A. Peran BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Terhadap Perekonomian Masyarakat
Hernandi de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital (2001) menggambarkan betapa besarnya sektor ekonomi informal dalam memainkan perannya dalam aktivitas ekonomi di negara berkembang. Ia juga mensinyalir keterpurukan ekonomi di negara berkembang disebabkan ketidakmampuan untuk menumbuhkan lembaga permodalan bagi masyarakatnya yang mayoritas pengusaha kecil.
Indonesia misalnya, adalah negara berkembang yang jumlah pengusaha kecilnya mencapai 39.04 juta jiwa. Namun para pengusaha kecil tersebut tidak memiliki akses yang signifikan ke lembaga perbankan, sebagai lembaga permodalan. Lembaga-lembaga perbankan belum bisa menjangkau kebutuhan para pengusaha kecil, terutama di daerah dan pedesaan. Belum adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah perdesaan (sektor pertanian dan sektor informal) secara memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural serta ‘kebutuhan’ ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT (Baitul Mal wat Tamwil) dapat ‘dihadirkan’ di daerah kabupaten kota dan bahkan di kecamatan dan perdesaan.
Konsep BMT sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah, merupakan konsep pengelolaan dana (simpan-pinjam) di tingkat komunitas yang sebenarnya searah dengan konsep otonomi daerah yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya di tingkat pemerintahan (administrasi) terendah yaitu desa. Dari data di lapangan harus diakui bahwa konsep BRI Unit Desa sudah mampu ‘menjangkau’ komunitas pedesaan, terutama untuk pelayanan penabungan (saving). Kampanye pemerintah agar rakyat menabung efektif dilaksanakan masyarakat perdesaan hampir dua dekade (1970-80’an). Namun kelemahan dari konsep pembangunan masa lalu adalah adalah terserapnya ‘tabungan masyarakat’ pedesaan ke ‘kota’ dan hanya sepertiga dana tabungan masyarakat yang dapat diakses oleh masyarakat perdesaaan itu sendiri. Selebihnya lari ke kota dan digunakan oleh orang kota. Meskipun pada tahun 1992 terjadi peningkatan, namun masih jauh dari signifikan. Menurut data 1992, akumulasi tabungan masyarakat Desa di BRI Unit Desa sebesar Rp 21,8 trilyun, sedangkan kredit yang dikucurkan untuk masyarakat desa hanya Rp 9,9 triliun. Berarti masih cukup banyak dana desa yang diserap orang kota. Padahal seharusnya terjadi sebaliknya, dana orang kota digunakan orang desa. Konsep BRI Unit Desa ini sebenarnya sudah bisa dijadikan semacam acuan untuk pengembangan daerah (desa), namun apakah BRI Unit Desa sudah dapat mengakses kelompok yang paling miskin di akar rumput? Mungkin secara teknis dan di atas kertas bisa saja. Namun jika dilihat dari karakteristik bisnis perbankan dan karakteristik peminjam, jawabannya tidak bisa. Maka dengan kekosongan pada pasar lembaga keuangan untuk tingkat paling miskin ini, institusi yang paling cocok adalah konsep Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Asumsi dan teori lama yang sudah menjadi mitos tentang lemahnya kapasitas usaha mikro dalam mengelola pinjaman, telah dipatahkan dengan keberhasilan performance Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di banyak negara berkembang (termasuk Indonesia). Di Indonesia kepiawaian lembaga keuangan mikro telah terbukti pada masa krisis moneter sejak tahun 1997-2002. yang lalu. Keuangan mikro kini dianggap sebagai terobosan institusional untuk melayani pembiayaan masyarakat pedesaan maupun perkotaan para pengusaha mikro.
Agar lembaga keuangan mikro BMT terfokus, profesional dan efektif melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang betul-betul membutuhkan, kita dapat mengacu prinsip utama yang disyaratkan oleh Microcredit Summit. Setidaknya ada empat prinsip yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan pengembangan BMT.
Adapun prinsip-prinsip utama tersebut adalah :
1. Reaching the poorest
The poorest yang dimaksud adalah masyarakat paling miskin, namun secara ekonomi mereka aktif (economically active) dan memiliki semangat entrereneurship. Secara internasional mereka dipahami merupakan separoh bagian bawah dari garis kemiskinan nasional.
2. Reaching and empowering women
Wanita merupakan korban yang paling menderita dalam kemiskinan, oleh sebab itu mereka harus menjadi fokus utama. Di samping itu, dari pengalaman lapangan di berbagai negara menunjukkan bahwa wanita merupakan peminjam, pemakai dan pengembali kredit yang baik.
3. Building financially sustainable institution
Agar secara terus menerus dapat melayani masyarakat miskin, sehingga semakin banyak yang terlayani, maka secara financial, Lembaga BMT tersebut harus terjamin berkelanjutan.
4. Measurable impact
Dampak dari kehadiran kelembagaan dapat diukur sehingga evaluasi dapat dilakukan, hal ini dimaksudkan untuk perbaikan kinerja kelembagaan.
Dalam bukunya Andri soemitra prinsip-prinsip utama BMT yaitu:
• Keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT
• Keterpaduan (Kaffah) di mana nilai-nilai spiritualberfungsi mengarahkan dan menggerakan etika dan moral yang dinamis, proktif, progresif, adil, dan berakhlak mulia
• Kekeluargaan (kooperatif)
• Kebersamaan
• Kemandirian
• Profesionalisme
• istiqomah
Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa lembaga keuangan mikro BMT memerankan posisi yang penting. Era otonomi daerah dan merupakan peluang bagi pengembangan keuangan mikro, maupun dalam arti sebaliknya, otonomi daerah dapat memanfaatkan lembaga keuangan mikro untuk mengembangkan daerahnya.
Mengutip formulasi Bambang Ismawan (1994) tentang lembaga keuangan mikro, maka setidaknya terdapat beberapa hal yang diperankan BMT dalam otonomi daerah :
a. Mendukung pemerataan pertumbuhan
Pelayanan BMT secara luas dan efektif sehingga akan terlayani berbagai kelompok usaha mikro. Perkembangan usaha mikro yang kemudian berubah menjadi usaha kecil, hal ini akan memfasilitasi pemerataan pertumbuhan.
b. Mengatasi kesenjangan kota dan desa
Akibat jangkauan BMT yang luas, bisa meliputi desa dan kota, hal ini merupakan terobosan pembangunan. Harus diakui, pembangunan selama ini acap kali kurang adil pada masyarakat desa, sebab lebih condong mengembangkan kota. Salah satu indikatornya adalah dari derasnya arus urbanisasi dan pesatnya perkembangan keuangan mikro yang berkemampuan menjangkau desa, tentu saja akan mengurangi kesenjangan desa dan kota.
c. Mengatasi kesenjangan usaha besar dan usaha kecil
Sektor yang selama ini mendapat akses dan kemudahan dalam mengembangkan diri adalah usaha besar, akibatnya timbul jurang yang lebar antara perkembangan usaha besar dan semakin tak terkejar oleh usaha kecil. Dengan dukungan pembiayaan usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kesenjangan yang terjadi.
d. Mengurangi capital outflow dari desa-kota maupun daerah-pusat
Sebagaimana disebut di atas, bahwa masyarakat desa mempunyai kemampuan menabung yang cukup tinggi, terbukti dari akumulasi tabungan yang mencapai 21,8 trilyun rupiah pada BRI Unit Desa. Meski demikian, kemampuan memanfaatkan kredit hanya 9,9 trilyun pada bulan Januari 2002 atau kurang dari setengahnya (sumber Bank Indonesia). Hal ini memperlihatkan bahwa askes faktor produksi dari masyarakat desa, telah diserap oleh masyarakat kota. Artinya akses pertumbuhan yang dibangun oleh masyarakat desa telah “disedot” oleh masyarakat kota, sehingga kota bisa menjadi lebih pesat sementara desa akan mengalami kemandekan. Sedangkan capital outflow dari daerah ke pusat diindikasikan kuat terjadi pula, hal ini dapat dilihat dari perkembangan kota-kota besar yang sedemikian pesat, semakin meninggalkan pertumbuhan daerah. Lembaga keuangan mikro syari’ah BMT, lebih berkemampuan memfasilitasi agar tabungan dari masyarakat desa atau daerah terkait, dapat memanfaatkan kembali tabungan yang telah mereka kumpulkan.
e. Meningkatkan kemandirian daerah
Dengan adanya faktor-faktor produksi (capital, tanah, SDM) yang merupakan kekuatan dimiliki oleh daerah, dimanfaatkan dan didayagunakan sepenuhnya untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada, maka ketergantungan terhadap investasi dari luar daerah (maupun luar negeri) akan terkurangi, serta investasi ekonomi rakyat, dapat berkembang pesat. Kemandirian daerah tentu akan berdampak pada kemandirian nasional, sebab nasional terdiri dari daerah-daerah, sehingga dengan sendirinya ketergantungan terhadap utang luar negeri akan terkurangi.
f. Adanya pemerataan pertumbuhan, terjadinya keseimbangan pertumbuhan kota dan desa, berkurangnya kesenjangan usaha besar-usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kemungkinan ketidakstabilan daerah. Kecemburuan sosial dengan sendirinya akan terkurangi, sebab adanya kesejahteraan yang merata akan menimbulkan multiplier effect maupun interdependensi antar satu bagian dengan bagian yang lain.
g. Era otonomi daerah merupakan peluang untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan lembaga keuangan mikro syariah BMT. Melalui keuangan mikro syariah, kebangkitan ekonomi rakyat (sekaligus ekonomi nasional) maupun pengurangan kemiskinan, akan dilakukan oleh rakyat sendiri. Memang telah tiba saatnya, masyarakat menemukan jalannya sendiri untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi
Hernandi de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital (2001) menggambarkan betapa besarnya sektor ekonomi informal dalam memainkan perannya dalam aktivitas ekonomi di negara berkembang. Ia juga mensinyalir keterpurukan ekonomi di negara berkembang disebabkan ketidakmampuan untuk menumbuhkan lembaga permodalan bagi masyarakatnya yang mayoritas pengusaha kecil.
Indonesia misalnya, adalah negara berkembang yang jumlah pengusaha kecilnya mencapai 39.04 juta jiwa. Namun para pengusaha kecil tersebut tidak memiliki akses yang signifikan ke lembaga perbankan, sebagai lembaga permodalan. Lembaga-lembaga perbankan belum bisa menjangkau kebutuhan para pengusaha kecil, terutama di daerah dan pedesaan. Belum adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah perdesaan (sektor pertanian dan sektor informal) secara memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural serta ‘kebutuhan’ ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT (Baitul Mal wat Tamwil) dapat ‘dihadirkan’ di daerah kabupaten kota dan bahkan di kecamatan dan perdesaan.
Konsep BMT sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah, merupakan konsep pengelolaan dana (simpan-pinjam) di tingkat komunitas yang sebenarnya searah dengan konsep otonomi daerah yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya di tingkat pemerintahan (administrasi) terendah yaitu desa. Dari data di lapangan harus diakui bahwa konsep BRI Unit Desa sudah mampu ‘menjangkau’ komunitas pedesaan, terutama untuk pelayanan penabungan (saving). Kampanye pemerintah agar rakyat menabung efektif dilaksanakan masyarakat perdesaan hampir dua dekade (1970-80’an). Namun kelemahan dari konsep pembangunan masa lalu adalah adalah terserapnya ‘tabungan masyarakat’ pedesaan ke ‘kota’ dan hanya sepertiga dana tabungan masyarakat yang dapat diakses oleh masyarakat perdesaaan itu sendiri. Selebihnya lari ke kota dan digunakan oleh orang kota. Meskipun pada tahun 1992 terjadi peningkatan, namun masih jauh dari signifikan. Menurut data 1992, akumulasi tabungan masyarakat Desa di BRI Unit Desa sebesar Rp 21,8 trilyun, sedangkan kredit yang dikucurkan untuk masyarakat desa hanya Rp 9,9 triliun. Berarti masih cukup banyak dana desa yang diserap orang kota. Padahal seharusnya terjadi sebaliknya, dana orang kota digunakan orang desa. Konsep BRI Unit Desa ini sebenarnya sudah bisa dijadikan semacam acuan untuk pengembangan daerah (desa), namun apakah BRI Unit Desa sudah dapat mengakses kelompok yang paling miskin di akar rumput? Mungkin secara teknis dan di atas kertas bisa saja. Namun jika dilihat dari karakteristik bisnis perbankan dan karakteristik peminjam, jawabannya tidak bisa. Maka dengan kekosongan pada pasar lembaga keuangan untuk tingkat paling miskin ini, institusi yang paling cocok adalah konsep Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Asumsi dan teori lama yang sudah menjadi mitos tentang lemahnya kapasitas usaha mikro dalam mengelola pinjaman, telah dipatahkan dengan keberhasilan performance Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di banyak negara berkembang (termasuk Indonesia). Di Indonesia kepiawaian lembaga keuangan mikro telah terbukti pada masa krisis moneter sejak tahun 1997-2002. yang lalu. Keuangan mikro kini dianggap sebagai terobosan institusional untuk melayani pembiayaan masyarakat pedesaan maupun perkotaan para pengusaha mikro.
Agar lembaga keuangan mikro BMT terfokus, profesional dan efektif melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang betul-betul membutuhkan, kita dapat mengacu prinsip utama yang disyaratkan oleh Microcredit Summit. Setidaknya ada empat prinsip yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan pengembangan BMT.
Adapun prinsip-prinsip utama tersebut adalah :
1. Reaching the poorest
The poorest yang dimaksud adalah masyarakat paling miskin, namun secara ekonomi mereka aktif (economically active) dan memiliki semangat entrereneurship. Secara internasional mereka dipahami merupakan separoh bagian bawah dari garis kemiskinan nasional.
2. Reaching and empowering women
Wanita merupakan korban yang paling menderita dalam kemiskinan, oleh sebab itu mereka harus menjadi fokus utama. Di samping itu, dari pengalaman lapangan di berbagai negara menunjukkan bahwa wanita merupakan peminjam, pemakai dan pengembali kredit yang baik.
3. Building financially sustainable institution
Agar secara terus menerus dapat melayani masyarakat miskin, sehingga semakin banyak yang terlayani, maka secara financial, Lembaga BMT tersebut harus terjamin berkelanjutan.
4. Measurable impact
Dampak dari kehadiran kelembagaan dapat diukur sehingga evaluasi dapat dilakukan, hal ini dimaksudkan untuk perbaikan kinerja kelembagaan.
Dalam bukunya Andri soemitra prinsip-prinsip utama BMT yaitu:
• Keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT
• Keterpaduan (Kaffah) di mana nilai-nilai spiritualberfungsi mengarahkan dan menggerakan etika dan moral yang dinamis, proktif, progresif, adil, dan berakhlak mulia
• Kekeluargaan (kooperatif)
• Kebersamaan
• Kemandirian
• Profesionalisme
• istiqomah
Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa lembaga keuangan mikro BMT memerankan posisi yang penting. Era otonomi daerah dan merupakan peluang bagi pengembangan keuangan mikro, maupun dalam arti sebaliknya, otonomi daerah dapat memanfaatkan lembaga keuangan mikro untuk mengembangkan daerahnya.
Mengutip formulasi Bambang Ismawan (1994) tentang lembaga keuangan mikro, maka setidaknya terdapat beberapa hal yang diperankan BMT dalam otonomi daerah :
a. Mendukung pemerataan pertumbuhan
Pelayanan BMT secara luas dan efektif sehingga akan terlayani berbagai kelompok usaha mikro. Perkembangan usaha mikro yang kemudian berubah menjadi usaha kecil, hal ini akan memfasilitasi pemerataan pertumbuhan.
b. Mengatasi kesenjangan kota dan desa
Akibat jangkauan BMT yang luas, bisa meliputi desa dan kota, hal ini merupakan terobosan pembangunan. Harus diakui, pembangunan selama ini acap kali kurang adil pada masyarakat desa, sebab lebih condong mengembangkan kota. Salah satu indikatornya adalah dari derasnya arus urbanisasi dan pesatnya perkembangan keuangan mikro yang berkemampuan menjangkau desa, tentu saja akan mengurangi kesenjangan desa dan kota.
c. Mengatasi kesenjangan usaha besar dan usaha kecil
Sektor yang selama ini mendapat akses dan kemudahan dalam mengembangkan diri adalah usaha besar, akibatnya timbul jurang yang lebar antara perkembangan usaha besar dan semakin tak terkejar oleh usaha kecil. Dengan dukungan pembiayaan usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kesenjangan yang terjadi.
d. Mengurangi capital outflow dari desa-kota maupun daerah-pusat
Sebagaimana disebut di atas, bahwa masyarakat desa mempunyai kemampuan menabung yang cukup tinggi, terbukti dari akumulasi tabungan yang mencapai 21,8 trilyun rupiah pada BRI Unit Desa. Meski demikian, kemampuan memanfaatkan kredit hanya 9,9 trilyun pada bulan Januari 2002 atau kurang dari setengahnya (sumber Bank Indonesia). Hal ini memperlihatkan bahwa askes faktor produksi dari masyarakat desa, telah diserap oleh masyarakat kota. Artinya akses pertumbuhan yang dibangun oleh masyarakat desa telah “disedot” oleh masyarakat kota, sehingga kota bisa menjadi lebih pesat sementara desa akan mengalami kemandekan. Sedangkan capital outflow dari daerah ke pusat diindikasikan kuat terjadi pula, hal ini dapat dilihat dari perkembangan kota-kota besar yang sedemikian pesat, semakin meninggalkan pertumbuhan daerah. Lembaga keuangan mikro syari’ah BMT, lebih berkemampuan memfasilitasi agar tabungan dari masyarakat desa atau daerah terkait, dapat memanfaatkan kembali tabungan yang telah mereka kumpulkan.
e. Meningkatkan kemandirian daerah
Dengan adanya faktor-faktor produksi (capital, tanah, SDM) yang merupakan kekuatan dimiliki oleh daerah, dimanfaatkan dan didayagunakan sepenuhnya untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada, maka ketergantungan terhadap investasi dari luar daerah (maupun luar negeri) akan terkurangi, serta investasi ekonomi rakyat, dapat berkembang pesat. Kemandirian daerah tentu akan berdampak pada kemandirian nasional, sebab nasional terdiri dari daerah-daerah, sehingga dengan sendirinya ketergantungan terhadap utang luar negeri akan terkurangi.
f. Adanya pemerataan pertumbuhan, terjadinya keseimbangan pertumbuhan kota dan desa, berkurangnya kesenjangan usaha besar-usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kemungkinan ketidakstabilan daerah. Kecemburuan sosial dengan sendirinya akan terkurangi, sebab adanya kesejahteraan yang merata akan menimbulkan multiplier effect maupun interdependensi antar satu bagian dengan bagian yang lain.
g. Era otonomi daerah merupakan peluang untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan lembaga keuangan mikro syariah BMT. Melalui keuangan mikro syariah, kebangkitan ekonomi rakyat (sekaligus ekonomi nasional) maupun pengurangan kemiskinan, akan dilakukan oleh rakyat sendiri. Memang telah tiba saatnya, masyarakat menemukan jalannya sendiri untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi
B. Fungsi BMT Terhadap perekonomian Masyarakat
a) BMT Sebagai Produser
Sedangkan fungsinya sebagai Baitul Taamwil, BMT memberikan bantuan pendanaan untuk aktivitas perekonomian umat dalam skala kecil. Untuk fungsi BMT yang satu ini, ada beberapa produk yang ditawarkan oleh BMT kepada nasabah, diantaranya adalah: Musyarakah, Mudharabah, Murabahah, Muzaraah, Wusaqot, Bai’u Bithaman Ajil, Ijarah Muntahia Bit Tamlik.
Dengan menawarkan produk – produk yang berbasis syariah kepada masyarakat, secara tidak langsung BMT mencoba memberikan penawaran kepada masyarakat (calon nasabah/ anggota) untuk bisa memanfaatkan jasa keuangan yang berbasis syariah yang ditawarkan, dengan metode profit and lose sharing dalam pengelolaan rugi dan labanya.
Di dalam proses ini, maka BMT adalah termasuk salah produser dalam penyediaan jasa keuangan yang berbasis syariah dengan skala mikro. Tujuannya adalah untuk mengimplementasikan sistem keuangan syariah yang sesuai dengan tata cara dan aturan permainan pengelolaan keuangan di dalam Islam.
b) BMT Sebagai Konsumen
Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi hingga terpenuhi segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang tersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir yang melampaui batas, maka cepat atau lambat, roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa pun terlambat. Oleh karena itu BMT mempunyai tiga akad pembiayaan, pertama Ijarah, kedua Tijarah, ketiga Syirkah.
c) BMT Sebagai Distributor
Memfungsikan BMT sebagai distributor adalah mengembalikan fungsi sosial BMT di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengembalikan fungsi tersebut, perlu di telaah beberapa hal, di antaranya:
1) BMT sebagai bentuk lembaga penjaringan dana Zakat, Infak, Sedekah (Baitul Maal)
2) BMT sebagai bentuk tolong menolong yang dilembagakan (Baitul Taamwil)
d) BMT Sebagai Sirkulator
Sirkulasi adalah pendayagunaan barang dan jasa lewat kegiatan jual beli dan simpan pinjam melalui agen, koperasi, lembaga keuangan baik sebagai sarana perdagangan atau tukar-menukar barang. Sedangkan sirkulator adalah orang/ lembaga yang mendayagunakan barang dan jasa tersebut.
BMT sebagai sirkulator adalah memfungsikan BMT sebagai aktor dari sirkulasi dan anggota/nasabah sebagai subjek serta barang dan jasa sebagai objek dari sirkulasi yang dilakukan. Prinsipnya dan operasionalnya sangat sederhana. Hal ini disebabkan karena kebanyakan BMT menggunakan akad Tijarah dalam produk-produknya.
e) BMT dan Sektor Rill
Di dalam operasionalnya, BMT sangat bersentuhan langsung dengan perekonomian masyarakat. Kegiatan yang dilakukan seperti yang telah dijelaskan di atas, adalah gambaran dari kedekatan BMT dengan sektor rill yang meminimalkan kegiatan spekulasi dan memaksimalkan kemampuan masyarakat dalam bidang produksi dengan pembiayaan – pembiayaan yang dilakukan, sesuai dengan produk – produk yang berlaku pada tiap – tiap BMT yang ada.
C. Posisi BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah
Sebagai lembaga keuangan mikro syariah, posisi BMT memiliki dua nilai strategis dan harus berjalan secara seimbang , yakni nilai syariah dan ekonomi. Dari perspektif nilai syariah, BMT dituntut mampu secara bertahap melaksanakan perinsip ekonomi islam pada umumnya dan sistem keuangan syariah pada khususnya. Sedangkan dalam perspektif ekonomi, berdirinya BMT harus menciptakan kapitalisasi ekonomi baik bagi investor (shahibul maal) maupun bagi anggotanya (mudharib) terutama yang tergolong mikro dan kecil. Dua nilai strategis tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
BMT diharapkan tumbuh menjadi lembaga keuangan mikro yang memiliki akar kuat di masyarakat. BMT lahir dari kesadaran ummat akan pentingnya membantu sesama terutama dalam pemenuhan kebutuhan permodalan. Ia tidak lahir dari atas atau dari inisiasi program pemerintah, tetapi dari partisipasi penuh masyarakat bawah. Meskipun proses kelahirannya sederhana tetapi ternyata mampu memberikan nilai tambah (benefit) yang sangat tinggi kepada masyarakat. Sampai dengan akhir tahun 2009 jumlah BMT di Indonesia berjumlah sekitar 5.000 BMT, misalnya jika masing-masing BMT mampu memberikan pembiayaan mikro kepada 1.000 orang maka berarti sudah 5.000.000 orang yang mampu dilayani melalui pembiayaan mikro BMT. Jika dianalisa dari kondisi perekonomian di indonesia baik secara makro maupun mikro, maka kehadiran BMT mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam proses pembangunan baik ekonomi maupun sosial. Dari perspektif makro , BMT telah mampu menyerap pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat yang berarti meningkatnya daya beli serta meningkat sirkulasi keuangan didaerah. Sedang dari perspektif mikro, BMT telah mampu membantu pemenuhan permodalan bagi pengusaha mikro bahkan sampai ditingkat pedesaan ataupun masyarakat prasejahtera.
Oleh karenanya, nilai tawar BMT ditengah kondisi perekonomia nasional sesungguhnya sangat tinggi. Supaya nilai tawar ini terus meningkat, BMT harus dikembangkan menjadi lembaga keuangan mikro yang tangguh dan profesional sehingga mampu bersaing dengan lembaga keuangan lainnya . Karenanya BMT itQan sebagai bagian dari da’wah iqtisodiyah ini terus berbenah diri meningkatkan kualitas layanan kepada keluarga prasejahtera dan proses internal yang semakin baik sehingga pertumbuhan dan perkembangannya sangat dirasakan keberadaannya ditengah-tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Mustafa Edwin dkk, 2006, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana
Andi Soemitra, 2009, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Situmorang, Jannes, Kaji Tindak Peningkatan Peran Koperasi Dan UKM Sebagai Lembaga Keuangan Alternatif, www.google.co.id/ 25 Desember 2007
Setiawan, Aziz Budi, Instrumen Ekonomi Syariah untuk Transformasi Masyarakat, www.google.co.id/ 15 Januari 2008
Yulianti, Rahmani Timorita, Dimensi Humanitarian Dalam Sistem Ekonomi Islam, www.google.co.id/
dadanperdana.blogspot.com
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1196:peran-bmt-di-era-otonomi-daerah&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60
Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi Islam Pusat dan Dosen IAIN-SU/Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta
http://www.bmtitqan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=34:dnsb
http://zarchisme.wordpress.com/tag/4-fungsi-bmt/
a) BMT Sebagai Produser
Sedangkan fungsinya sebagai Baitul Taamwil, BMT memberikan bantuan pendanaan untuk aktivitas perekonomian umat dalam skala kecil. Untuk fungsi BMT yang satu ini, ada beberapa produk yang ditawarkan oleh BMT kepada nasabah, diantaranya adalah: Musyarakah, Mudharabah, Murabahah, Muzaraah, Wusaqot, Bai’u Bithaman Ajil, Ijarah Muntahia Bit Tamlik.
Dengan menawarkan produk – produk yang berbasis syariah kepada masyarakat, secara tidak langsung BMT mencoba memberikan penawaran kepada masyarakat (calon nasabah/ anggota) untuk bisa memanfaatkan jasa keuangan yang berbasis syariah yang ditawarkan, dengan metode profit and lose sharing dalam pengelolaan rugi dan labanya.
Di dalam proses ini, maka BMT adalah termasuk salah produser dalam penyediaan jasa keuangan yang berbasis syariah dengan skala mikro. Tujuannya adalah untuk mengimplementasikan sistem keuangan syariah yang sesuai dengan tata cara dan aturan permainan pengelolaan keuangan di dalam Islam.
b) BMT Sebagai Konsumen
Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi hingga terpenuhi segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang tersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir yang melampaui batas, maka cepat atau lambat, roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa pun terlambat. Oleh karena itu BMT mempunyai tiga akad pembiayaan, pertama Ijarah, kedua Tijarah, ketiga Syirkah.
c) BMT Sebagai Distributor
Memfungsikan BMT sebagai distributor adalah mengembalikan fungsi sosial BMT di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengembalikan fungsi tersebut, perlu di telaah beberapa hal, di antaranya:
1) BMT sebagai bentuk lembaga penjaringan dana Zakat, Infak, Sedekah (Baitul Maal)
2) BMT sebagai bentuk tolong menolong yang dilembagakan (Baitul Taamwil)
d) BMT Sebagai Sirkulator
Sirkulasi adalah pendayagunaan barang dan jasa lewat kegiatan jual beli dan simpan pinjam melalui agen, koperasi, lembaga keuangan baik sebagai sarana perdagangan atau tukar-menukar barang. Sedangkan sirkulator adalah orang/ lembaga yang mendayagunakan barang dan jasa tersebut.
BMT sebagai sirkulator adalah memfungsikan BMT sebagai aktor dari sirkulasi dan anggota/nasabah sebagai subjek serta barang dan jasa sebagai objek dari sirkulasi yang dilakukan. Prinsipnya dan operasionalnya sangat sederhana. Hal ini disebabkan karena kebanyakan BMT menggunakan akad Tijarah dalam produk-produknya.
e) BMT dan Sektor Rill
Di dalam operasionalnya, BMT sangat bersentuhan langsung dengan perekonomian masyarakat. Kegiatan yang dilakukan seperti yang telah dijelaskan di atas, adalah gambaran dari kedekatan BMT dengan sektor rill yang meminimalkan kegiatan spekulasi dan memaksimalkan kemampuan masyarakat dalam bidang produksi dengan pembiayaan – pembiayaan yang dilakukan, sesuai dengan produk – produk yang berlaku pada tiap – tiap BMT yang ada.
C. Posisi BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah
Sebagai lembaga keuangan mikro syariah, posisi BMT memiliki dua nilai strategis dan harus berjalan secara seimbang , yakni nilai syariah dan ekonomi. Dari perspektif nilai syariah, BMT dituntut mampu secara bertahap melaksanakan perinsip ekonomi islam pada umumnya dan sistem keuangan syariah pada khususnya. Sedangkan dalam perspektif ekonomi, berdirinya BMT harus menciptakan kapitalisasi ekonomi baik bagi investor (shahibul maal) maupun bagi anggotanya (mudharib) terutama yang tergolong mikro dan kecil. Dua nilai strategis tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
BMT diharapkan tumbuh menjadi lembaga keuangan mikro yang memiliki akar kuat di masyarakat. BMT lahir dari kesadaran ummat akan pentingnya membantu sesama terutama dalam pemenuhan kebutuhan permodalan. Ia tidak lahir dari atas atau dari inisiasi program pemerintah, tetapi dari partisipasi penuh masyarakat bawah. Meskipun proses kelahirannya sederhana tetapi ternyata mampu memberikan nilai tambah (benefit) yang sangat tinggi kepada masyarakat. Sampai dengan akhir tahun 2009 jumlah BMT di Indonesia berjumlah sekitar 5.000 BMT, misalnya jika masing-masing BMT mampu memberikan pembiayaan mikro kepada 1.000 orang maka berarti sudah 5.000.000 orang yang mampu dilayani melalui pembiayaan mikro BMT. Jika dianalisa dari kondisi perekonomian di indonesia baik secara makro maupun mikro, maka kehadiran BMT mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam proses pembangunan baik ekonomi maupun sosial. Dari perspektif makro , BMT telah mampu menyerap pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat yang berarti meningkatnya daya beli serta meningkat sirkulasi keuangan didaerah. Sedang dari perspektif mikro, BMT telah mampu membantu pemenuhan permodalan bagi pengusaha mikro bahkan sampai ditingkat pedesaan ataupun masyarakat prasejahtera.
Oleh karenanya, nilai tawar BMT ditengah kondisi perekonomia nasional sesungguhnya sangat tinggi. Supaya nilai tawar ini terus meningkat, BMT harus dikembangkan menjadi lembaga keuangan mikro yang tangguh dan profesional sehingga mampu bersaing dengan lembaga keuangan lainnya . Karenanya BMT itQan sebagai bagian dari da’wah iqtisodiyah ini terus berbenah diri meningkatkan kualitas layanan kepada keluarga prasejahtera dan proses internal yang semakin baik sehingga pertumbuhan dan perkembangannya sangat dirasakan keberadaannya ditengah-tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Mustafa Edwin dkk, 2006, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana
Andi Soemitra, 2009, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Situmorang, Jannes, Kaji Tindak Peningkatan Peran Koperasi Dan UKM Sebagai Lembaga Keuangan Alternatif, www.google.co.id/ 25 Desember 2007
Setiawan, Aziz Budi, Instrumen Ekonomi Syariah untuk Transformasi Masyarakat, www.google.co.id/ 15 Januari 2008
Yulianti, Rahmani Timorita, Dimensi Humanitarian Dalam Sistem Ekonomi Islam, www.google.co.id/
dadanperdana.blogspot.com
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1196:peran-bmt-di-era-otonomi-daerah&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60
Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi Islam Pusat dan Dosen IAIN-SU/Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta
http://www.bmtitqan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=34:dnsb
http://zarchisme.wordpress.com/tag/4-fungsi-bmt/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar