1.Periode Undang-Undang No. 14 Tahun 1967
Pengaturan tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Belanda. Untuk menertibkan praktik lembaga pelepas uang yang banyak terjadi pada waktu itu, dikeluarkanlah peraturan, baik dalam bentuk undang-undang maupun berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak pemerintah. Diantara lembaga keuangan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank N.V, tanggal 10 Oktober 1827 yang kemudian dikeluarkan undang-undang De Javashe Bank Wet 1992.[1] Bank inilah yang kenudian menjadi Bank Indoneisa, setelah melalui proses nasionalisasi pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya undang-undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.
Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan. Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku pada masa itu.[2] Yang akan berhubungan dengan kedudukan perbankan syariah pada masa berlakunya undang-undang ini adalah adanya pengaturan mengenai pengertian “kredit” yang terdapat di dalamnya. Bab I, pasal 13 huruf c menyebutkan : kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan denganitu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan lain pihak dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang ditetapkan.
Dari bunyi pasal diatas tampak pengertian, bahwa dalam usaha bank yang ada pada masa ini (perbankan konvensional) yang dalam operasinya menggunakan sistem kredit, tidak mungkin melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini dikarenakan, konsep bunga ini melekat pada dalam pengertian kredit itu sendiri. Sehingga, tidak dimungkinkan pula untuk didirikan sistem perbankan syariah, sebab pemahaman kegatan usaha bank pada masa itu haruslah dengan perangkat bunga. Bahkan, perbankan pada masa itu ditentukan tingkat bunganya oleh pemerintah secara seragam agar tidak terjadi penentuan bunga yang sewenang-wenang oleh masing-masing bank dan menjaga stabilitas keuangan negara.[3]
2.Periode Deregulasi 1 Juni 1983
Pada awal tahun 1980-an, sistem pengendalian tingkat bunga oleh pemerintah ini kemudian mengalami kesulitan. Bank-bank yang telah didirikan sangat tergantung kepada tersediannya likuiditas Bank Indonesia. Demikian juga karena pemerintah menentukan tingkat bunga maka tak ada persaingan antar bank. Hal ini kemudian tabungan menjadi tidak menarik dan alokasi dana tidak efisien. Oleh karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan deregulasi dibidang perbankan tanggal 1 Juni Tahun 1983 yanh membuka belenggu penetapan tingakat bunga tersebut sebenarnya dengan dibukanya belenggu tingkat bunga ini maka timbullah kemungkinan bagi suatu bank untuk menentukan tingkat bunga sebesar 0%, yang berarti merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni berdasarkan prinsip bagi hasil.[4]
Untuk lebih lengkapnya klik disini
----------------------------
[1]. Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 36
[2]. Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 149-154
[3]. Wirdiyaningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal.48
[4]. Ibid, hal. 49
Pengaturan tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Belanda. Untuk menertibkan praktik lembaga pelepas uang yang banyak terjadi pada waktu itu, dikeluarkanlah peraturan, baik dalam bentuk undang-undang maupun berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak pemerintah. Diantara lembaga keuangan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank N.V, tanggal 10 Oktober 1827 yang kemudian dikeluarkan undang-undang De Javashe Bank Wet 1992.[1] Bank inilah yang kenudian menjadi Bank Indoneisa, setelah melalui proses nasionalisasi pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya undang-undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.
Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan. Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku pada masa itu.[2] Yang akan berhubungan dengan kedudukan perbankan syariah pada masa berlakunya undang-undang ini adalah adanya pengaturan mengenai pengertian “kredit” yang terdapat di dalamnya. Bab I, pasal 13 huruf c menyebutkan : kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan denganitu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan lain pihak dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang ditetapkan.
Dari bunyi pasal diatas tampak pengertian, bahwa dalam usaha bank yang ada pada masa ini (perbankan konvensional) yang dalam operasinya menggunakan sistem kredit, tidak mungkin melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini dikarenakan, konsep bunga ini melekat pada dalam pengertian kredit itu sendiri. Sehingga, tidak dimungkinkan pula untuk didirikan sistem perbankan syariah, sebab pemahaman kegatan usaha bank pada masa itu haruslah dengan perangkat bunga. Bahkan, perbankan pada masa itu ditentukan tingkat bunganya oleh pemerintah secara seragam agar tidak terjadi penentuan bunga yang sewenang-wenang oleh masing-masing bank dan menjaga stabilitas keuangan negara.[3]
2.Periode Deregulasi 1 Juni 1983
Pada awal tahun 1980-an, sistem pengendalian tingkat bunga oleh pemerintah ini kemudian mengalami kesulitan. Bank-bank yang telah didirikan sangat tergantung kepada tersediannya likuiditas Bank Indonesia. Demikian juga karena pemerintah menentukan tingkat bunga maka tak ada persaingan antar bank. Hal ini kemudian tabungan menjadi tidak menarik dan alokasi dana tidak efisien. Oleh karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan deregulasi dibidang perbankan tanggal 1 Juni Tahun 1983 yanh membuka belenggu penetapan tingakat bunga tersebut sebenarnya dengan dibukanya belenggu tingkat bunga ini maka timbullah kemungkinan bagi suatu bank untuk menentukan tingkat bunga sebesar 0%, yang berarti merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni berdasarkan prinsip bagi hasil.[4]
Untuk lebih lengkapnya klik disini
----------------------------
[1]. Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 36
[2]. Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 149-154
[3]. Wirdiyaningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal.48
[4]. Ibid, hal. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar