Sabtu, 02 Juni 2012

Prinsip Produksi Ekonomi Islam



1.    Pengertian Produksi
Dalam literatur ekonomi islam berbahasa arab produksi adalah “Intaj” dari kata Nataja   .Dr. Muhammad Rawwas Qalahji juga memberikan padangan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata “Al-Intaj” yang secara harfiyah dimaknai dengan Ijadu Sil’atin “mewujudkan atau mengadakan sesuatu” atau khidmatu mu’ayyanatin Bi Istikhdami Muzayyajin Min ‘Anashir Al-Intaj Dhamina Itharu Zamanin Muhaddadin “pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas”.
“Taqiyuddin An-Nabhani”, dalam mengantarkan pemahaman tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata  istishna’ untuk mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab.
An-Nabhani dalam bukunya ‘An-Nidzam Al-Iqtishadi Fi Al-Islam” memahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas berdasarkan As-Sunnah.  Sebab, Rasulullah SAW pernah membuat cincin.
Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan “Nabi SAW telah membuat cincin.” HR. Imam Bukhari.
Dari Ibnu Mas’ud: “Bahwa Nabi SAW telah membuat cincin yang terbuat dari emas.” HR. Imam Bukhari. Beliau juga pernah membuat mimbar.
Dari Sahal berkata: “Rasulullah SAW telah mengutus kepada seorang wanita, kata beliau. Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atasnya.” HR. Imam Bukhari. 
Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang. Dan beliau pun mendiamkan aktifitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan “taqrir” beliau terhadap aktifitas berproduksi mereka . Status taqrir dan perbuatan Rasul itu sama dengan sabda beliau, artinya sama merupakan dalil syara’ .
Sumber-sumber daya alam yang diciptakan allah sangat penting . Dalam sistem ekonomi islam kata produksi merupakan salah satu kunci terpenting. Pentingnya melakukan produksi adalah sebagai berikut:
1.    karena produksi menentukan kemakmuran suatu bangsa dan taraf hidup manusia.  Al Qur’an telah meletakkan landasan yang jelas tentang produksi. Salah satu diantaranya adalah diperintahkannya bekerja keras dalam mencari kehidupan agar tidak mengalami kegagalan atau tertinggal dalam berjuag demi kelangsungan hidupnya.
2.    Allah telah menganugerahkan alam semesta untuk kesejahteraan manusia. Sebagai khalifah di Bumi Manusia diberikan kebebasan dalam mengelola kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk memperbaiki keadaan ekonomi individu dan masyarakat manusia, dalam mengelola kekayaan telah diberikan batasan yang jelas dalam nilai-nilai ajaran Islam  .Sistem ekonomi islam menyediakan beberapa landasan teoritis sebagai berikut:
a.    Keadilan ekonomi “Al-‘Adalah Al-Iqtisadiyah”.
b.    Jaminan sosial "At-Takaful Ijtima".
c.    Pemanfaatan sumber-sumber daya ekonomi produktif secara efisien.
B. Prinsip-Prinsip Produksi
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim  dilakukan untuk mencari ”falah” kebahagiaan demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna falah  tersebut . Di bawah ini ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam proses produksi yang dikemukakan oleh Muhammad Al-Mubarak dalam kitabnya ”Nizam Al-Islami Al-Iqtisadi:  Mabadi Wa Qawa’id ‘Ammah  dan beberapa implikasi mendasar  bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain:
1.    Seluruh kegiatan produksi  terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami.
    Sejak dari kegiatan mengorganisir faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya”. Produksi barang dan jasa yang dapat merusak moralitas dan menjauhkan  manusia dari nilai-nilai relijius tidak akan diperbolehkan. Terdapat lima jenis kebutuhan yang dipandang  bermanfaat untuk mencapai falah,  yaitu : 1. kehidupan, 2. Harta, 3. Kebenaran, 4. Ilmu pengetahuan dan 5. Kelangsungan keturunan. Selain itu Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas ”Dharuriyah, Hajjiyah dan Tahsiniyah” dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta melarang sikap berlebihan, larangan ini juga berlaku bagi segala mata rantai dalam produksinya.
2.    Dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas sekumpulan yang tercela karena bertentangan dengan syari’ah “haram”.
Dalam sistem ekonomi islam tidak semua barang dapat diproduksi atau dikonsumsi. Islam dengan tegas mengklasifikasikan barang-barang “silah” atau komoditas dalam dua katgori:
a.    Barang-barang yang disebut Al-Qur’an Thayyibat  yaitu barang-barang yang secara hukum halal dikonsumsi dan diproduksi.
b.    Khabaits adalah barang-barang yang secara hukum haram dikonsumsi dan diproduksi. Seperti penegasan Al-Qur’an dalam Surat Al-Araf Ayat 157:

“…..Dan mengahalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan menghalalkan bagi mereka yang buruk…..”
3.    Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan , dan  memenuhi kewajiban zakat, sedekah, infak dn wakaf.
    Kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan dan harmoni dengan lingkungan sosial dan lingkungan hidup dalam masyarakat dalam skala yang lebih luas. Selain itu, masyarakat juga nerhak  menikmati hasil produksi  secara memadai dan berkualitas. Jadi produksi bukan hanya menyangkut kepentingan para produsen saja, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Pemerataan manfaat dan keuntungan produksi bagi  keseluruhan masyarakat dan dilakukan dengan cara yang paling baik merupakan tujuan utama kegiatan ekonomi.
4.    Dilarang melakukan kegiatan produksi yang mengarah pada kezaliman. Seperti riba dimana kezaliman menjadi illat hokum bagi haramnya riba.
Penegasan Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 278-279, melandasi pandangan ini:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan meninggalkan sisa riba, Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba, Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
Seperti dijelaskan di atas, kezaliman merupakan illat bagi haramnya riba, dan riba secara bertahapdapat menghilangkan keadialan ekonomi, yang merupakan ciri khas ekonomi islam, dan berdampak negative bagi perekonomian umat. Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah merumuskan empat kejahatan ekonomi yang diakibatkan riba yaitu:
1.    Riba dapat mengakibatkan atau menimbulkan permusuhan antara pelaku ekonomi yang akibatnya mengancam semangat kerja sama antar mereka.
2.    Riba dapat mengakibatkan milyuner-milyuner baru tanpa kerja, sebagaimana riba dapat mengakibatkan penumpukkan harta pada mereka.
3.    Riba adalah senjata penjajah, dari itu dikatakan:  Penjajah berjalan di balik pedagang dan pendeta. Dan kita sudah merasakan betapa riba menjajah dan memporakporandakan negara kita.
4.    Karena itu islam menganjurkan seseorang meminjamkan harta kepada saudaranya tanpa di iringi dengan bunga, lalu Allah akan membalas dengan pahala yang banyak.
Madharat atau kerusakan yang diakibatkan kerja ekonomi ribawi dapat merusak dan merugikan ekonomi pribadi, rumah tangga, perusahaan. Lebih berbahaya lagi ketika kebijakan pemerintah yang menghandalkan hutang luar negeri dengan dalil kepentingan rakyat, seperti yang dialami rakyat saat ini.
5.    Permasalahan ekonomi  muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks.
    Masalah ekonomi muncul bukan karena adanya kelangkaan sumber daya ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan manusia saja, tetapi juga disebabkan oleh kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala anugerah Allah, baik dalam bentuk sumber daya alam maupunmanusia. Sikap tersebut dalam Al-Qur’an sering disebut  sebagai kezaliman atau pengingkaran terhadap nikmat Allah.
6.    Segala bentuk penimbunan “Ikhtikar” terhadap barang-barang kebutuhan bagi masyarakat adalah dilarang sebagai perlindungan syari’ah terhadap konsumen dari msyarakat. Pelaku penimbunan, menurut Yusuf Kamal mengurangi tingkat produksi untuk mengusai pasar, sangat tidak menguntungkan bagi konsumen dan masyarakat karena berkurangnya suplai dan melonjaknya harga barang. Hal ini menurut qayyim sama dengan kezaliman yang dikutuk Allah.
7.    Memelihara lingkungan. Manusia memiliki keunggulan jadi manusia dibumi ditunjuk sebagai wakil “Khalifah Fil Ardh” tuhan dibumi bertugas menciptakan kehidupan dengan memanfaatkan sumber-sumber daya, “Imar Al Ard” yang dalam perspektif ekonomi islam dapat di uraikan sebagai berikut:
Pertama “setiap manusia adalah produsen, untuk menghasilkan barang-barang dan jasa yang dalam prosesnya bersentuhan langsung dengan bumi sebagai faktor utama produksi”.  Kedua “Bumi selain sebagai faktor produksi, juga berfungsi mendidik manusia mengingat kebesaran Allah”.  Ketiga “sebagai produsen dalam dalam melakukan produksi tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang merusak lingkungan hidup”.
Jadi landasan-landasan moral dalam islam seperti syarat-syarat produksi dalam islam tidak boleh mengandung Al-khabaits, keji, zalim, dan ihtikar .  Dalam hal ini akan membawa implikasi  bahwa prinsip produksi  bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah bagaimana mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya ekonomi dalam kerangka pengabdian manusia kepada Tuhannya.
Kegiatan produksi dalam perspektif islam bersifat (Alturistik) sehingga produsen tidak  hanya mengejar keuntungan  maksimum saja . Akan tetapi produsen harus memperhatikan dampak sosial sebagai akaibat atas proses produksi yang dilakukan . Dan produsen harus mengejar tujuan yang lebih luas sebagaimana tujuan ajaran Islam yaitu ” falah” didunia dan akhirat. Kegiatan produksi juga harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan  bagi masyarakat. Prinsip pokok produsen yang Islami  yaitu : 1. Memiliki komitmen yang penuh terhadap keadilan, 2. Memiliki dorongan untuk melayani masyarakat sehingga segala keputusan perusahaan harus mempertimbangkan hal ini , 3. Optimasi keuntungan diperkenankan  dengan batasan kedua prinsip di atas.
C. Tujuan-Tujuan Produksi
Beberapa ahli ekonomi silam mengungkapkan tujuan-tujuan produksi menurut islam adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok semua individu dan menjamin seseorang mempunyai standar hidup manusiawi, terhormat dan sesuai dengan martabat manusia sebagai khalifah . Dan sebagai sarana untuk mencapai tujuanya di hari kiamat kelak.
Menurut M.N Sidiqi dalam perusahaan dan pertumbuhan ekonomi dalam islam menegaskan beberapa tujuan badan usaha, yaitu:
a.    Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu secara wajar.
b.    Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan keluarga.
c.    Bekal untuk generasi mendatang.
d.    Merespon kebutuhan produsen secara pribadi yang memiliki ciri keseimbangan .
e.    Bekal untuk anak cucu.
f.    Bantuan kepada masyarakat atau berinfaq, dalam rangka beribadah kepada Allah .
Dan Sidiqi mengarahkan upaya untuk mengukuhkan setiap tujuan produksi ini dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan juga Ibnu khaldun dan beberapa ulama’ lain berpendapat, bahwa kebutuhan manusia dapat di golongkan kedalam tiga kategori, yaitu: dharuriat “primer”, hajiat “skunder”, dan kamaliat “tersier”.
Dalam terminologi islam Dharuriat adalah kebutuhan yang secara mutlak tidak dapat dihindari, karena merupakan kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendasar, bersifat elastis bagi kehidupan manusia.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan produksi dapat dibagi dalam dua tujuan  utama, yaitu:
1.    Kebutuhan Primer dalam Individu. Para Fuquhah menetapkan hukum “fardhu‘ain” bagi setiap muslim. Untuk mengetahui primer bagi seorang muslim.  Dapat merunjuk pada beberapa nas Al-Qur’an, seperti dikemukakan Abdurrahman Al-Maliki.
a.    Al-Baqarah 2: 233.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan kekayaan kepada para ibu dengan ma’ruf.”
b.    An-Nisa’ 4: 5
“Dan berilah mereka belanja dan Pakaian dari hasil harta itu dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.

2.     Kebutuhan primer bagi seluruh rakyat. Islam menetapkan bahwa negara berkewajiban menjamin pengaturanya. Al Mawardi dan Abu Ya’la dalam kitab mereka Al-Ahkam Al-Sultaniyah menyebutkan bahwa khalifah atau kepala negara berkewajiban membangun proyek-proyek seperti: Jembatan, jalan raya, irigasi, termasuk juga pengobatan, keamanan, dan pendidikan seperti yang disabdakan Rasulullah dalam satu hadis:

”Siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapat kedaan aman kelompoknya, sehat badanya, memiliki bhan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah dimilikinya”.
D. Faktor-Faktor Produksi
Dalam islam modern belum ada kesepakatan pendapat mengenai faktor- faktor produksi . Karena menurut  Abdul Hasan Muhammad Sadeq, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadis tidak menjekaskan masalah ini secara eksplisit.
Perbedaan pandangan semakin tajam ketika mereka memperbincangkan modal sebagai faktor produksi, karena apabila modal mencakup sejumlah alat dan uang maka yang pertama akan menghasilkan sewa. Oleh karena itu menurut M. A Mannan modal menduduki tempat yang khusus dalam ekonomi islam sebagai sarana produksi yang menghasilakan tidak sebagai faktor produksi pokok melainkan melainkan sebagai perwujudan tanah dan tenaga kerja. Adapun faktor-faktor produksi itu terbagi atas enam macam, yaitu:
a.    Tanah dan segala potensi ekonomi, di anjurkan Al-Qur’an untuk di olah, dan    tidak dapat dipisahkan dari proses produksi.
b.    Tenaga kerja terkait langsung dengan tuntutan hak milik melalui produksi.
c.    Modal, juga terlibat langsung dengan proses produksi. Karena pengertian modal mencakup pengertian produktif yang mengahsilakan barang yang di konsumsi.
Manajemen, karena ada tuntutan leadership dalam islam.
d.    Teknologi .
E. Kaidah-Kaidah Produksi
Dalam ekonomi konvensional, seseorang diberikan hak untuk memproduksi segala sesuatu yang dapat mengalirkan keuntungan kepadanya, meskipun hal itu kontradiksi dengan kemaslahatan material dan moral masyarakat.
Adapun dalam ekonomi islam, seseorang produsen muslim harus komitmen dengan kaidah-kaidah syari’ah untuk mengatur kegiatan ekonominya. Dimana tujuanya pengaturan ini adalah untuk keserasian antara kegiatan ekonomi dalam kehidupan untuk merealisasikan tujuan umum syariah, mewujudkan bentuk-bentuk kemaslahatan, dan menangkal bentuk-bentuk kerusakan.
Dalam fiqih ekonomi Umar r.a kaidah-kaidah produksi yang terpenting di antaranya adalah:
1.    Kiadah Syariah
Yang dimaksudkan dalam kaidah syariah disini bukan dari sisi halal dan haram saja. Akan tetapi mencakup tiga sisi:
a.    Akidah adalah keyakinan seseorang muslim bahwa aktifitasnya dalam bidang perekonomian merupakan bagian daru perananya dalam kehidupan.
”kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
b.    Ilmu yakni seorang muslim wajib mempelajari  hukum-hukum syari’ah yang berkaitan aktifitas perekonomianya, sehingga dia mengetahui apa yang benar dan yang salah di dalamnya.  Sepeti dalam penafsiran firman Allah surat An- Nisa’:4

”Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”.
c.    Amal yakni merupakan hasil aplikasi terhadap sisi aqidah dan sisi ilmiah yang dampak dalam kualitas produksi yang dihasilkan oleh seseorang muslim dan dilemparkanya kepasar.
Sesungguhnya kualitas produksi dalam ekonomi konvensional adalah berkaitan dengan kondisi permintaan yang di dukung oleh daya beli.
Sedangkan dalam ekonomi islam, kualitas produksi tunduk terhadap hukum syariah. Oleh karena itu, apa yang diperoleh syariah baik.

F. Tanggung Jawab Sosial Produksi Ekonomi Islam Terhadap Masyarakat
    Dalam tanggung jawab sosial, seseorang (secara moral) harus mampu mempertanggung-jawabkan perbuatannya terhadap masyarakat apabila melakukan perbuatan tercela. Tanggung jawab sosial ini diiringi norma-norma sosial, karenanya rasa malu dalam diri seseorang dapat memperkuat tanggung jawab sosialnya. Karakteristik tanggung jawab pekerjaan ialah hasil pekerjaan barang atau jasa perlu dijaga mutunya supaya jangan sampai mengecewakan konsumen. Untuk menghasilkan produk bermutu tinggi, perlu peningkatan kualitas pekerjanya itu sendiri, karena ia merupakan pelaku utama dalam menghasilkan produk bermutu. Artinya, dalam lapangan pekerjaan, produk barang bermutu dan pekerja yang memiliki SDM tinggi merupakan hal yang tak dapat dipisahkan. Lebih jauh lagi, pekerja berkualitas adalah pekerja yang beriman dan bertakwa, berbudi pekerti luhur, penuh dedikasi dan tanggung jawab, sehat jasmani dan rohani serta memiliki keterampilan (skill) dalam bidang garapannya. 
    Di samping itu, dibutuhkan tanggung jawab kuantitas perhitungan angka (accountability), karena pertanggung-jawaban bukan hanya pada pimpinan tetapi bertanggung-jawab kepada Tuhan. Manusia harus konsisten untuk melakukan tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungannya (ekologi), karena manusia berada pada dinamika keduanya. Dunia bisnis hidup di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan bisnis tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Seorang pebisnis atau perusahaan memiliki tanggung-jawab sosial, karena bisnis tidak terbatas sampai menghasilkan barang atau jasa kepada konsumen dengan harga murah, tapi ada yang berpendapat lain, yakni dipengaruhi oleh etik, peraturan dan aksi konsumen.
    Selain dengan masyarakat, perusahaan bertanggung-jawab melindungi konsumen melalui pertimbangan dampak terhadap lingkungan hidup. Hal ini, karena banyak perusahaan yang sering melakukan tindakan kurang seimbang, karena tidak memperdulikan lingkungan dengan memproduksi barang tak bermutu, cukup sekali buang, makanan mengandung beracun, limbah dan lainnya. Kesemuanya itu dapat membunuh (masyarakat) konsumen secara perlahan-lahan.
    Tanggung jawab sosial dari bisnis ialah pelaksanaan etik bisnis yang mencakup proses produksi, distribusi barang dan jasa sampai penjagaan kelestarian lingkungan hidup dari ancaman polusi dan sebagainya. Pelaku usaha atau perusahaan tidak hanya bertanggung-jawab terhadap pemenuhan kebutuhan sesaat konsumen, tapi perlu mempertimbangkan jangka panjang kelangsungan hidup manusia dan ekologi untuk kemaslahatan umum.
    Pelaku usaha, perusahaan atau badan-badan usaha komersial lainnya, sudah saatnya memperhatikan hal-hal yang berkaitan keabsahan transaksinya, karena itu merupakan bentuk tanggung jawab yang mula-mula diselidiki. Seharusnya, tanggung jawab dalam setiap kegiatan ekonomi muncul dari kesadaran yang terdapat pada individu maupun dalam penekanan hukum dari pihak berwenang, seperti melalui perundang-undangan.
Saat ini, produk-produk tertentu yang dipasarkan ternyata masih banyak yang mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan, baik berupa keruksakan ekologi maupun kesehatan manusia. Padahal, sebagaimana Alimin dkk. (2004), setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Karena itu, perlu pengawasan tehadap bahaya kerugian yang menimpa pihak masyarkat (konsumen) dan lingkungan hidup.
    Berbagai pelanggaran lingkungan, seperti langkanya air bersih akibat limbah pabrik, makanan beracun dan sebagainya telah menyumbangkan berbagai penyakit bahkan kematian warga yang mengkonsumsi. Hal itu, merupakan perbuatan melanggar hukum (i’tida) secara tidak langsung yang harus dipertanggung-jawabkan pihak pelaku usaha, perusahaan atau badan-badan komersial.
    Setiap perbuatan berbahaya dalam Islam tidak dibenarkan (ghairu masyru’) dan setiap perbuatan tidak dibenarkan yang membawa bahaya harus dipertanggung-jawabkan, baik kerugian bahaya materil atau jiwa sebagai akibat buruk dari produk pelaku usaha.
Tetapi islam melindungi kepentingan si miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan
kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang, dikutuk! Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, karena kekayaan harus tersebar dengan baik. Dengan cara ini, Islam menyetujui dua pembentukan modal yang berlawanan yaitu konsumsi sekarang yang berkurang dan konsumsi mendatang yang bertambah. Dengan demikian memungkinkan modal memainkan peranan yang sesungguhnya dalam proses produksi. Karena itu tingkat keuntungan pada usaha ekonomi yang khusus antara lain dapat digunakan sebagai salah satu sarana penentuan modal. 
Kelihatannya tidak ada ciri-ciri istimewa yang dapat dianggap sebagai organisasi
dalam suatu kerangkaIs la m. Tetapi ciri-ciri khusus berikutnya dapat diperhatikan,  untuk memahami peranan organisasi dalam ekonomi Islam. Pertama, dalam ekonomi Islam pada hakikatnya lebih berdasarkan ekuiti (equity-based) daripada berdasarkan pinjaman (loan-based), para manajer cenderung mengelola perusahaan yang bersangkutan dengan pandangan untuk membagi deviden di kalangan pemegang saham atau berbagi keuntungan diantara mitra sutau usaha ekonomi. 
Kekuatan – kekuatan koperatif melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan persekutuan dalam bermacam-macam bentuk (mudaraba, musyarika, dll).  Kedua, pengertian keuntungan biasa mempunyai arti yang lebih luas dalam kerangka ekonomi Islam karena bunga pada modal tidak diperkenankan. Modal manusia yang diberikan manajer harus diitegerasikan dengan modal yang berbentuk uang. Pengusaha penanam modal dan usahawan menjadi bagian terpadu dalam organisasi dimana keuntungan biasa menjadi urusan bersama. Ketiga, karena sifat terpadu organisasi inilah tuntutan akan integritas moral, ketetapan dan kejujuran dalam perakunan (accounting) barangkali jauh lebih diperlukan daripada dalam organisasi sekular mana saja, dimana para pemilik modalnya mungkin bukan meruapakn bagian ari manajemen.Is la m menekankan kejujuran, ketepatan dan kesungguhan dalam urusan perdagangan, karena hal itu mengurangi biaya penyediaan (supervisi) dan pengawasan. Faktor manusia dalam produksi dan strategi usaha barangkali mempunyai signifikansi lebih diakui dibandingkan dengan strategi manajemen lainnya yang didasarkan pada memaksimalkan keuntungan atau penjualan.

______________________________________________________________

DAFTAR PUSTAKA
Rustam Effendi, Produksi Dalam Islam, Megister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2003
Mahmud Abu Saud, Garis-Garis Besar Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1984
Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khatab, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Grup , 2006
Monzer Kahf, Ekonomi Islam, ”Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam”, Yogjakarta: Pustaka Pelajar ,1995
Bustanuddin Agus, Islam Dan Ekonomi “Suatu Tinjauan Sosiologi Agama”, Yogyakarta: Andalas University Press, 2006
Ismail Nawawi, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: Jalasutra, 2003
Mahmud Abu Saud, Garis-Garis Besar Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1984
http://Zonaekis.com/Faktor-Faktor Produksi Dalam Islam
Xa.ying.com/kq/groups/../Prinsip Produksi Dalam Islam.doc
http://Nurazifah.blogspot.com/2010/04/Prinsip Konsumsi Produksi dan.html
Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta : PT. Bangkit Daya Insan, 1995
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : Jalasutra, 2003
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007
Syamsul Hadi, Mengenal Ekonomi Islam, dalam http://www.scribd.com/doc/39317454/Mengenal-Ekonomi-Islam
Latifrusdi, Tanggung Jawab Sosial Perspektif Islam dalam http://latifrusdi26.blogsome.com/2007/09/18/tanggung-jawab-sosial-perspektif-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar