A. Hukum Adat sebagai Aspek KebudayaanPenyelidikan van Vollenhoven serta sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah hukum adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada wilayah Republik Indonesia, akan tetapi sampai pada kepulauan Nusantara kita. Hukum adat Indonesia tidak saja bersemayam dalam perasaan hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga-warga (Republik) Indonesia (staatsrechtelijk Indonesier) di segala penjuru Nusantara kita, tetapi juga tersebar dan memencar sampai di gugusan kcpulauan Filipina dan Taiwan di sebelah utara, yaitu Pulau Malagasi (Madagaskar) di sebelah Barat Lautan Hindia dekat pantai Afrika, dan berbatas di sebelah Timur sampai dekat Amerika Selatan di kepulauan Pass, dianut dan dipertahankan oleh orang Indonesia yang termasuk golongan ethnologisch lndonesier atau yang bisa disebut juga orang Indonesia dalam arti etnis.
Hukum yang terdapat di dalam masyarakat manusia. Betapa sederhana dan kecil pun masyarakat itu, menjadi cerminnya, karena tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya sendiri, mempunya struktur alam pikiran sendiri (“geestesstructural”), maka hukum di dalam tiap masyarakat, sebagai salah satu penjelmaaan “geestesstructuur” daripada masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya sendiri, yaitu: hukum dari masyarakat masing-masing berlainan.
Von Savigny mengajarkan bahwa hukummengikuti “volksgeist” (jiwa/semangat rakyat) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena Volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka juga hukum masyarakat berlainan juga.
B. Sifat-sifat yang Terkandung Dalam Hukum Adat
F.D. Holleman, yang penah menjabat guru besar dalam mata pelajaran hukum adat di Leiden dan yang menjadi pengganti van Vollenhoven di, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in hetlndomsische rechtsieven, menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia! yang hendaknya dipandang juga sebagai suatu kesatuan. Pertama, sifat religio magis, kedua, sifat komun(daerah persekutuan) ketiga, sifat kontant dan keempat, sifat konkret.
1. Sifat religio-magis
"Religio-magis" itu sebenarnya adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogis, animisme, pantangan, ilmu gaib, dan lain-Iain. Koentjara-ningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. "Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda;
b. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa;
c. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht dalam berbagai perbuatan-perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib.
d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.
Unsur-unsur tersebut dalam sub a telah kita jumpai sebagai unsur dalam anggapan E.B. Tylor tentang animisme, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui karangan-karangan G.A. Wilken dan A.C. Kruyt. Unsur tersebut dalam sub b, kita jumpai sebagai unsur dalam anggapan R. R. Marett tentang preanimisme, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui karangan-karangan F.D.E. van Ossenbruggen. Unsur tersebut dalam sub c kitajumpai sebagai anggapan A. Vierkandt tentang dasar-dasar magie atau ilmu gaib, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui karangan-karangan F.D.E. van Ossenbruggen. Akhirnyaunsur tersebut dalam sub d, kitajumpai sebagai anggapan A. Vierkandt dan K.T. Freusz tentang dasar-dasar tahu atau pantangan, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui karangan-karangan van Ossenbruggen", dengan lain perkataan: sifat atau dasar jiwa daripada religio magis itu diintroduksi di Indonesia melalui berbagai pemikir hukum adat atau antropologi, seperti antara lain Wilken, Kruyt dan van Ossenbruggen.
Sebagai tambahan serta penegasan atas pengertian religiomagis, saya (Bushar Muhammad) ingin mengemukakan kata majemuk: participerend kosmisch, singkatnya mengandung pengertian kompleks, yaitu orang Indonesia pada dasarnya berpikir serta merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religf) pada tenaga-tenaga yang gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan besar dan kecil, benda - lebih-lebih benda yang berupa dan berbentuk luar biasa —, dan semua tenaga-tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan (in een toestandvan evenwicht). Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos, dari keseluruhan hidup jasmaniah dan rohaniah — "participatie" - dan keseimbangan itulah yang senantiasa harus ada dan terjaga, dan apabila terganggu, harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu berwujud dalam beberapa upacara, pantangan atau ritus (rites de passage).
2. Sifat komun
Adapun hal yang kedua dari dasar cara berpikir dalam hukum adat adalah suatu segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung pada tanah atau alam pada umumnya (komun). Dalam masyarakat-masyarakat semacam, selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individu. Dalam masyarakat-masyarakat semacam, individualitas orang perorang terdesak ke belakang. Masyarakat, desa, dusun, orang banyak sedusun sebagai satu kesatuan, yang senantiasa memegang peranan, yang menentukan, yang .,pertimbangannya dan kepatutannya tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan clan, keputusan desa adalah berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan hormat, khidmat. Holleman, yang pendapatnya dikutip oleh Koentjaraningrat, mengemukakan, bahwa sifat komunal (commune trek) - dalam hukum adat - berarti bahwa kepentingan individu dalam hukum adat selalu diimbangi oleh kepentingan umum, bahwa hak-hak individu dalam hukum adat diimbangi oleh hak-hak umum. Dengan mentalitas itu, segala penilaian, pembuatan keputusan dan tekanan dalam hukum adat terletaklah dalam tangan desa, masyarakat adat. Keseluruhan, masyarakat, adalah yang kuat kuasa, menentukan segala, memberi arah kepada segala tindak-tanduk.
3. Sifat contant (tunai)
sifat contant, yaitu sifat ketiga yang saya sebut di atas tadi dengan mengikuti Holleman, terdapat dalam hukum adat pada umumnya. Dalam bahasa Indonesia — sebagai terjemahan contant itu -sifat tunai itu mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat. Dengan demikian, dalam hukum adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang-terima secara contant itu, adalah diluar akibat-akibat hukum (rechtsgevolgen) dan memang tidak bersangkut paut atau bersebab akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga, adalah suatu perbuatan hukum yang -- dalam arti yuridis -- berdiri sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contant itu hanya mempunyai arti logis terhadap satu sama lain. Contoh yang tepat dalam hukum adat tentang suatu perbuatan yang contant adalah jual-lepas, perkawinan jujur, melepaskan hak atas tanah, adopsi, dan seterusnya.
4. Sifat Konkret
Dasar cara berpikir yang keempat yang umum terdapatdalam hukum adat adalah apa yang disebut sifat konkret. Konkret artinya bahwa dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksud, diingini, dikehendaki atau akan dikerjakan, ditransformasikan atau diberi wujud sesuatu benda, diberi tanda yang kelihatan, baik berupa langsung maupun hanya menyerupai objek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis, dan lain-lain. Contoh-contoh; panjar bermaksud akan melakukan jual-beli atau memindahkan hak atas tanah;paningset, panyangcang dalam pertunangan atau akan melakukan perkawinan; membalas dendam terhadap seseorang dengan membuat palung, boneka atau benda, lalu barang itu dimusnahkan, dibakar, dipancung. Jadi, contantnya itu adalah dengan bertindak atau berbuat sesuatu secara visual, kelihatan, biarpun hanya menyerupai objek yang dikehendaki.
Demikianlah tentang sifat-sifat umum hukum adat sebagai suatu kebudayaan, yang diperkenalkan oleh berbagai penulis seperti Wilken dan van Ossenbruggen, tetapi yang fortnuleringnya dimulai oleh van Vollenhoven dalam karangan-karangan terpencar-pencar (verspreide artikelen), dan dilanjutkan secara ringkas dan ditegaskan pada tahun 1935 oleh Hollemen dalam pidato inaugurasinya di Leiden. Sungguhpun ada beberapa pendapat yang berlainan atau agak berlainan daripada yang saya kemukakan di atas ini, namun tegaslah bagi kita, bahwa dalam usaha mengetahui lembaga-lembaga hukum adat Indonesia dan dalam mempelajarinya secara cermat teliti, empat sifat umum hukum adat yang disebut di atas tadi hams dipahami dan diketahui sebagai "inner stillwirkenden krafte” (kekuatan yang terbentuk dari dalam).
Hukum yang terdapat di dalam masyarakat manusia. Betapa sederhana dan kecil pun masyarakat itu, menjadi cerminnya, karena tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya sendiri, mempunya struktur alam pikiran sendiri (“geestesstructural”), maka hukum di dalam tiap masyarakat, sebagai salah satu penjelmaaan “geestesstructuur” daripada masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya sendiri, yaitu: hukum dari masyarakat masing-masing berlainan.
Von Savigny mengajarkan bahwa hukummengikuti “volksgeist” (jiwa/semangat rakyat) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena Volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka juga hukum masyarakat berlainan juga.
B. Sifat-sifat yang Terkandung Dalam Hukum Adat
F.D. Holleman, yang penah menjabat guru besar dalam mata pelajaran hukum adat di Leiden dan yang menjadi pengganti van Vollenhoven di, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in hetlndomsische rechtsieven, menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia! yang hendaknya dipandang juga sebagai suatu kesatuan. Pertama, sifat religio magis, kedua, sifat komun(daerah persekutuan) ketiga, sifat kontant dan keempat, sifat konkret.
1. Sifat religio-magis
"Religio-magis" itu sebenarnya adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogis, animisme, pantangan, ilmu gaib, dan lain-Iain. Koentjara-ningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. "Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda;
b. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa;
c. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht dalam berbagai perbuatan-perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib.
d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.
Unsur-unsur tersebut dalam sub a telah kita jumpai sebagai unsur dalam anggapan E.B. Tylor tentang animisme, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui karangan-karangan G.A. Wilken dan A.C. Kruyt. Unsur tersebut dalam sub b, kita jumpai sebagai unsur dalam anggapan R. R. Marett tentang preanimisme, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui karangan-karangan F.D.E. van Ossenbruggen. Unsur tersebut dalam sub c kitajumpai sebagai anggapan A. Vierkandt tentang dasar-dasar magie atau ilmu gaib, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui karangan-karangan F.D.E. van Ossenbruggen. Akhirnyaunsur tersebut dalam sub d, kitajumpai sebagai anggapan A. Vierkandt dan K.T. Freusz tentang dasar-dasar tahu atau pantangan, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui karangan-karangan van Ossenbruggen", dengan lain perkataan: sifat atau dasar jiwa daripada religio magis itu diintroduksi di Indonesia melalui berbagai pemikir hukum adat atau antropologi, seperti antara lain Wilken, Kruyt dan van Ossenbruggen.
Sebagai tambahan serta penegasan atas pengertian religiomagis, saya (Bushar Muhammad) ingin mengemukakan kata majemuk: participerend kosmisch, singkatnya mengandung pengertian kompleks, yaitu orang Indonesia pada dasarnya berpikir serta merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religf) pada tenaga-tenaga yang gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan besar dan kecil, benda - lebih-lebih benda yang berupa dan berbentuk luar biasa —, dan semua tenaga-tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan (in een toestandvan evenwicht). Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos, dari keseluruhan hidup jasmaniah dan rohaniah — "participatie" - dan keseimbangan itulah yang senantiasa harus ada dan terjaga, dan apabila terganggu, harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu berwujud dalam beberapa upacara, pantangan atau ritus (rites de passage).
2. Sifat komun
Adapun hal yang kedua dari dasar cara berpikir dalam hukum adat adalah suatu segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung pada tanah atau alam pada umumnya (komun). Dalam masyarakat-masyarakat semacam, selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individu. Dalam masyarakat-masyarakat semacam, individualitas orang perorang terdesak ke belakang. Masyarakat, desa, dusun, orang banyak sedusun sebagai satu kesatuan, yang senantiasa memegang peranan, yang menentukan, yang .,pertimbangannya dan kepatutannya tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan clan, keputusan desa adalah berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan hormat, khidmat. Holleman, yang pendapatnya dikutip oleh Koentjaraningrat, mengemukakan, bahwa sifat komunal (commune trek) - dalam hukum adat - berarti bahwa kepentingan individu dalam hukum adat selalu diimbangi oleh kepentingan umum, bahwa hak-hak individu dalam hukum adat diimbangi oleh hak-hak umum. Dengan mentalitas itu, segala penilaian, pembuatan keputusan dan tekanan dalam hukum adat terletaklah dalam tangan desa, masyarakat adat. Keseluruhan, masyarakat, adalah yang kuat kuasa, menentukan segala, memberi arah kepada segala tindak-tanduk.
3. Sifat contant (tunai)
sifat contant, yaitu sifat ketiga yang saya sebut di atas tadi dengan mengikuti Holleman, terdapat dalam hukum adat pada umumnya. Dalam bahasa Indonesia — sebagai terjemahan contant itu -sifat tunai itu mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat. Dengan demikian, dalam hukum adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang-terima secara contant itu, adalah diluar akibat-akibat hukum (rechtsgevolgen) dan memang tidak bersangkut paut atau bersebab akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga, adalah suatu perbuatan hukum yang -- dalam arti yuridis -- berdiri sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contant itu hanya mempunyai arti logis terhadap satu sama lain. Contoh yang tepat dalam hukum adat tentang suatu perbuatan yang contant adalah jual-lepas, perkawinan jujur, melepaskan hak atas tanah, adopsi, dan seterusnya.
4. Sifat Konkret
Dasar cara berpikir yang keempat yang umum terdapatdalam hukum adat adalah apa yang disebut sifat konkret. Konkret artinya bahwa dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksud, diingini, dikehendaki atau akan dikerjakan, ditransformasikan atau diberi wujud sesuatu benda, diberi tanda yang kelihatan, baik berupa langsung maupun hanya menyerupai objek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis, dan lain-lain. Contoh-contoh; panjar bermaksud akan melakukan jual-beli atau memindahkan hak atas tanah;paningset, panyangcang dalam pertunangan atau akan melakukan perkawinan; membalas dendam terhadap seseorang dengan membuat palung, boneka atau benda, lalu barang itu dimusnahkan, dibakar, dipancung. Jadi, contantnya itu adalah dengan bertindak atau berbuat sesuatu secara visual, kelihatan, biarpun hanya menyerupai objek yang dikehendaki.
Demikianlah tentang sifat-sifat umum hukum adat sebagai suatu kebudayaan, yang diperkenalkan oleh berbagai penulis seperti Wilken dan van Ossenbruggen, tetapi yang fortnuleringnya dimulai oleh van Vollenhoven dalam karangan-karangan terpencar-pencar (verspreide artikelen), dan dilanjutkan secara ringkas dan ditegaskan pada tahun 1935 oleh Hollemen dalam pidato inaugurasinya di Leiden. Sungguhpun ada beberapa pendapat yang berlainan atau agak berlainan daripada yang saya kemukakan di atas ini, namun tegaslah bagi kita, bahwa dalam usaha mengetahui lembaga-lembaga hukum adat Indonesia dan dalam mempelajarinya secara cermat teliti, empat sifat umum hukum adat yang disebut di atas tadi hams dipahami dan diketahui sebagai "inner stillwirkenden krafte” (kekuatan yang terbentuk dari dalam).
C. Hukum Adat Di Indonesia
Hukum adat di Indonesia Sejak Indonesia berdiri sebagai negara berdaulat, hukum adat menempati perannya sendiri dan dalam perkembangannya, hukum adat justeru mendapat tempat khusus dalam pembangunan hukum nasional. Dalam beberapa tahun belakangan di dalam pembentukan hukum negara pun, kebiasaan-kebiasaan (sering disebut kearifan local) yang hidup dalam masyarakat menjadi salah satu pertimbangan penting dalam pembentukan hukum negara, baik pada pembentukan undang-undang maupun dalam pembentukan peraturan daerah. Konsep pluralisme hukum tidak lagi berkembang dalam ranah dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat. Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia. Sistem hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia dan sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional Indonesia. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat memahami sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Sebagaimana dipahami, bahwa eksistensi hukum adat sangat penting dalam suatu masyarakat pruralistik. Dalam hubungan ini apa sebenarnya hukum adat itu tentulah harus dibedakan dengan tradisi. Dalam konteks ini Bohannan mengemukakan, bahwa Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat.
Dalam prakteknya pun banyak sekali hukum-hukum Positif saat ini mengadopsi hukum adat. Bahkan dalam agama sendiri antara hukum agama dan hukum adat tidak bisa terpisahkan.
-----------------------------------------------
Soerjo Wignjodipoero, 1967, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: PT Toko Gunung Agung
Rofiq Ahmad, 1998, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://www.pakarhukum.com/index.php?option=com_content&view=article&id=395:sistem-hukum-adat-sebagai-bagian-dari-sistem-hukum-nasional-&catid=73:hukum-adat--kebiasaan&Itemid=417
http://retnoestiaryani.blogspot.com/
http://tata-hkm.blogspot.com/2010/07/hukum-adat-sebagai-segi-aspek.html
http://riarien.wordpress.com/2012/02/06/sistem-sanksi-hukum-adat-istiadat-dan-kebudayaan-indonesia/
Hukum adat di Indonesia Sejak Indonesia berdiri sebagai negara berdaulat, hukum adat menempati perannya sendiri dan dalam perkembangannya, hukum adat justeru mendapat tempat khusus dalam pembangunan hukum nasional. Dalam beberapa tahun belakangan di dalam pembentukan hukum negara pun, kebiasaan-kebiasaan (sering disebut kearifan local) yang hidup dalam masyarakat menjadi salah satu pertimbangan penting dalam pembentukan hukum negara, baik pada pembentukan undang-undang maupun dalam pembentukan peraturan daerah. Konsep pluralisme hukum tidak lagi berkembang dalam ranah dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat. Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia. Sistem hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia dan sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional Indonesia. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat memahami sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Sebagaimana dipahami, bahwa eksistensi hukum adat sangat penting dalam suatu masyarakat pruralistik. Dalam hubungan ini apa sebenarnya hukum adat itu tentulah harus dibedakan dengan tradisi. Dalam konteks ini Bohannan mengemukakan, bahwa Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat.
Dalam prakteknya pun banyak sekali hukum-hukum Positif saat ini mengadopsi hukum adat. Bahkan dalam agama sendiri antara hukum agama dan hukum adat tidak bisa terpisahkan.
-----------------------------------------------
Soerjo Wignjodipoero, 1967, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: PT Toko Gunung Agung
Rofiq Ahmad, 1998, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://www.pakarhukum.com/index.php?option=com_content&view=article&id=395:sistem-hukum-adat-sebagai-bagian-dari-sistem-hukum-nasional-&catid=73:hukum-adat--kebiasaan&Itemid=417
http://retnoestiaryani.blogspot.com/
http://tata-hkm.blogspot.com/2010/07/hukum-adat-sebagai-segi-aspek.html
http://riarien.wordpress.com/2012/02/06/sistem-sanksi-hukum-adat-istiadat-dan-kebudayaan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar