannya adalah perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kedhaliman, menghilangkan fitnah, dalam rangka mempertahankan diri.
Pendapat kelompok kedua ini lebih mendekati kepada kebenaran, dan ulama-ulama terkemuka masa kini lebih cenderung kepada pendapat yang kedua. Karena ayat Al-Qur’an yang di jadikan pedoman oleh kelompok yang pertama berlaku dalam suasana peperangan, jadi peperangan hanya dilakukan dalam keadaan darurat.
Pengertian orang zimmi atau zimmah menurut para ulama, menurut Al-Ghazali (w. 505 H), ahl al-zimmi adalah setiap setiap ahli kitab yang telah baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang dan membayar jizyah. Menurut Ibn al-Juza’i al-Maliki hampir sama yaitu ahl al-zimmi adalah orang kafir yang merdeka, baligh, laki-laki, menganut agama yang bukan islam, mampu membayar jizyah dan tidak gila. Menurut Al-‘Unqari mempertegas pendapat di atas dengan menyimpulkan bahwa ahl al-zimmi adalah orang non muslim yang menetap di dar al-islam dengan membayar jizyah.
Dari beberapa pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa ahl al-zimmi yaitu orang non muslim yang bertempat tinggal untuk selamanya di wilayah orang islam dengan membayar jizyah da tunduk kepada peratuaran islam, dan mereka memiliki semua hak yang dimiliki orang Islam kecuali menjadi kepala negara.
__________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Pulungan, Suyuthi, 1997. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Iqbal, Muhammad, 2001. Fiqih Siyasah: Konstektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pertama
Wahab Khallaf, Abdul, 1994. Politik Hukum Islam, Yogya: PT. Tiara Wacana
A. Djazuli, , 2007. Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana
Effendi, Bahtiar, 2000. (RE) Politisasi Islam, Bandung: Mizan
Adolf, Huala, 1991. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: CV. Raja Wali
Suhelmi, Ahmad, 2002. Polemik Negara Islam, Jakarta: TERAJU
Hakim, Rahmat, 2000. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: CV. Pustaka Setia
Depag RI, Al-Qur’an dan terjemah
Taimiyah, Ibnu, 1989. Pedoman Islam bernegara, Jakarta: Bulan Bintang
Jackson, Robert & Sorensen, Georg, 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar