A. Pengertian hadis dha’if
Kata dha’if menurut bahasa, berarti yang lemah, sebagai lawan kata dari qawiy yang kuat. Sebagai lawan kata dari shahih dan dha’if , juga berarti yang saqim (yang lemah). Maka sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, atau yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang berbeda-beda. Akan tetapi, pada dasarnya mengandung maksud yang sama yaitu hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari satu syarat-syarat hadis shahih atau hadis hasan, misalnya sanadnya ada yang terputus, diantara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain.
Seperti halnya hadis hasan itu dapat naik tingkatannya menjadi shahih li ghairih, ada hadis dha’if tertentu yang dapat naik tingakatan menjadi hasan li ghairih. Yaitu hadis yang didalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak terkenal dikalangan ulama hadis. Orang tersebut tidak dikenal banyak salah, tidak pula dikenal dikenal berdusta. Hadis dha’if kadar kedhaifannya tinggi tidak dapt naik derajatnya menjadi hasan li ghairih.
Kata dha’if menurut bahasa, berarti yang lemah, sebagai lawan kata dari qawiy yang kuat. Sebagai lawan kata dari shahih dan dha’if , juga berarti yang saqim (yang lemah). Maka sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, atau yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang berbeda-beda. Akan tetapi, pada dasarnya mengandung maksud yang sama yaitu hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari satu syarat-syarat hadis shahih atau hadis hasan, misalnya sanadnya ada yang terputus, diantara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain.
Seperti halnya hadis hasan itu dapat naik tingkatannya menjadi shahih li ghairih, ada hadis dha’if tertentu yang dapat naik tingakatan menjadi hasan li ghairih. Yaitu hadis yang didalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak terkenal dikalangan ulama hadis. Orang tersebut tidak dikenal banyak salah, tidak pula dikenal dikenal berdusta. Hadis dha’if kadar kedhaifannya tinggi tidak dapt naik derajatnya menjadi hasan li ghairih.
B. Jenis-jenis hadis dha’if
Ada beberapa sebab yang menjadiakan sebuah hadis diberi nilai dha’if . Ada kalanya sanadnya tidak bersambung, ada kalanya juga karena periwayatnya tercatat atau sebab lain. Keterputusan sanad adalah sebagai:
Hadis Dha’if yang disebabkan keterputusan sanad
a) Hadis mu’allaq
Hadis Mu’allaq ialah Hadis-hadis yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanadnya.
Keguguran (inqitha’) sanad pada hadis mua’allaq tersebut dapat terjadi pada sanad yang pertama, pada seluruh sanad, atau pada seluruh sanad selain sahabat.
Sebagai contoh hadis mu’allaq yang gugur pada sanad pertama saja, seperti hadis:
قال النبي صلى الله عليه وسلم:أَلله أَّحق أن يستحيى من النا س.
“Nabi Muhammad saw. bersabda: Allah itu lebih berhak untuk dijadikan tempat mengadu malu dari pada manusia.”
I. Jika kita mengambil hadis Bukhari, maka hadis itu bersanad Bahz bin Hakim, ayah Bahz, yakni Hakim bin Mua’wiyah dan kakeknya, yakni Mua’wiyah bin Haidah Al-Qusyairy, salah seoarang sahabat yang terkenal.
II. Jika kita mengambil hadis Abu Dawud, maka hadis itu bersanad: ‘Abdullah bi Maslamah, ‘Ubay, Bahz bin Hakim, ayah Bahz dan kakek Bahz, atau sanad yang lain terdiri dari: Ibnu basyr, yahya, Bahz bin Hakim, ayah Bahz dan kakek Bahz.
III. Jika memperhatikan hadis At-Turmudzy, maka sanad hadis tersebut terdiri dari: Ahmad bin Mani’, Mua’adz bersama Yazid bin Harun, Bahz bin Hakim, ayah Bahz dan kakek Bahz.
Nyatalah sekarang apabila kita perbandingakan sanad-sanad dari 3 imam pentakhrij hadis tersebut, bahwa Imam Bukahri menggugurkan sanad, sekurang-kurangnya seorang, sebelum Bahz bin Hakim, sebab Imam Bukhari dengan Bahz bin Hakim tidak hidup dalam satu generasi. Dengan demikian hadis Bukhari ini adalah hadis mu’allaq, sedang hadis Abu Dawud dan At-Turmudzy adalah muttashil.
Hadis mu’allaq yang dibuang seluruh sanadnya, ialah apabila seoarang imam hadis secara langsung mengatakan: “Rasulullah saw. Bersabda begini.......atau langsung mengutarakan matnu’l-hadis, tanpa menyebut nama Abu Muhammad saw. Misalnya seperti Imam Bukhari:
قال وفد عبدالقيس للنبي صلى الله عليه وسلم:مرنابجمال من الامر إن عملنابها دخلناالجنة.
“kata utusan ‘Abdul-Qais kepada Nabi Muhammad saw: perintahlah kami untuk mengerjakan beberpa tugas, yang bila kami kerjakan kami dapat masuk surga”
Imam Bukhari membuang seluruh sanad hadis tersebut, dalam kitab shahihnya, dalam bab: ‘al-ilmu qabla’l-qauli wal’amali”
b) Hadis Mursal
Hadis Mursal yaitu hadis yang disandarkan kepada Rasulullah oleh tabiin tanpa menyebutkan nama sahabat yang membawa hadis itu. Perwujudan dari ta’rif tersebut, ialah perkataan tabiin, yang baik tabiin besar maupun kecil, atau perkataan sahabat kecil, yang menegaskan tentang apa yang telah dikatakan Rasulullah saw. Tanpa menerangkan dari sahabat mana berita itu diperolehnya. Misalnya seorang tabiin atau sahabat kecil, berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا.....
(Rasulullah saw. Mengerjakan begini.......).
I. Klasifikasi hadis mursal
Ditinjau dari segi siapa yang mengugurkan dan dari segi sifat-sifat penggugurannya hadis, hadis mursal terbagi kepada:
a. Mursal Jaly. Yaitu bila penguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabi’iy), adalah jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
b. Mursal shaby. Yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi muhammad saw., tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran disaat Rasulullah hidup ia masih kecil atau terakhir masuknya kedalam agama Islam.
hadis mursal ini dianggap shahih, karena pada galibnya ia tiada meriwayatkan selain dari para sahabat. Sedang para sahabat itu seluruhnya adil. Contohnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Atabah dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. kata Ibnu Abbas:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج الى مكة يوم عام الفتح فى رمضان فصام حتى بلغ الكد يد ثم أفطرفافطرالناس
“Bahwa Rasulullah saw. Keluar menuju ke Mekkah, pada tahun kemenangan dalam bulan Ramadhan. Karena itu beliau berpuasa sampai ke kadid. Lalu setelah beliau berbuka, kemudian orang-orang pun berbuka”.
Menurut Al-Qabisy, hadis tersebut termasuk hadis mursal shahaby, lantaran Ibnu ‘Abbas tidak ikut bepergian bersama Rasulullah saw. Beliau dirumah (Mekkah) bersama dengan orang tuanya. Jadi tidak menyaksikan kisah perjalanan tersebut. Hal itu diketahui berdasarkan berita sahabat lain.
c. Mursal khafy, ialah
Hadis (yang diriwatkan oleh tabi’iy), dimana tabi’iy yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahaby, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadis pun daripadanya.
Hukum hadis mursal yang terakhir ini, adalah dha’if.
c) Hadis Mudallas
Hadis mudallas adalah Hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadis itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat cara demikian, disebut mudallis. Hadis yang diriwayatkan oleh mudallas, disebut hadis mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tad-lis.
• Macam-macam tad-lis
1. Tad-lis Isnad. Yaitu bila seseorang rawi yang meriwayatkan suatu hadis dari orang yang pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadis daripadanya.
Contoh: Tad-lis Isnad, ialah hadis Ibnu Umar r.a:
قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم:إذانعس أحد كم فى مجلسه يوم الجمعة فليتحول الى غيره(رواه ابوداود)
Rasulullah saw. Bersabda: “Bila salah seorang kamu mengantuk di atas tempat duduknya pada hari jum’at, hendaklah ia bergeser ke tempat lain”
Dalam sanad hadis Ibnu ‘Umar tersebut, terdapat seorang rawi bernama Muhammad bin Is-haq yaitu seorang mudallis dan ia telah membuat ‘an ‘anah (meriwayatkan dengan ‘an).
2. Tad-lis Syuyukh. Yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadis yang didengarnya dari seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyahnya, nama keturunannya, atau menyifati gurunya dengan sifat-sifat yang tidak/belum dikenal oleh orang banyak. Misalnya seperti kata Abu Bakar bin Mujahid Al-Muqry:
حدثناعبدالله ابن ابى عبيد الله
“Telah bercerai kepadaku ‘Abdullah bin Abi ‘Ubaidiilah”
Yang dimaksudkan dengan Abdullah ini, ialah Abu Bakar bin Abi Dawud As-Sijjistany.
3. Tad-lis Taswiyah (tajwid). Yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang tsibah, yang oleh gurunya tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari dari seorang guru yang tsiqah pula. Tetapi si mudallis tersebut meriwayatkan tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan lafadz yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.
d) Hadis munqathi
Hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat, di suatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
Contoh hadis munqathi’ yang gugur rawinya (sanadnya) seorang sebelum sahabat, seperti hadis yang ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi dengan matan dan sanad sebagai berikut:
كان رسو ل الله صلى الله عليه وسلم إذا د خل المسجد قال:بسم الله والصلاةوالسلام على رسول الله اللهم اغفرلى ذ نوبي وافتح لي ابواب رحمتك.
Ada beberapa sebab yang menjadiakan sebuah hadis diberi nilai dha’if . Ada kalanya sanadnya tidak bersambung, ada kalanya juga karena periwayatnya tercatat atau sebab lain. Keterputusan sanad adalah sebagai:
Hadis Dha’if yang disebabkan keterputusan sanad
a) Hadis mu’allaq
Hadis Mu’allaq ialah Hadis-hadis yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanadnya.
Keguguran (inqitha’) sanad pada hadis mua’allaq tersebut dapat terjadi pada sanad yang pertama, pada seluruh sanad, atau pada seluruh sanad selain sahabat.
Sebagai contoh hadis mu’allaq yang gugur pada sanad pertama saja, seperti hadis:
قال النبي صلى الله عليه وسلم:أَلله أَّحق أن يستحيى من النا س.
“Nabi Muhammad saw. bersabda: Allah itu lebih berhak untuk dijadikan tempat mengadu malu dari pada manusia.”
I. Jika kita mengambil hadis Bukhari, maka hadis itu bersanad Bahz bin Hakim, ayah Bahz, yakni Hakim bin Mua’wiyah dan kakeknya, yakni Mua’wiyah bin Haidah Al-Qusyairy, salah seoarang sahabat yang terkenal.
II. Jika kita mengambil hadis Abu Dawud, maka hadis itu bersanad: ‘Abdullah bi Maslamah, ‘Ubay, Bahz bin Hakim, ayah Bahz dan kakek Bahz, atau sanad yang lain terdiri dari: Ibnu basyr, yahya, Bahz bin Hakim, ayah Bahz dan kakek Bahz.
III. Jika memperhatikan hadis At-Turmudzy, maka sanad hadis tersebut terdiri dari: Ahmad bin Mani’, Mua’adz bersama Yazid bin Harun, Bahz bin Hakim, ayah Bahz dan kakek Bahz.
Nyatalah sekarang apabila kita perbandingakan sanad-sanad dari 3 imam pentakhrij hadis tersebut, bahwa Imam Bukahri menggugurkan sanad, sekurang-kurangnya seorang, sebelum Bahz bin Hakim, sebab Imam Bukhari dengan Bahz bin Hakim tidak hidup dalam satu generasi. Dengan demikian hadis Bukhari ini adalah hadis mu’allaq, sedang hadis Abu Dawud dan At-Turmudzy adalah muttashil.
Hadis mu’allaq yang dibuang seluruh sanadnya, ialah apabila seoarang imam hadis secara langsung mengatakan: “Rasulullah saw. Bersabda begini.......atau langsung mengutarakan matnu’l-hadis, tanpa menyebut nama Abu Muhammad saw. Misalnya seperti Imam Bukhari:
قال وفد عبدالقيس للنبي صلى الله عليه وسلم:مرنابجمال من الامر إن عملنابها دخلناالجنة.
“kata utusan ‘Abdul-Qais kepada Nabi Muhammad saw: perintahlah kami untuk mengerjakan beberpa tugas, yang bila kami kerjakan kami dapat masuk surga”
Imam Bukhari membuang seluruh sanad hadis tersebut, dalam kitab shahihnya, dalam bab: ‘al-ilmu qabla’l-qauli wal’amali”
b) Hadis Mursal
Hadis Mursal yaitu hadis yang disandarkan kepada Rasulullah oleh tabiin tanpa menyebutkan nama sahabat yang membawa hadis itu. Perwujudan dari ta’rif tersebut, ialah perkataan tabiin, yang baik tabiin besar maupun kecil, atau perkataan sahabat kecil, yang menegaskan tentang apa yang telah dikatakan Rasulullah saw. Tanpa menerangkan dari sahabat mana berita itu diperolehnya. Misalnya seorang tabiin atau sahabat kecil, berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا.....
(Rasulullah saw. Mengerjakan begini.......).
I. Klasifikasi hadis mursal
Ditinjau dari segi siapa yang mengugurkan dan dari segi sifat-sifat penggugurannya hadis, hadis mursal terbagi kepada:
a. Mursal Jaly. Yaitu bila penguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabi’iy), adalah jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
b. Mursal shaby. Yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi muhammad saw., tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran disaat Rasulullah hidup ia masih kecil atau terakhir masuknya kedalam agama Islam.
hadis mursal ini dianggap shahih, karena pada galibnya ia tiada meriwayatkan selain dari para sahabat. Sedang para sahabat itu seluruhnya adil. Contohnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Atabah dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. kata Ibnu Abbas:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج الى مكة يوم عام الفتح فى رمضان فصام حتى بلغ الكد يد ثم أفطرفافطرالناس
“Bahwa Rasulullah saw. Keluar menuju ke Mekkah, pada tahun kemenangan dalam bulan Ramadhan. Karena itu beliau berpuasa sampai ke kadid. Lalu setelah beliau berbuka, kemudian orang-orang pun berbuka”.
Menurut Al-Qabisy, hadis tersebut termasuk hadis mursal shahaby, lantaran Ibnu ‘Abbas tidak ikut bepergian bersama Rasulullah saw. Beliau dirumah (Mekkah) bersama dengan orang tuanya. Jadi tidak menyaksikan kisah perjalanan tersebut. Hal itu diketahui berdasarkan berita sahabat lain.
c. Mursal khafy, ialah
Hadis (yang diriwatkan oleh tabi’iy), dimana tabi’iy yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahaby, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadis pun daripadanya.
Hukum hadis mursal yang terakhir ini, adalah dha’if.
c) Hadis Mudallas
Hadis mudallas adalah Hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadis itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat cara demikian, disebut mudallis. Hadis yang diriwayatkan oleh mudallas, disebut hadis mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tad-lis.
• Macam-macam tad-lis
1. Tad-lis Isnad. Yaitu bila seseorang rawi yang meriwayatkan suatu hadis dari orang yang pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadis daripadanya.
Contoh: Tad-lis Isnad, ialah hadis Ibnu Umar r.a:
قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم:إذانعس أحد كم فى مجلسه يوم الجمعة فليتحول الى غيره(رواه ابوداود)
Rasulullah saw. Bersabda: “Bila salah seorang kamu mengantuk di atas tempat duduknya pada hari jum’at, hendaklah ia bergeser ke tempat lain”
Dalam sanad hadis Ibnu ‘Umar tersebut, terdapat seorang rawi bernama Muhammad bin Is-haq yaitu seorang mudallis dan ia telah membuat ‘an ‘anah (meriwayatkan dengan ‘an).
2. Tad-lis Syuyukh. Yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadis yang didengarnya dari seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyahnya, nama keturunannya, atau menyifati gurunya dengan sifat-sifat yang tidak/belum dikenal oleh orang banyak. Misalnya seperti kata Abu Bakar bin Mujahid Al-Muqry:
حدثناعبدالله ابن ابى عبيد الله
“Telah bercerai kepadaku ‘Abdullah bin Abi ‘Ubaidiilah”
Yang dimaksudkan dengan Abdullah ini, ialah Abu Bakar bin Abi Dawud As-Sijjistany.
3. Tad-lis Taswiyah (tajwid). Yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang tsibah, yang oleh gurunya tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari dari seorang guru yang tsiqah pula. Tetapi si mudallis tersebut meriwayatkan tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan lafadz yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.
d) Hadis munqathi
Hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat, di suatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
Contoh hadis munqathi’ yang gugur rawinya (sanadnya) seorang sebelum sahabat, seperti hadis yang ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi dengan matan dan sanad sebagai berikut:
كان رسو ل الله صلى الله عليه وسلم إذا د خل المسجد قال:بسم الله والصلاةوالسلام على رسول الله اللهم اغفرلى ذ نوبي وافتح لي ابواب رحمتك.
“Konon Rasulullah saw. Apabila masuk mesjid memanjat kan doa :’Dengan nama Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah. Ya allah! Ampunilah dosa-dosaku dan bukalah pintu rahmat untukku’.”
Hadis yang ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dengan sanad-sanad: Abu Bakar Abi Syaibah, Ismail bin Ibrahim, Al-Laits, ‘Abdullah bin Hasan, Fatimah binti Husain dan Fatimah Az-Zahra’. Putri Rasulullah saw. Ini terdapat inqitha’(keguguran) seorang rawi (sanad) sebelum Fatimah Az-Zahra, sebab Fatimah binti Husein tidak pernah bertemu dengan Fatimah Az-Zahra’ yang wafat sebulan setelah Rasulullah saw. Mangkat.
Macam-macam penguguran (inqitha’)
Inqitha’ itu adakalanya:
1. Dengan jelas sekali, bahwa si rawi yang meriwayatkan hadis dapat diketahui tidak sezaman denag guru yang memberikan hadis padanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya tetapi ia tidak mendapat ijazah (perizinan) untuk meriwayatkan hadisnya.
2. Dengan samar-samar, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian saja.
3. Diketahuinya dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam hadis riwayat orang lain.
e) Hadis Mu’dlal
Hadis mu’dlal adalah hadis yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, bai sahabat bersama tabi’iy, tabi’iy bersama tabi’it-tabi’in, maupun dua orang sebelum sahaby dan tabi’iy.
Contoh hadis mu’dlal yang gugur rawinya dua orang sebelum shahaby, seperti hadis Imam Malik yang termuat dalam kitab Muwatha’.
للمملوك طعامه وكسوته
“Bagi si budak mempunyai hak makan dan pakaian.”
Imam Malik didalam kitab tersebut meriwayatkan langsung dari Abu Hurairah r.a. (periksa pada nomor I), padahal ia seorang tabi’it-tabi’in, sudah barang tentu ia tidak mungkin dapat bertemu dan mendengar sendiri hadis itu dari Abu Hurairah r.a. dengan demikian pasti ada seorang atau dua orang rawi yang digugurkan. Rawi-rawi yang digugurkan itu dapat kita ketahui mengadakan penelitian dalam kitab lain. Dari hasil penyelidikan menunujukan bahwa Imam Muslim meriwayatkan hadis tersebut melalui sanad-sanad: Ibnu Wahbin, ‘Amru bin Al-Haris, Bukair bin Al-Asyajj, Muhammad bin ‘Ajlan, dan ayahnya (dua orang).
Hadis Dha’if yang disebabkan cacat pada keadilan dan kedabithan perawinya
a) Hadis Maudlu’
Hadis Maudlu’ adalah hadis yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah saw. Secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja, maupun tidak.
Yang dikatakan dengan rawi yang berdusta kepada Rasulullah saw. Ialah mereka yang pernah berdusta dalam membuat hadis, walaupun hanya sekali seumur hidup. Hadis yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima, biar mereka telah tobat sekalipun. Berlainan halnya dengan periwayatan orang yang pernah bersaksi palsu, jika ia telah bertobat dengan sungguh-sungguh, maka dapat diterima.
Contoh hadis maudlu’ yang maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an, ialah hadis:
ولدالزنالايدخل الجنةالى سبعةأبناء
“Anak zina itu, tidak dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan.”
Makna hadis ini bertentangan dengan kandungan surat Al-An’am 164:
ولاتزروازرةوزرأخرى
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
b) Hadis Matruk
Hadis Matruk adalah hadis yang diriwayatkan melalui hanya satu jalur yang didalamnya terdapat seorang periwayatnya yang tertuduh pendusta, fasiq, atau banyak lalai.
Yang dimaksud rawi yang tertuduh dusta ialah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan , bahwa ia pernah berdusta dalam membuat hadis. Seorang rawi tertuduh dusta, bila ia bertobat dengan sungguh-sungguh, dpat diterima periwayatan hadisnya.
Hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang tertuduh dusta, disebut hadis matruk dan rawi yang meriwayatkannya disebut matruku’l-hadis (oarang yang ditinggalkan hadisnya).
Contoh hadis matruk, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adyy, ujarnya:
حدثنايعقوب بن سفيان بن عاصم حدثنامحمدابن عمران حدثناعيسى بن زياد حدثناعبدالرحيم بن زيدعن أبيه عن سعيدبن المسيب عن عمربن الخطاب قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لولاالنساءلعبدالله حقا!)
“Telah bercerita kepadaku Ya’cub bin Sufyan bin ‘Ashim, katanya: Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Imran, ujarnya: Telah bercerita kepadaku ‘Isa bin Ziyad, katanya: Telah bercerita kepadaku ‘Abdu’r-Rahim bin Zaid dari ayahnya, dari Said Ibnu ‘I-Musyyab, dari ‘Umar ‘I-khathab r.a. katanya: Rasulullah saw. Bersabda: Andai kata (di dunia ini)tak ada wanita, tentu Allah itu disembah dengan sungguh-sungguh.”
Ibnu ‘Adyy menjelaskan bahwa 2 orang rawi, yakni: ‘Abdu’r-Rahim dan ayah nya (Zaid), adalah orang yang matruku’l-hadis. Karenanya hadis yang diriwayatkan melalui sanad mereka disebut Hadis Matruk.
c) Hadis Munkar dan Ma’ruf
Hadis munkar adalah hadis menyendiri dalam periwayatanya, yang diriwayatkan oleh orang banyak kesalahannya , banyak kelengahannya atau jelas kefasikannya yang bukan karena dusta.
Lengah dan banyak salah adalah dua istilah yang sangat berdekat-dekatan artinya. Lengah biasanya terjadi dalam penerimaan Al-Hadis, sedang banyak salah terjadi dalam menyampaikan Al-Hadis. Adapun yang dikehendaki dengan fisik, ialah kecurangan dalam amal, bukan kecurangan dalam itikad, sebab soal curang dalam dalam itikad dinamakan bid’ah dan ini masuk dalam pembicaraan hadis dha’if, yang karena rawinya orang pembuat bid’ah.
Imbangan hadis munkar itu, adalah hadis ma’ruf. Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lemah, disebut hadis munkar. Misalnya hadis:
من اقام الصلاةواتى الزكاةوحج البيت وصام وقرى الضيف دخل الجنة.
“Siapa yang mengerjakan sembahyang, membeyar zakat, menuanaikan haji, berpuasa dan menghormati tamu, masuk surga”.
Menurut Abu Hatim, hadis Ibnu Abi Hatim yang bersanad Hubayyid bin Habib, abu Ishaq. Al-‘Izar bin Haris, Ibnu ‘Abbas r.a. dari Nabi Muhammad saw. (nomor: I) adalah mungkar. Sebab Hubayyib bin Habib, salah seorang sanadnya adalah rawi yang waham (kata Abu Zur’ah) lagi matruk (kata Ibnu-Mubarak), tambahan pula ia meriwayatkan hadis tersebut secara marfu’: padahal rawi-rawi yang tsiqah meriwayatkannya secara mauquf (nomor II). Hadis nomor II inilah yang ma’ruf.
d) Hadis Mu’allal
Hadis Mu’allal adalah hadis yang kelihatannya tidak mengandung cacat (sanad atau matan atau keduanya), setelah diadakan penelitian mendalam, ternyata ada cacatnya.
Meneliti ‘illat hadis dimaksud sangat rumit, karena, hadis itu kelihatannya sudah shahih. Untuk penelitian ini diperlukan intuisi, kecerdasan, kekuatan hafalan, dan banyak nya hadis yang dihafal.
‘illat itu kadang-kadang terdapat pada sanad dan kadang-kadang terdapat pada matan, dan ada pula yang hanya mencacatkan sanad dan matan, dan ada pula yang hanya mencacatkan sanad saja, sedang matanya shahih, contohnya hadis Ya’la bin ‘Ubaid:
عن سفيان الثورى عن عمر بن دينارعن ابن عمرعن النبي صلى الله عليه وسلم قال:البيعان بالخيارمالم يتفرقا.
“Dari Sufyan Ats-Tsaury dari Amr bin Dinar dari Ibnu Umar, dari Nabi saw. Ujarnya: Si penjual dan si pembeli boleh memilih, selama belum berpisahan”.
‘Illat hadis ini terletak pada Amr bin Dinar, sebab mestinya bukan dia yang meriwayatkan, melainkan Abdullah bin dinar. Hal itu dapat diketahui berdasarkan riwayat-riwayat lain, yang juga melalui sanad tersebut. Walaupun hadis tersebut ber’illat pada sanadnya, tapi oleh kedua rawi tersebut sama-sama tsiqah, tetap shahih matanya .
e) Hadis mudraj (saduran)
Hadis yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadis atas perkiraan, bahwa saduran itu termasuk hadis. Perkataan yang disadurkan oleh rawi itu mungkin perkataannya sendiri atau perkataan orang lain, baik shahaby maupun tabi’iy, dimaksudkan untuk menerangkan makna kalimat-kalimat yang sukar atau mentakyidkan makna yang mutlak.
Contoh hadis mudraj seperti hadis Ibnu Mas’ud yang mewartakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
من مات لاتشرك بالله شيأ دخل الجنة.ومن مات يشرك به شيأ دخل ا لنار.
“Siapa yang mati tidak menyerikatkan Allah dengan sesuatu masuk surga, dan siapa yang mati dengan menyerikatkan Allah dengan sesuatu masuk neraka.”
Ternyata setelah diselidiki dengan jalan membandingkannya dengan riwayat lain, kalimat yang terahir adalah kalimat Ibnu Mas’ud sendiri.
f) Hadis maqlub
Hadis maqlub adalah hadis yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadis lain) disebabkan mendahulukan dan mengahirkan. Tukar menukar yang dikarenakan mendahulukan sesuatu pada suatu tempat dan mengakhirkan pada tempat yang lain, adakalanya terjadi pada matan hadis atau sanad hadis. Contoh yang terjadi pada matan ialah hadis Muslim dari Abu Hurairah:
ورجل تصد ق بصد قة أخفاهاحتى لاتعلم يمينه ماتنفق شماله
“Dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang di sembunyikan, hingga tangan kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya”.
g) Hadis Mudltharrib
Hadis mudltharrib adalah hadis yang mukhalafahnya terjadi dengan pergantian pada satu segi, yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan. Dengan demikian ini, berarti hadis mudltharrib adalah sebuah hadis yang di riwayatkan oleh seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dapat dikumpulkan atu ditarjihkan.
Contoh hadis mudltharrib pada matan, seperti hadis:
عن أنس رضي الله عنه قال:إن النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكروعمر فكانوايفتتحون القراءة بالحمدلله رب العالمين
“Daru Anas r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw., Abu Bakar r.a. konon sama memulai bacaan sholat dengan bacaan Al-Hamdulillahirabbil ‘alamin..”
h) Hadis Muharraf
Hadis Muharraf adalah hadis yang mukhalafahnya disebabkan karena perubahan syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya. Yang dimaksud dengan syakal ialah tanda hidup (harakat) dan tanda mati (sakanat). Misalnya kalimat Basyir dibaca dengan Busyair dan Nasyir di baca dengan Nusyair, dengan mengubah harakat dan sakanatnya sedang bentuk tulisannya tetap tidak berubah.
Tahrif ini ada yang terjadi pada matan dan ada kalanya terjadi pada sanad.
Contoh tahrif pada matan misalnya hadis Jabir r.a:
رمي أبي يوم الأحزاب على اكحله فكواه رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ubay bin Ka’ab telah dihujani panah pada perang Ahzab mengenai lengannya, lantas Rasulullah mengobatinya dengan besi hangat.”
Ghandar mentahrifkan hadis tersebut dengan Ubay padahal sesungguhnya Ubay, yakni Ubay bin Ka’ab. Kalau pentahrifan Ghandar diterima berarti orang yang dihujani panah itu adalah ayah Jabir. Padahal ayah jabir telah meninggal pada perang uhud yang terjadi sebelum perang ahzab.
Hadis Dha’if berdasarkan sifat matannya
a. Hadis Mauquf
Kata mauquf dari kata waqafa, yaqifu, yang secara bahasa artinya yang dihentikan atau yang diwakafkan. Maka hadis mauquf dalam pengertian ini, berati hadis yang dihentikan secara terminologis, definisi hadis mauquf, ialah: Hadis yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan, perbuatan, atau taqarirnya.
Contoh hadis mauquf, ialah hadis:
يقول:إذاأمسيت فلا تنتظرالصباح وإذاأصبحت فلا تنتظرالمساءوخدمن صحتك لمر ضكَ ومن حياتك لموتك.
“Konon Ibnu ‘Umar r.a berkata: Bila kau berada di waktu sore, jangan menunggu datangnya pagi hari, dan bila kau berada di waktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari. Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu ”
Hadis bukhari yang bersanad ‘Ali bin ‘Abdillah, Muhammd bin ‘Abdu’r-Rahman Abdu’l-Mundzir At-Thufawy, sulaiman Al-A’masy, Mujahid dan Ibnu ‘Umar r.a. ini adalah hadis mauquf. Sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu ‘Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu sabda Rasulullah saw. Yang ia ucapkan setelah ia menceritakan bahwa Rasulullah saw. Memegang bahunya dengan bersabda:
كن فى الدنياكأنك غريب اوعابرسَبيْلٍ
“Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang lewat di jalanan.”
b. Hadis Maqthu’
Kata maqthu’ dari kata qtha’a, yaqtha’u, yang menurut bahasa berarti yang dipotong. Maka kata hadis Maqthu’ menurut bahasa pengertian ini, berarti hadis yang dipotong, yakni dipotong sandarannya hanya pada tabi’in. Secara terminologis, hadis maqthu’ didefinisikan sebagai berikut: Hadis yang diriwayatkan dari tabi’in, berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya.
Contoh hadis maqthu’, ialah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’iy besar, ujarnya:
ألمؤمن إذاعرف ربه عز وجل أحبه وإذاأحبه أقبل إليه
“Orang mukmin itu bila telah mengenal Tuhannya ‘Azza wa Jalla, niscaya ia mencintainya, dan bila ia mencintainya, Allah menerimanya.”
Hadis dikatakan maqthu’ itu, dalam lapangan pembahasan matan, yakni matannya tidak dinisbatkan kepada Rasulullah saw. Atau sahabat r.a.
2.3 Berhujjah dengan hadis dha’if
Para ulama sepakat melarang meriwaayatkan hadis dha’if yang maudlu’ tanpa menyebutkan kemaudlu’annya. Adapun kalau hadis dha’if itu bukan hadis maudlu’, maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama : Melarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadis dha’if, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnu’I-‘Araby.
Kedua : Membolehkan, kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla’ilul a’mal) dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah (keinginan-keinginan). Para alim ulama seperti Ahmad Bin Hambal, ‘Abdu’r-Rahman bin Mahdy, ‘Abdullah bin Al-Mubarak, berkata:
إذاروينا فى الحلال والحرام والأحكام شددنا فى الأسانيدوانتقدنا فى الرجال وإذاروينا فى الفضائل والثواب والعقاب تساهلنا فى الأسانيد وتسامحنافى الرجا ل.
“Apabila kami meriwayatkan hadis tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami mempermudah sanadnya dan kami perlunak rawi-rawwinya. ”
Dalam pada itu, Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, termasuk ulama ahli hadis yang membolehkan berhujjah dengan hadis dha’if untuk fadl’ilul-a’mal, memberikan tiga syarat:
1. Hadis dha’if itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu hadis dha’if yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah, kendatipun untuk fadl’ilul-a’mal.
2. Dasar a’mal yang ditunjuk oleh hadis dha’if tersebut, masih dibawa suatu dasar yang dibenarkan oleh hadis yang dapat diamalkan (shahih dan hasan). Misalnya hadis dha’if Ibnu Abdi’l-Barr dari Ibnu ‘Umar r.a., yang menjelaskan bahwa rasulullah bersabda :
من حفظ علا أمتى أربعين حديثامن السنة حتى يؤديهاإليهم كنت له شفيعاوشهيدا يوم القيامة.
“Siapa yang menhafal 40 buah hadis, sampa mau menyampaikan kepada umat, aku bersedia menjadi pemberi sayafa’at dan saksi padanya, dihari kiamat kelak”.
Hadis dha’if ini mempunyai mutabi’ hadis sahahih, ialah:
قال النبي صلى الله عليه وسلم:ليبلغ الشاهدمنكم الغائب(متفق عليه)
“Rasulullah saw. Bersabda : Hendaknya di antara kamu yang menyaksikan, menyampaikan kepada orang yang tidak menyaksikan.”
3. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi. Tetapi tujuan mengamalkannya hanya untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
DAFATAR PUSTAKA
Rahman Fatckhur, 1974, Ikhtisar Musthalahul Hadis, Bandung: PT. Al-Ma’arif
Ranu Wijaya Utang, 1996, Ilmu hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama
Zuhri Moh, 1997, Hadis Nabi, Yogya: PT. Tiara Wacana
Hadis yang ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dengan sanad-sanad: Abu Bakar Abi Syaibah, Ismail bin Ibrahim, Al-Laits, ‘Abdullah bin Hasan, Fatimah binti Husain dan Fatimah Az-Zahra’. Putri Rasulullah saw. Ini terdapat inqitha’(keguguran) seorang rawi (sanad) sebelum Fatimah Az-Zahra, sebab Fatimah binti Husein tidak pernah bertemu dengan Fatimah Az-Zahra’ yang wafat sebulan setelah Rasulullah saw. Mangkat.
Macam-macam penguguran (inqitha’)
Inqitha’ itu adakalanya:
1. Dengan jelas sekali, bahwa si rawi yang meriwayatkan hadis dapat diketahui tidak sezaman denag guru yang memberikan hadis padanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya tetapi ia tidak mendapat ijazah (perizinan) untuk meriwayatkan hadisnya.
2. Dengan samar-samar, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian saja.
3. Diketahuinya dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam hadis riwayat orang lain.
e) Hadis Mu’dlal
Hadis mu’dlal adalah hadis yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, bai sahabat bersama tabi’iy, tabi’iy bersama tabi’it-tabi’in, maupun dua orang sebelum sahaby dan tabi’iy.
Contoh hadis mu’dlal yang gugur rawinya dua orang sebelum shahaby, seperti hadis Imam Malik yang termuat dalam kitab Muwatha’.
للمملوك طعامه وكسوته
“Bagi si budak mempunyai hak makan dan pakaian.”
Imam Malik didalam kitab tersebut meriwayatkan langsung dari Abu Hurairah r.a. (periksa pada nomor I), padahal ia seorang tabi’it-tabi’in, sudah barang tentu ia tidak mungkin dapat bertemu dan mendengar sendiri hadis itu dari Abu Hurairah r.a. dengan demikian pasti ada seorang atau dua orang rawi yang digugurkan. Rawi-rawi yang digugurkan itu dapat kita ketahui mengadakan penelitian dalam kitab lain. Dari hasil penyelidikan menunujukan bahwa Imam Muslim meriwayatkan hadis tersebut melalui sanad-sanad: Ibnu Wahbin, ‘Amru bin Al-Haris, Bukair bin Al-Asyajj, Muhammad bin ‘Ajlan, dan ayahnya (dua orang).
Hadis Dha’if yang disebabkan cacat pada keadilan dan kedabithan perawinya
a) Hadis Maudlu’
Hadis Maudlu’ adalah hadis yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah saw. Secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja, maupun tidak.
Yang dikatakan dengan rawi yang berdusta kepada Rasulullah saw. Ialah mereka yang pernah berdusta dalam membuat hadis, walaupun hanya sekali seumur hidup. Hadis yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima, biar mereka telah tobat sekalipun. Berlainan halnya dengan periwayatan orang yang pernah bersaksi palsu, jika ia telah bertobat dengan sungguh-sungguh, maka dapat diterima.
Contoh hadis maudlu’ yang maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an, ialah hadis:
ولدالزنالايدخل الجنةالى سبعةأبناء
“Anak zina itu, tidak dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan.”
Makna hadis ini bertentangan dengan kandungan surat Al-An’am 164:
ولاتزروازرةوزرأخرى
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
b) Hadis Matruk
Hadis Matruk adalah hadis yang diriwayatkan melalui hanya satu jalur yang didalamnya terdapat seorang periwayatnya yang tertuduh pendusta, fasiq, atau banyak lalai.
Yang dimaksud rawi yang tertuduh dusta ialah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan , bahwa ia pernah berdusta dalam membuat hadis. Seorang rawi tertuduh dusta, bila ia bertobat dengan sungguh-sungguh, dpat diterima periwayatan hadisnya.
Hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang tertuduh dusta, disebut hadis matruk dan rawi yang meriwayatkannya disebut matruku’l-hadis (oarang yang ditinggalkan hadisnya).
Contoh hadis matruk, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adyy, ujarnya:
حدثنايعقوب بن سفيان بن عاصم حدثنامحمدابن عمران حدثناعيسى بن زياد حدثناعبدالرحيم بن زيدعن أبيه عن سعيدبن المسيب عن عمربن الخطاب قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لولاالنساءلعبدالله حقا!)
“Telah bercerita kepadaku Ya’cub bin Sufyan bin ‘Ashim, katanya: Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Imran, ujarnya: Telah bercerita kepadaku ‘Isa bin Ziyad, katanya: Telah bercerita kepadaku ‘Abdu’r-Rahim bin Zaid dari ayahnya, dari Said Ibnu ‘I-Musyyab, dari ‘Umar ‘I-khathab r.a. katanya: Rasulullah saw. Bersabda: Andai kata (di dunia ini)tak ada wanita, tentu Allah itu disembah dengan sungguh-sungguh.”
Ibnu ‘Adyy menjelaskan bahwa 2 orang rawi, yakni: ‘Abdu’r-Rahim dan ayah nya (Zaid), adalah orang yang matruku’l-hadis. Karenanya hadis yang diriwayatkan melalui sanad mereka disebut Hadis Matruk.
c) Hadis Munkar dan Ma’ruf
Hadis munkar adalah hadis menyendiri dalam periwayatanya, yang diriwayatkan oleh orang banyak kesalahannya , banyak kelengahannya atau jelas kefasikannya yang bukan karena dusta.
Lengah dan banyak salah adalah dua istilah yang sangat berdekat-dekatan artinya. Lengah biasanya terjadi dalam penerimaan Al-Hadis, sedang banyak salah terjadi dalam menyampaikan Al-Hadis. Adapun yang dikehendaki dengan fisik, ialah kecurangan dalam amal, bukan kecurangan dalam itikad, sebab soal curang dalam dalam itikad dinamakan bid’ah dan ini masuk dalam pembicaraan hadis dha’if, yang karena rawinya orang pembuat bid’ah.
Imbangan hadis munkar itu, adalah hadis ma’ruf. Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lemah, disebut hadis munkar. Misalnya hadis:
من اقام الصلاةواتى الزكاةوحج البيت وصام وقرى الضيف دخل الجنة.
“Siapa yang mengerjakan sembahyang, membeyar zakat, menuanaikan haji, berpuasa dan menghormati tamu, masuk surga”.
Menurut Abu Hatim, hadis Ibnu Abi Hatim yang bersanad Hubayyid bin Habib, abu Ishaq. Al-‘Izar bin Haris, Ibnu ‘Abbas r.a. dari Nabi Muhammad saw. (nomor: I) adalah mungkar. Sebab Hubayyib bin Habib, salah seorang sanadnya adalah rawi yang waham (kata Abu Zur’ah) lagi matruk (kata Ibnu-Mubarak), tambahan pula ia meriwayatkan hadis tersebut secara marfu’: padahal rawi-rawi yang tsiqah meriwayatkannya secara mauquf (nomor II). Hadis nomor II inilah yang ma’ruf.
d) Hadis Mu’allal
Hadis Mu’allal adalah hadis yang kelihatannya tidak mengandung cacat (sanad atau matan atau keduanya), setelah diadakan penelitian mendalam, ternyata ada cacatnya.
Meneliti ‘illat hadis dimaksud sangat rumit, karena, hadis itu kelihatannya sudah shahih. Untuk penelitian ini diperlukan intuisi, kecerdasan, kekuatan hafalan, dan banyak nya hadis yang dihafal.
‘illat itu kadang-kadang terdapat pada sanad dan kadang-kadang terdapat pada matan, dan ada pula yang hanya mencacatkan sanad dan matan, dan ada pula yang hanya mencacatkan sanad saja, sedang matanya shahih, contohnya hadis Ya’la bin ‘Ubaid:
عن سفيان الثورى عن عمر بن دينارعن ابن عمرعن النبي صلى الله عليه وسلم قال:البيعان بالخيارمالم يتفرقا.
“Dari Sufyan Ats-Tsaury dari Amr bin Dinar dari Ibnu Umar, dari Nabi saw. Ujarnya: Si penjual dan si pembeli boleh memilih, selama belum berpisahan”.
‘Illat hadis ini terletak pada Amr bin Dinar, sebab mestinya bukan dia yang meriwayatkan, melainkan Abdullah bin dinar. Hal itu dapat diketahui berdasarkan riwayat-riwayat lain, yang juga melalui sanad tersebut. Walaupun hadis tersebut ber’illat pada sanadnya, tapi oleh kedua rawi tersebut sama-sama tsiqah, tetap shahih matanya .
e) Hadis mudraj (saduran)
Hadis yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadis atas perkiraan, bahwa saduran itu termasuk hadis. Perkataan yang disadurkan oleh rawi itu mungkin perkataannya sendiri atau perkataan orang lain, baik shahaby maupun tabi’iy, dimaksudkan untuk menerangkan makna kalimat-kalimat yang sukar atau mentakyidkan makna yang mutlak.
Contoh hadis mudraj seperti hadis Ibnu Mas’ud yang mewartakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
من مات لاتشرك بالله شيأ دخل الجنة.ومن مات يشرك به شيأ دخل ا لنار.
“Siapa yang mati tidak menyerikatkan Allah dengan sesuatu masuk surga, dan siapa yang mati dengan menyerikatkan Allah dengan sesuatu masuk neraka.”
Ternyata setelah diselidiki dengan jalan membandingkannya dengan riwayat lain, kalimat yang terahir adalah kalimat Ibnu Mas’ud sendiri.
f) Hadis maqlub
Hadis maqlub adalah hadis yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadis lain) disebabkan mendahulukan dan mengahirkan. Tukar menukar yang dikarenakan mendahulukan sesuatu pada suatu tempat dan mengakhirkan pada tempat yang lain, adakalanya terjadi pada matan hadis atau sanad hadis. Contoh yang terjadi pada matan ialah hadis Muslim dari Abu Hurairah:
ورجل تصد ق بصد قة أخفاهاحتى لاتعلم يمينه ماتنفق شماله
“Dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang di sembunyikan, hingga tangan kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya”.
g) Hadis Mudltharrib
Hadis mudltharrib adalah hadis yang mukhalafahnya terjadi dengan pergantian pada satu segi, yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan. Dengan demikian ini, berarti hadis mudltharrib adalah sebuah hadis yang di riwayatkan oleh seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dapat dikumpulkan atu ditarjihkan.
Contoh hadis mudltharrib pada matan, seperti hadis:
عن أنس رضي الله عنه قال:إن النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكروعمر فكانوايفتتحون القراءة بالحمدلله رب العالمين
“Daru Anas r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw., Abu Bakar r.a. konon sama memulai bacaan sholat dengan bacaan Al-Hamdulillahirabbil ‘alamin..”
h) Hadis Muharraf
Hadis Muharraf adalah hadis yang mukhalafahnya disebabkan karena perubahan syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya. Yang dimaksud dengan syakal ialah tanda hidup (harakat) dan tanda mati (sakanat). Misalnya kalimat Basyir dibaca dengan Busyair dan Nasyir di baca dengan Nusyair, dengan mengubah harakat dan sakanatnya sedang bentuk tulisannya tetap tidak berubah.
Tahrif ini ada yang terjadi pada matan dan ada kalanya terjadi pada sanad.
Contoh tahrif pada matan misalnya hadis Jabir r.a:
رمي أبي يوم الأحزاب على اكحله فكواه رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ubay bin Ka’ab telah dihujani panah pada perang Ahzab mengenai lengannya, lantas Rasulullah mengobatinya dengan besi hangat.”
Ghandar mentahrifkan hadis tersebut dengan Ubay padahal sesungguhnya Ubay, yakni Ubay bin Ka’ab. Kalau pentahrifan Ghandar diterima berarti orang yang dihujani panah itu adalah ayah Jabir. Padahal ayah jabir telah meninggal pada perang uhud yang terjadi sebelum perang ahzab.
Hadis Dha’if berdasarkan sifat matannya
a. Hadis Mauquf
Kata mauquf dari kata waqafa, yaqifu, yang secara bahasa artinya yang dihentikan atau yang diwakafkan. Maka hadis mauquf dalam pengertian ini, berati hadis yang dihentikan secara terminologis, definisi hadis mauquf, ialah: Hadis yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan, perbuatan, atau taqarirnya.
Contoh hadis mauquf, ialah hadis:
يقول:إذاأمسيت فلا تنتظرالصباح وإذاأصبحت فلا تنتظرالمساءوخدمن صحتك لمر ضكَ ومن حياتك لموتك.
“Konon Ibnu ‘Umar r.a berkata: Bila kau berada di waktu sore, jangan menunggu datangnya pagi hari, dan bila kau berada di waktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari. Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu ”
Hadis bukhari yang bersanad ‘Ali bin ‘Abdillah, Muhammd bin ‘Abdu’r-Rahman Abdu’l-Mundzir At-Thufawy, sulaiman Al-A’masy, Mujahid dan Ibnu ‘Umar r.a. ini adalah hadis mauquf. Sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu ‘Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu sabda Rasulullah saw. Yang ia ucapkan setelah ia menceritakan bahwa Rasulullah saw. Memegang bahunya dengan bersabda:
كن فى الدنياكأنك غريب اوعابرسَبيْلٍ
“Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang lewat di jalanan.”
b. Hadis Maqthu’
Kata maqthu’ dari kata qtha’a, yaqtha’u, yang menurut bahasa berarti yang dipotong. Maka kata hadis Maqthu’ menurut bahasa pengertian ini, berarti hadis yang dipotong, yakni dipotong sandarannya hanya pada tabi’in. Secara terminologis, hadis maqthu’ didefinisikan sebagai berikut: Hadis yang diriwayatkan dari tabi’in, berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya.
Contoh hadis maqthu’, ialah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’iy besar, ujarnya:
ألمؤمن إذاعرف ربه عز وجل أحبه وإذاأحبه أقبل إليه
“Orang mukmin itu bila telah mengenal Tuhannya ‘Azza wa Jalla, niscaya ia mencintainya, dan bila ia mencintainya, Allah menerimanya.”
Hadis dikatakan maqthu’ itu, dalam lapangan pembahasan matan, yakni matannya tidak dinisbatkan kepada Rasulullah saw. Atau sahabat r.a.
2.3 Berhujjah dengan hadis dha’if
Para ulama sepakat melarang meriwaayatkan hadis dha’if yang maudlu’ tanpa menyebutkan kemaudlu’annya. Adapun kalau hadis dha’if itu bukan hadis maudlu’, maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama : Melarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadis dha’if, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnu’I-‘Araby.
Kedua : Membolehkan, kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla’ilul a’mal) dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah (keinginan-keinginan). Para alim ulama seperti Ahmad Bin Hambal, ‘Abdu’r-Rahman bin Mahdy, ‘Abdullah bin Al-Mubarak, berkata:
إذاروينا فى الحلال والحرام والأحكام شددنا فى الأسانيدوانتقدنا فى الرجال وإذاروينا فى الفضائل والثواب والعقاب تساهلنا فى الأسانيد وتسامحنافى الرجا ل.
“Apabila kami meriwayatkan hadis tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami mempermudah sanadnya dan kami perlunak rawi-rawwinya. ”
Dalam pada itu, Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, termasuk ulama ahli hadis yang membolehkan berhujjah dengan hadis dha’if untuk fadl’ilul-a’mal, memberikan tiga syarat:
1. Hadis dha’if itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu hadis dha’if yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah, kendatipun untuk fadl’ilul-a’mal.
2. Dasar a’mal yang ditunjuk oleh hadis dha’if tersebut, masih dibawa suatu dasar yang dibenarkan oleh hadis yang dapat diamalkan (shahih dan hasan). Misalnya hadis dha’if Ibnu Abdi’l-Barr dari Ibnu ‘Umar r.a., yang menjelaskan bahwa rasulullah bersabda :
من حفظ علا أمتى أربعين حديثامن السنة حتى يؤديهاإليهم كنت له شفيعاوشهيدا يوم القيامة.
“Siapa yang menhafal 40 buah hadis, sampa mau menyampaikan kepada umat, aku bersedia menjadi pemberi sayafa’at dan saksi padanya, dihari kiamat kelak”.
Hadis dha’if ini mempunyai mutabi’ hadis sahahih, ialah:
قال النبي صلى الله عليه وسلم:ليبلغ الشاهدمنكم الغائب(متفق عليه)
“Rasulullah saw. Bersabda : Hendaknya di antara kamu yang menyaksikan, menyampaikan kepada orang yang tidak menyaksikan.”
3. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi. Tetapi tujuan mengamalkannya hanya untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
DAFATAR PUSTAKA
Rahman Fatckhur, 1974, Ikhtisar Musthalahul Hadis, Bandung: PT. Al-Ma’arif
Ranu Wijaya Utang, 1996, Ilmu hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama
Zuhri Moh, 1997, Hadis Nabi, Yogya: PT. Tiara Wacana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar